webnovel

Papa Senyum

Tarana.

[Lokasi dibagikan.]

[Jangan tunggu di lobby. Saya ada di parkiran B1. Saya tunggu kamu ke sini segera.]

Bian tak dapat menampik kuluman senyum yang hadir begitu saja. Bahkan, anak gadis kecilnya menunjuk pipinya yang terangkat penuh kebanggaan.

Dengan suara imutnya, berkata sangat lucu, "Papa senyum."

Ponsel itu tergeletak di sisi kursi lainnya. Memangku anak semata wayangnya ke pahanya, mengusap pipi gempalnya yang tak Bian lewatkan untuk menghidunya kecil.

Turut juga menggesekkannya pada hidung Bian sampai mau tak mau Nataya tertawa kegelian. "Papa ... geli. Papa aneh. Dulu enggak senyum."

"Hm?" Bian menggumam kecil. "Papa dulu senyum ke Nataya. Nataya lupa, ya?"

"Gak tulus," sahut Nataya berkedip-kedip menggemaskan. "Ini tulus. Nataya suka."

"Makin pinter bicara kamu, Nataya." Poni di depan kening Nataya dirapikannya, sebelum lanjut berbicara. "Nataya mau jemput tante, enggak?"

"Tante yang di rumah?" tanya Nataya memastikan. "Atau yang di kantor?"

"Kalau yang di kantor biar Papa yang kenalin ke Tante yang di rumah ya, Sayang. Jangan sebut-sebut dulu sekarang. Nanti Tante yang di rumah marah ke Papa." Bian mengecup penuh kasih sayang. "Tante yang di rumah Nataya suka enggak?"

Malu-malu, Nataya melirik naik menuju manik gelap tersebut. "Suka. Papa marah, enggak?"

"Loh? Kenapa Papa marah?" tanya Bian terkejut. "Justru bagus buat Nataya deket sama Tante, 'kan?"

"Takut Papa mau jadi yang satu-satunya buat Nataya," jawab Nataya polos. Mengutip dari sesuatu yang tersimpan di dalam memorinya.

Yang malah, melempar Bian dalam kejadian yang lalu. Yang sebenarnya sudah tak pernah terlintas lagi, walaupun kerinduannya sama sekali tak berkurang.

Masih sama. Layaknya jeda empat tahun itu tak pernah ada. Perempuan yang pernah singgah di hidupnya, tapi kemudian diambil sang pencipta. Meninggalkan buah hatinya ke pelukan seorang Bian.

"Papa?"

Bian meneruskan kerjapan tanggungnya tatkala tangan mungil itu mendarat di rahangnya. Melihat Nataya, sungguh mengingatkannya pada mantan istrinya.

Yang memberikan luka terbesar untuk Bian, yang bahkan membuat Bian tak berani lagi membuka hati pada siapa pun. Terus menyimpan namanya di relung terdalamnya.

Cinta pertama dan luka terhebat untuk Bian. Namanya masih belum berubah.

Bisa dibilang kalau Bian itu tidak adil. Terserahlah. Toh Tarana juga tidak memberikan hatinya, 'kan? Katakan saja ini pernikahan yang baik, bukan pernikahan yang sempurna.

Bian tak masalah selama Nataya mendapatkan ibu yang baik. Seperti Tarana. "Hm? Nataya?"

"Papa gak jadi senyum lagi," tuturnya pelan. "Karena aku?"

"Nataya itu kebahagiaan kecil Papa. Anugrah yang paling Papa sayangi, dan gak akan Papa lepaskan sampai kapan pun. Jadi udah pasti bukan karena Nataya," kata Bian lambat-lambat. Memberikan waktu agar semua perkataannya sampai tepat di benak Nataya.

"Terus? Karena Mama?"

Kali ini Bian sudah tak punya jawaban yang tepat untuk pertanyaan anaknya. Selain menjebak, pertanyaan Nataya merupakan sebuah kebenaran mutlak juga.

Kring!

Dering mengejutkan di sisi lain bangku mobil menyudahi kedekatan ayah-anak itu. Sebelum pergi, menyempatkan membubuhkan kecupan penjedaannya. "Tunggu Papa di sini. Papa angkat telepon dulu, ya. Setelah itu kita jemput Tante."

"Enggak sekarang, Pa?" Nataya hanya mampu diam kala dirinya dipasangkan seatbelt yang melintang. "Kapan?"

"Habis ini," jawab Bian sekenanya. Tersenyum yang menerbitkan lengkungan di bibir mungil anaknya. "Sebentar, Nataya."

Blam!

"Kenapa lama sekali jawabnya?!"

Telinga Bian langsung disambuti sungutan dan ocehan spesial dari Tarana. Yang mewajibkan Bian untuk menjauhkan sebentar ponselnya dari gendang telinganya. Tak lama, sampai Bian mendekatkannya lagi. "Menuju ke sana, Tar."

"Terus kenapa masih angkat telepon? Lagi nyetir emang?" tanya Tarana, mencoba mengendus keanehan yang luar biasanya, tepat sasaran. "Bohong, 'kan?"

Tarana selalu bisa mengunci jawaban lanjutan yang tak mungkin Bian lanjutkan. Itu benar. Bian tak akan mengangkat teleponnya kalau dalam perjalanan. "Tadi habis ngomong sama Nataya, Tar. Kamu bisa sabar, enggak?"

"Lima belas menit, hei! Saya sudah menunggu di sini lima belas menit!"

"Saya, kan, belum suruh kamu nunggu saya," kata Bian malas dipersalahkan. "Kamu yang salah itu. Saya minta kamu bagikan lokasi kamu, bukan suruh kamu nunggu di parkiran. Saya bisa jemput kamu di lobby."

"Enggak!" seru Tarana gondok. "Saya tetep di sini. Jangan lama, tapi hati-hati ngendarain mobilnya. Ingat, kamu bawa anak. Jangan sampai Nataya kenapa-napa."

"Nataya, kan, anak saya, bukan anak kamu," goda Bian, penasaran akan reaksi 'terlalu peduli' Tarana. "Dan saya suami kamu. Kenapa kamu tidak meminta saya berhati-hati untuk diri saya sendiri? Kamu gengsi, Tar?"

Tut!

Dimatikan sepihak. Layar ponsel yang menghitam kembali terang benderang.

Bian melepaskan helaannya singkat-singkat. Rupanya, ia lebih sabar dari yang ia duga sebelumnya.

Mungkin juga, Tarana lebih menekan emosinya ketimbang pertama bertemu dahulu.

***

Bukan. Salah besar. Bukan menekan emosi atau hal lainnya. Justru keadaan lebih genting datang menyapanya lebih cepat dari dugaannya.

Lima belas menit yang menjadi pertimbangan Tarana itu adalah waktu yang pas dan tepat. Lebih dari lima belas menit. Ini hasil yang harus diterimanya.

Tidak. Tarana menolak untuk menerimanya. Menolak mentah-mentah ide buruk itu. Sama sekali, tidak mau.

Ting!

Lift berdenting untuk pertama kalinya setelah Tarana sampai di sini. Lift yang Tarana sudah hafal di luar kepala, karena selalu menjadi yang pertama menumpanginya bersama Claire, Rallan, dan beberapa karyawan lainnya.

Buru-buru Tarana mengeluarkan ponselnya. Mengetikannya tergesa, sembari kakinya menapaki cepat area parkir itu untuk memutar.

Tarana.

[Ke B2! Jangan B1!]

[Saya tarik kata-kata saya untuk tidak buru-buru ke sini! Saya terdesak, dan tolong tetap berhati-hati di jalan!]

Ah, bodoh. Bian malah melihat pesan ini ketika dia sedang di jalan? Ia malah membuang lagi waktunya untuk mengirim pesan tidak berguna ini.

"Tar?"

Tubuhnya terlonjak membeku. Merutuki dirinya dalam hati, juga dalam diam, serta dalam sepi.

Maju salah, berbalik tambah lama lagi. Sekarang ia mulai kesal karena Bian menjanjikan ingin menjemputnya, tapi yang Tarana temui adalah keterlambatan.

Juga Claire dan Rallan yang pasti merasa dirinya aneh. Sangat aneh.

Pada akhirnya, Tarana memilih untuk melanjutkan langkahnya yang tertunda. Sedikit berlari, dengan harapan kedua temannya itu tidak perlu repot-repot mengejarnya, atau mencari tahu mengenai alasan 'Tarana yang tidak biasanya' itu.

Sialnya. Satu di antara dua harapan itu tidak ada yang terjadi. Rallan sudah ada didepannya, dengan Claire yang menyusul di belakang.

Ia dicegat bolak-balik. Karena Bian tidak datang-datang.

Tidak lagi Tarana ingin berangkat atau pulang dengan Bian. Ini lebih dari cukup, dan merupakan pengalaman buruk. Tidak, terima kasih.

"Tar!" Claire berseru terengah. Pantofel heels yang dipakainya menyulitkannya bergerak. "Lo kenapa, sih, malah kabur? Gue sama Rallan ada salah sama lo apa gimana?"

"Enggak ada," jawab Tarana sigap.

Pas dengan keadaan terdesak itu, entah bagaimana, mobil yang ia tumpangi kemarin, sudah berada di depan matanya.

Atau malah, sebuah petaka karena Bian membuka jendela mobilnya. "Tarana?"