Sesuai perkiraannya. Orang sakit mana bisa tahan menunggu makanan? Apalagi di ruangan dan kondisi yang benar-benar mendukungnya untuk tidur. "Ataya, bangunin Papa gih."
"Papa kecapean," jawab Nataya murung. Agaknya, juga tak rela orang yang ditunggunya sebelum dan sesudah ke ruangan ini malah tertidur dengan nyenyak. Tak ada waktu untuknya. "Dulu, setiap Ataya pulang sekolah begitu."
"Kan sekarang udah enggak, Sayang," bujuk Tarana lembut. Pipi bulat itu diusapnya gemas, kemudian melayangkan ciuman penuh kasih sayangnya pada Nataya. "Tante bisa janjiin itu sama kamu, oke? Jangan sedih. Papa gak kenapa-napa, kok. Dua tiga hari lagi Papa sehat seperti semula. Makanya Nataya harus bantu, ya?"
Nataya mau tak mau mengangguk. Tanpa disangkanya, membalas usapan Tarana dengan semua pelukan. Lengan kecilnya melingkar di seputaran lehernya. "Takut Papa kenapa-napa."
"Papa enggak kenapa-napa, Nataya. Nataya gak akan kehilangan Papa," bisik Tarana menenangkan. membalas pelukan itu, lalu menguraikannya demi menatap kejernihan yang sebelas dua belas jika dibandingkan dengan Bian. "Papa gak pernah begini, ya?"
Nataya menggeleng, memanjangkan lehernya demi memindai wajah pucat ayahnya.
Tarana tersenyum maklum. "Ataya pernah tahu rasanya sakit panas, demam?"
Mata hitam itu menemukan objek yang memandangnya lekat. Lantas, Nataya menggeleng. Mungkin tidak pernah mengingatnya.
"Berarti Nataya anak yang sehat, iya, kan?" sahut Tarana berusaha membuat suasananya ceria lagi. "Tapi, Ataya, setiap orang wajar buat ngerasain ini, sakit. Tapi kalau Ataya selalu jaga diri, jaga kesehatan, Ataya gak akan kayak Papa, loh."
"Jadi kamu nuduh saya gak jaga kesehatan dan pola hidup saya berantakan?"
Tarana lantas mengedikkan bahunya tidak peduli. "Intinya begitu."
"Papa!" sorak Nataya bahagia. Langkah kecilnya cepat, kemudian menghambur naik ke sofa ayahnya susah payah. "Papa bangun!"
"Papa cuman tidur, Sayang." Bian tersenyum mungil, tapi menahan Nataya untuk bergelayut manja kepadanya. "Jangan di sini dulu. Nanti Ataya ketular sama Papa. Main dulu sama Tante di luar, ya?"
Tarana mengulum semringahnya sendiri. Akhirnya dia berkesempatan juga terhindar dari suasana tak mengenakan ini. "Ayo, Ataya."
"Bukan kamu," kata Bian menaikkan sebelah alisnya. "Tante Gladys. Bukan kamu. Gih, Ataya keluar dulu. Setelah jam enam nanti kita pulang, oke?"
Bian merapatkan jarak antar mulutnya, menghadiahi kening Nataya hadiah yang tak pernah bisa tergantikan oleh apa pun. "Kalau ada apa-apa ke sini lagi, ya?"
"Oke!" Baru sekejap Nataya sedih, ia sudah dihujami oleh keceriaan yang tak terkira. Lebarnya sunggingan itu sampai menyipitkan matanya. "Dadah Papa!"
"Jangan lari-lari, Sayang!" teriak Bian memperingatkan.
Semudah itu keheningan meliputi dua orang canggung. Sejujurnya, Lentera yang canggung. Ia tak memikirkan dampaknya setelah membiarkan Bian memegang ponselnya sendiri.
"Ngapain masih di sana?" tanya Bian lagi, memperhatikan posisi berlutut Tarana di lantai. "Sini. Katanya beliin saya makanan, kan?"
"Oh ..., ya ...." Tarana berdeham, sama sekali tak menyadari kelakuan anehnya di depan Bian. "Saya cuman bisa temuin bubur ini di depan kantor kamu."
"Kenapa gak beli di kantin aja?" Lagi-lagi Bian mengernyit, mendapati nama tempat makan yang dibeli Tarana tidak biasanya. "Ini bukan di depan kantor saya, Tar! Ini kan jauh!"
"Jadi mau makan atau gak, sih?" Tarana sudah siap merebut lagi kantung putih yang bahkan belum dibuka seutuhnya oleh Bian. Siapa yang tidak kesal usahanya tidak dihargai? Mendapatkan terima kasih pun tidak! "Kalau gak mau ya udah. Gak ada yang maksa kamu juga-"
"Saya mau!" Tangan Tarana diusir sekejap mata dari jangkauan makanan Bian. "Siapa yang bilang saya gak mau?"
Aneh. Padahal tadi Bian tampak begitu lemah dan pucat. Lihat saja sekarang, semangatnya lantas sudah berkobar lagi.
Pokoknya, perubahan apa pun tidak ada yang berhubungan dengan dirinya. Kalimat itu terus ditekankan walaupun ..., Tarana tak bisa lagi memegang kata-katanya sekuat di awal.
Dengusan diembuskan Tarana datar. Keberadaan benda persegi panjang itu tak lagi terlihat oleh matanya. "HP saya mana?"
Pertanyaan Tarana tak kunjung ditanggapinya. Persis seperti tindakannya tadi, yang didasarkan oleh kesengajaan.
Tunggu dulu. "Bian. Saya serius. HP saya kamu taruh mana?"
"Saya sita dulu." Pria itu sekali lagi menyandarkan punggungnya, padahal ia belum selesai membuka kotak berisi bubur yang dibelikan Tarana. Kedua indra penglihatannya memejam lagi. "Saya berubah pikiran. Kamu bisa panasin bubur di rumah, kan?"
"Mual?"
Tanpa perlu menjawab, keluar sendiri tanggapan yang diinginkan Tarana darinya. "Beli obat gak?"
"Kamu belum minum obat?"
"Jangan balikin pertanyaan saya, Tar." Jakunnya bergerak naik turun kilat. "Beli gak?"
"Beli, tapi kamu harus makan dulu, Bian."
Bian menggeleng lagi. Menolak semua usul, juga sodoran air minum Tarana. "Mual."
"Kebanyakan omong, sih," gumam Tarana mencemooh.
"Apa?"
"Gak," sahut Tarana ulang. Bungkus makanan itu dibuka satu per satu. Harum bubur sedap itu tak terhindarkan lagi. "Bentar, saya ambil sendok dulu-"
"Tar," panggil Bian lirih. Wajahnya kian memucat, kemudian menunduk membenamkan parasnya dalam tangkupan tangannya. "Mual."
Rasanya, Tarana demam juga tidak pernah sebegininya. Atau mungkin ia yang tak mengingat kejelekannya sendiri. "Sebentar, Bian."
"Tar!"
Beruntung, Tarana tepat waktu menadahi kantung di bawah Bian. Isi perutnya yang dijamin Tarana, tak terisi apa-apa hari ini keluar. Sementara itu Tarana mengurut leher yang tegang. Turut serta menepuk-nepuk punggung Bian agar lebih nyaman.
Roda selalu berputar. Sekarang Tarana percaya itu. Dulu ia yang diurus, sekarang ia yang mengurus. Dua orang sekaligus, pula. "Udah baikan?"
Bian tak banyak bersuara setelahnya. Keasaman mulutnya meningkat pesat. Tenggorokannya panas, juga serak. Masih terdiam cukup lama sampai ia menagih tisu yang segera dikabulkan Tarana.
"Siniin bekasnya."
"Gak. Biar saya yang beresin aja nanti." Bian masih menunduk. Perutnya tak senyaman di awal. Sedikit perih sekarang. "Padahal tadi gak separah ini."
"Manja kamu baru keluar setelah saya sampai di sini, kali," tutur Tarana santai. Kantung bekas Bian tadi sudah diikatnya mati, lantas terempas di tong sampah. "Minum."
Dua teguk, tiga teguk, tandas. Tak banyak tingkah darinya sekarang. Sangat penurut, sangat pendiam. Sama sekali bukan tabiat Bian saat sehat.
Dan jujurnya, Tarana agak menyenangi situasi ini. Di mana ketenangan, bukan ketegangan yang melingkupinya. Suasana rileks, tapi sedikit kehilangan warna dan semangatnya.
Tiba-tiba sebuah benda dingin melekat di keningnya. Belum usai keterkejutan Bian, Tarana menambahi, "Jangan dilepas. Saya gak rela buat kompresin kamu sepanjang malem."
"Terus ini?"
"Kompres demam," jawab Tarana menahan tawanya. Percuma, gagal. Perutnya tergelitik hal tak kasat mata. Merk yang populer di kalangan anak-anak, pasti Bian sudah bisa menduganya. Terlihat dari perubahan wajah masamnya itu. "Oh, ayolah! Biar panas kamu turun, kan!"
Kalau saja bukan tenaga dan energinya yang terkuras habis, ocehannya mungkin akan melebar sampai hari besoknya. Namun, lengkungan tipis terbit tanpa disadarinya. "Dasar, Tarana."