Perut rata Tarana sekarang membentuk cekungannya saat Bian menjejakkan tangannya makin naik. Belum lagi, mata gelap itu tiada hentinya mendalami Tarana. Terjurusnya tak membiarkan Tarana untuk beralih.
Posesif. Posesif sekali sampai tak ada yang boleh merebut perhatian Tarana selain dirinya. Hanya milik Bian, dan akan menjadi milik Bian untuk selamanya. "Bernapas, Tar. Jangan menahan napas."
Heh!
Embusan kencang Tarana memberikan kekehan geli untuk Bian. Geli, tapi juga berat dan serak. "Kamu lucu, Tar."
"A-apa?!" sentak Tarana berpura-pura mengoceh. Tak urung, merahnya pipi Tarana berarti ia menyukai semua tingkah laku Bian.
"Lucu aja," balas Bian ringan. Raut wajah berserinya tak pernah bosan ditunjukkan kepada Tarana. "Entahlah. Saya suka kamu yang suka lantang menyatakan ketidaksukaan kamu. Kamu yang bisa saja memukul saya kalau sewaktu-waktu saya melakukan hal yang salah."
"Hey! Yang kamu bilang semua itu hal buruk!" protes Tarana menggerutu. "Kamu itu orang aneh, ya?"
"Justru itu." Bian mengulum senyum menawannya. "Saya menganggumi hal buruk kamu. Mungkin iya, saya orang aneh. Tapi orang aneh ini lapar, Tar."
"Ya sudah lepas!" Tarana mencebik gemas. "Kamu bahkan tidak mengizinkan saya pergi, Bian."
"Bukan lapar itu."
Deg!
Lagi. Dentum itu terasa sangat familiar. Naik satu tingkat dari sebelumnya, memberikan pipi panas Tarana pembakaran berlebihnya.
Oh, sial. Tarana ingin tenggelam saja. Bisakah?
"Lapar yang ini, Tar." Kaus putih Tarana disingkapnya setengah tubuh. Belum menuju ke atas, sebab Bian benar-benar ingin menikmatinya, mereka semua memori indahnya yang pernah ada. "Boleh?"
Tarana menggeleng cepat-cepat menanggapi pertanyaan itu. Sebelum hal aneh lainnya mendominasi, alangkah lebih baik Tarana duluan yang memutus rantai penghipnotis ini. "Tidak sekarang, Bian. Saya belum buat sarapan untuk Nataya."
Jelas kabut-kabut yang membayangi Bian terbang lagi. Seperti kekecewaan gelora wanita dewasa di dalam dirinya tampak juga memberontak karena penolakan tak masuk akal Tarana.
Oh, ayolah! Kapan lagi jiwa Tarana bisa terpuaskan?! Ia memang tak menyukai pria, tapi bukan berarti Tarana sama sekali tak membutuhkan seorang pria!
Lagipula, Tarana bukanlah orang yang benar-benar polos hingga tabu melakukan apa yang ia tahu. Justru, rasa penasarannya mungkin lebih besar dari Bian yang berulang kali melakukannya ..., mungkin dengan beberapa orang. Tarana mana tahu?
Bruk!
Punggung Bian terhempas ke samping Tarana lagi. Terlentang seperti sebelumnya, dengan usapan kasar di wajahnya. "Mungkin kamu belum siap, Tar. Saya minta maaf kalau terlihat memaksa."
Bukankah seharusnya Tarana yang minta maaf?
Tapi, hey! Tunggu dulu! Tujuannya di sini adalah balas dendam karena Bian yang tak bisa mengendalikan nafsunya dengan baik! Jadi untuk apa Tarana meminta maaf?! Bian harus belajar mengenai hal itu! "Hm."
"Tar, apa kamu keberatan kalau saya bicara mengenai istri saya kali ini?" tanya Bian menatap langit-langit putih itu datar. "Saya kehabisan topik bicara."
Masih ada sisa waktu sebelum jam sepuluh. Sebelum Nataya bangun, lalu memaksa Tarana untuk diam membiarkan interaksi ayah dan anak yang jarang bisa ia ganggu gugat. "Tidak."
"Nama istri saya, Githa." Kini, yang nampak dari seorang Bian hanyalah aura kesenduannya. "Saya berharap kamu tidak cemburu ke saya, Tar."
"Saya bahkan tidak mencintai kamu, Bian," ceplos Tarana tanpa filter. "Saya juga tidak berusaha mencintai kamu."
Namun, kejujuran itulah yang membuat Bian merasa lebih baik walaupun hatinya sedikit tergores. "Saya pantas untuk itu, Tar. Saya tahu. Saya juga masih mencintai mendiang istri saya, Tar."
Paru-parunya menyedot banyak oksigen dari luar. Membusung, lalu mengeluarkannya bersama helaan napas panasnya. "Seperti kamu, Githa juga sama. Dikenalkan. Bedanya, kami berdua tidak dipaksa. Kami berdua berniat menikah atas dasar keinginan sendiri. Menjadi salah satu momen terbahagia dalam hidup saya."
"Momen kedua?" tanya Tarana melenceng dari topik yang ada.
Bian tak keberatan menyanggupi pertanyaan absurd tersebut. "Saat Nataya lahir, Tar."
Saat Nataya lahir.
Bahkan, janin kakaknya tidak dapat bertahan lebih dari sebulan.
"Tar," panggil Bian menyendu. "Tarana."
Rasanya ingin Tarana singkirkan siapa pun yang ada di hadapannya. Perasaan kebencian tak boleh bertumbuh, Tarana tahu. Tapi sulit. Sangat sulit sampai hatinya tercabik-cabik.
Daridulu, setiap melihat Nataya, ada dua gambaran yang terbayang.
Kesatu, Bian Pramoko bertanggung jawab penuh pada Nataya, tapi tak memegang tanggung jawabnya sebagai seorang pria juga sosok ayah dari kandungan Diana.
Kebencian yang salah sasaran, Tarana juga tahu itu.
Kedua, Nataya adalah gambarannya dulu.
Persis seperti dulu. Anak yang kehilangan sosok orang tuanya tapi berusaha terlihat baik-baik saja. Mentalnya sudah dirusak dari kecil.
Karena itu, sebisa mungkin Tarana memberikan yang terbaik. Karena yang kedualah yang menang dari yang pertama.
"Hey." Tangan Tarana ditarik Bian untuk melingkar di tubuhnya. "Kamu boleh memeluk saya, Tar. Saya suami kamu."
"Tapi saya membenci kamu," gumam Tarana pelan. "Saya bisa dikatakan beribu kali membenci kamu, Bian. Kamu membuat saya kehilangan hal yang berharga."
"Ya, karena itu saya minta maaf dan ada di sisi kamu. Walaupun terlambat," ujar Bian menelungsupkan kepala Tarana dalam ceruk lehernya. Rambut tergerai itu disisir Bian lamat-lamat. "Biarkan saya ada untuk kamu. Mulai hari ini sampai seterusnya saya tidak akan berkhianat lagi. Saya janji."
"Bukankah sewaktu menikah kamu berjanji, Bian?"
"Hm?"
"Selalu ada untuk satu sama lain." Tarana menuturkan apa yang ada di pikirannya. Kilat, karena Tarana tahu tak ada alasan cukup baik untuk menambalnya. "Janji itu kamu ingkari dulu. Kenapa sekarang berjanji lagi?"
***
"Papaaa!!!"
Suara cempreng itu hanya berasal dari Nataya saja. Bocah berusia empat tahun yang dikuncir kuda oleh Tarana. Berlari cepat, lantas kedua kakinya lepas landas di kasur bertempatkan Bian yang sibuk dengan aktivitasnya sendiri.
Untung, laptop Bian berhasil disingkirkan ke nakas. Tergantikan gadis mungil yang duduk merapatkan diri ke badan besar Bian. "Papa! Sabtu, Papa! Jalan-jalan, yuk!"
"Papa lagi sibuk, loh, Sayang." Kedua ibu jari Bian bergantian mencubiti pipi lembut Nataya. "Sini, Papa cium dulu. Udah wangi, belom?"
"Udah!" Nataya berseru semangat. Nemplok lebih parah sampai Bian tak bisa bernapas. "Wangi, 'kan? Tante bantu tadi!"
"Oh, ya?" Berpura-pura terkejut, Bian mengendus seluruh tubuh Nataya hingga terkikik geli. "Engga, ah! Nataya masih bau, nih. Gak boleh pergi."
"Ih, Papa!" rengek Nataya merengut. "Papa jahat."
"Hey, gak boleh gitu, donk, Nataya," bujuk Bian berbicara baik-baik. "Nataya mau pergi sama Papa?"
Pipi tembamnya ikut bergumpal kala ia mengangguk cepat. "Tante bilang nanti Nataya main sama Papa aja. Soalnya Tante lagi ada urusan di luar."
"Hm? Ke mana?"
Bukan jawaban lagi, melainkan ketidak-tahuan Nataya yang memberikan kerutan kekesalan di kening Bian. "Ambilin HP Papa coba, Nat."