webnovel

Rasa Penasaran

"No."

Bangkitnya Tarana dari bangkunya memicu rasa penasaran Bian mencuat. Melebar, dan tumpah ruah. "Kenapa tidak? Kalau kamu minta saya untuk menunjukkan kantor saya, saya juga tidak bermasalah."

Hanya ... tidak mau. Tidak ada satu pun dari teman-teman kantornya yang Tarana undang ke pernikahan itu. Lebih tepatnya, karena pernikahan itu dadakan, Tarana tidak memikirkannya sampai ke sana.

Lalu, bagaimana tanggapan teman-temannya kalau tahu Tarana mendadak saja menikah? Oh, gila. Reaksi ceplas-ceplos dari para kawannya yang sebelas dua belas dengan Tarana tak bisa terbayangkan. "Tidak adalah tidak, Bian."

"Tunggu." Dua langkah ke depan, Bian sudah mencegat langkah cepat Tarana. "Jadi, maksud kamu, kamu juga tidak masalah kalau kamu tidak tahu posisi saya?"

"Ya, apa gunanya juga saya tahu? Saya bukan orang penasaran yang mau mampir sembarangan juga." Tarana mengernyit heran. Kenapa dia seakan sangat memaksa? "Kamu yang mau tahu, kenapa saya didesak harus mengetahui juga?"

"Kalau terjadi apa-apa sama kamu-"

"Mendoakan saya?" potong Tarana berang. "Saya bukan anak kecil. Saya dua puluh lima, dan saya berhak menentukan apa yang saya mau dan tidak. Termasuk tempat kerja saya. Saya kira kamu sudah paham sampai di sana."

"Dan saya empat dua, Tarana. Seharusnya kamu menuruti-"

Ah, persetan. Tarana melenggang bebas menuju keluar. Jam tangannya menunjuk pukul tujuh sekarang. Kurang dari satu jam, Tarana sudah harus sampai di kantornya. Itu cukup kalau kedua kakinya ini bergerak sekarang. "Saya duluan."

"Gak mau saya antar, begitu?" bujuk Bian bersusah-payah. "Tar? Tarana? Naik mobil lebih cepet loh, Tar. Kamu jalan kaki ke sana?"

Namun, sepertinya satu pun bujukan tak ada yang mampu menarik hati Tarana. Terlanjur pergi, meninggalkan Bian dengan kekeras-kepalaan yang disimpan masing-masing di antara mereka.

Bian yang bukan tipikal mengejar menggerus kepalanya singkat. Dirinya juga kenapa? Kenapa ia begitu penasaran perihal hal kecil?

Semua ini membuatnya gila.

***

"Seneng-seneng lo habis ambil cuti, Tar?"

Tarana melempar tas bahunya malas ke atas meja. Agaknya, mengerling tanpa berniat membalas ujaran dari teman karib yang tengah meninju lengannya kesal.

Kalau bukan dalam mode 'malas bergeraknya', tangan itu mungkin sudah terpelintir ke belakang. "Anggap aja ini hari keberuntungan lo, Lan."

"Rupanya masih belom seneng juga." Rallan terkekeh manis, selagi meletakkan secangkir teh yang diseduhnya pagi-pagi tadi. "Biar lo makin seger deh, Tar. Muka lo masem banget, mana keringet semua lagi."

"Liat-liat lo," cetus Tarana garang. "Tisu mana tisu."

Satu boks berisikan tisu diantarkan segera oleh Rallan, teman dekat Tarana. "Lo habis ngapain dah, Tar? Berantakan banget."

"Jalan kaki gue," sungut Tarana menjejalkan keringat wajahnya di tisu pemberian pria yang setia di sampingnya itu. Tak bergerak, sampai waktu masuk kantor. Seperti yang dilakukannya selama empat tahun persahabatan mereka. "Minggir lo. Sumpek."

"Dih, ngusir." Rallan menganggapnya sebagai candaan singkat, yang dibalas tawa berderainya. "Tapi serius, Tar. Lo cuti buat apaan, sih? Gak ada kabar, gue chat gak dibales, Claire chat juga gak dibales. Ngilang banget. Udah capek lo kerja jadi jurnalis?"

Aktivitas melegakan kerongkongan Tarana terjeda untuk berdesis membalas pertanyaan kepo Rallan. "Berisik banget. Gue cuti sehari ya buat istirahat, lah. Ngapain juga gue masih mikirin orang kantor?"

"Heh, orang kantor ini temen lo, ya." Entah dari mana, Claire bisa datang bergabung dengan perseteruan antara Tarana dan Rallan. "Lo gak biasanya, Tar. Gue sama Rallan paniknya setengah mati, tahu? Dateng ke apart lo juga lo gak ada."

Rallan mengangguki. Turut juga menimpali, "Setidaknya bales, Tar. Itu hp lo masih berfungsi, gue tahu. On, tapi gak dibales. Gak tahu siapa yang lo balesin."

"Lagi deket sama cowok, ya, Tar?" tanya Claire sehabis merapikan tasnya di atas meja. "Profile picture lo ngilang begitu aja."

"Oke, kalian berdua diam." Tarana menjurus dengan raut serius. Tak pernah lebih serius dari ini. Mencecar dengan jari telunjuk kecil yang mungilnya patut dibandingkan. "Dan ini terakhir kalinya kalian berdua masuk ke apart gue, oke? Gue kasih tahu password-nya bukan berarti kalian bisa seenaknya masuk begitu aja, 'kan?"

Baik Claire, maupun Rallan, dua orang itu saling lirik-melirik. Memutuskan menyudahinya karena atasan mereka sudah bergabung di lantai yang sama. "Oke, Tar. Kalau butuh sesuatu, kasih tahu aja, ya. Jangan kebiasaan mendem sendiri."

"Sorry. Mood gue lagi gak baik aja," tutur Tarana membalas pelan.

Satu pun di antara dua orang yang membalik tubuhnya, memandang lama Tarana juga tahu. Tarana nyaris tidak pernah begitu. Kecuali saat ada yang mengombang-ambingkan hatinya.

Kesimpulannya, Tarana sedang dekat dengan seorang pria. Selain Rallan, merupakan spesies yang paling dihindarinya.

***

B.

[Nanti malam bagikan lokasi kamu ke saya. Saya akan jemput kamu bersama dengan Nataya.]

Baru jari Tarana bersiap mengetikkan balasan, rupanya Bian lebih cepat mengontrol situasi dan kondisi agar bergerak sesuai keinginannya.

B.

[Jangan menolak. Ini makan pertama kita bersama, sebagai keluarga, maksud saya. Kecuali kamu ingin pulang jalan kaki yang mana saya tahu akan menyita tenaga dan waktu kamu. Silakan buat keputusan yang bijak, Tarana.]

Tarana sendiri dapat membayangi suara itu berkumandang di telinganya. Sangat menyebalkan, memerintah, juga ....

Suara dalam, berat, sedikit serak, juga memaksa karena tahu Tarana tidak bisa membantah hanya dengan chat saja. Akan memakan banyak waktu sementara pekerjaannya belum selesai.

Sial.

Kolom chat Tarana juga senggang. Tak berisikan jawaban yang seharusnya untuk Bian. Tak mengiyakan, juga tak menolak.

Padahal ia lelah. Pakaiannya juga lusuh, sehabis terjun ke lapangan tadi.

Apa Bian ingin balas dendam karena ia tak memberitahukan letak kantornya, maupun pekerjaannya?

Sebegitu penasarankah Bian mengenai dirinya? Atau malah Bian takut dicurangi karena Bian pernah melakukan hal yang sama dahulu?

Pesan lain menyeruak masuk, masih dari kontak yang sama.

B.

[Jangan buat Nataya kecewa. Dia sudah berantusias sehabis saya beritahu.]

Brak!

Telapaknya tak tahan untuk menabrakannya ke permukaan meja emosi. Bagaimana tidak? Semua ini sudah direncanakan, dan diatur oleh Bian. Si pria itu benar-benar seenaknya kalau Tarana tidak berada di sana langsung.

Malah membawa Nataya? Kasihan sekali anak yang manis itu jadi pemuas rasa penasaran dari ayahnya yang tak mampu mengambil hati Tarana.

"Tar? Kenapa, sih?" Claire berkicau dari meja depannya. "Dilihatin semua orang, tuh, Tar. Lo lagi ada masalah apa gimana?"

"Enggak," sahut Tarana menekuk bibirnya dongkol. Sudah muram, tambah suram lagi hatinya. Siapa yang tak dapat melihat mendungnya? Semua bisa.

Semua barang-barangnya dikemas secepat kilat. Akan lebih baik ia pergi duluan ketimbang semua orang melihatnya bersama dengan lelaki asing yang pamornya tidak main-main. "Gue duluan. Sorry."