Kotak kecil tidak lebih dari lima senti. Itu yang didapatkan Tarana dari belakang tubuhnya setelah meraba-raba. Pasti ini yang dibilang Bian sebagai hadiah untuknya.
Sebuah kotak berbahan beludru. Lembut, dengan warna merah misterius yang menghiasi benda persegi kecil itu. Pas sekali berada di telapak tangannya. Tidak besar, juga tidak kecil. Nyaman dipandang, tidak membuat matanya sakit.
Namun justru memberi kesan misterius di dalamnya. Entah apa yang disuguhkan Bian di sini. Ia tidak mau menebak lagi. Sering kali pemikiran Bian dan pemikirannya bentrok di tengah jalan. Kalau sudah begitu, ekspetasi apa pun akan terhempas jauh.
"Belom dibuka juga?"
Tarana ikut-ikutan mengalihkan fokusnya pada ujung ruangan. Pintu terbuka separuh menampilkan Bian yang sudah bersih-bersih dan rapih. Mungkin satu-satunya yang disukainya dari Bian adalah pria itu pintar menjaga kebersihan. "Belom."
"Kenapa?" Bian kembali berkicau. Kedua kakinya menyelip ke dalam bedcover hangat. Mendekat teratur pada Tarana, tapi tak sampai merangkulnya lagi. "Gara-gara saya bilang ada yang mau saya omongin?"
Tentu saja! Memangnya wajah ini tidak bisa tertebak apa? Tarana mendengus malas. "Hm."
"Buka aja kalau gitu." Sengaja pria itu bertopang dagu. Melirik jahil pada Tarana. "Mau saya kasih clue, gak?"
"Kan nanti dibuka juga," balas Tarana nampak tak acuh, padahal penasaran juga.
Bahu Bian terangkat ringan serempak. "Buka ya buka aja. Daritadi kamu juga nunda. Setelah saya udah di sini juga masih ngulur waktu. Mau kamu apa?"
Tahu saja semua kelakuan undur-undur waktunya Tarana. Diperjelas lagi. Muka yang sudah digilis sampai ke bumi ini mau ditaruh ke mana? "Emmm ... sejelas itu?"
"Bukan kamu yang jelas," jawab Bian pelan. "Tapi saya yang suka mengamati. Gak heran kalau saya lebih peka sama orang, tapi sayangnya saya gak selalu bisa ngomong apa yang saya rasain."
Tarana mengira bahwa itu adalah akhir dari ucapannya. Ternyata belum seluruhnya. Bian membuka mulut usai menarik napasnya. "Itu makanya kenapa saya salut sama kamu."
"Maksudnya apa?"
"Ya maksud saya ngapain takut buat buka kotak itu? Orang kamu bisa semuanya!" sahut Bian tergelak. Terlepas ringan menodai batin Tarana yang tak siap menerima semua serangan itu. "Buka, Tar. Jangan sampai kamu abain itu baru dibuka besok-besoknya lagi."
Ia tercenung sekali lagi. Ini bukan membaca raut wajah. Bian itu pembaca pikiran betulan! "Isinya yang aneh-aneh ya sampai saya gak boleh nunda lagi?"
"Kalau aneh-aneh mah saya kasih aja ke kamu langsung. Ribet amat harus saya kotakin dulu," cibir Bian mengatai pemikiran anehnya Tarana. Kini ia sudah bersandar di headboard yang sama. Mulai mengantuk menanti Tarana yang tak memulai-mulai. "Itu alasan saya pergi sama orang yang duduk di kursi depan dulu."
Lumayan tertarik. Topik yang terabaikan diungkit lagi. "Apa?" tanya Tarana penasaran.
Hitam legam Bian merujuk pada kotak yang tak kunjung dibuka Tarana. "Apalagi? Ya itu. Isinya, kotaknya, kuenya, saya beli atas saran dari dia. Bukan berarti dia pilihin semua ya. Saya juga ada ikut andil-"
"Ssstt!" desis Tarana memotong kurang ajar. "Kalau kamu pikir saya bakal tersinggung, kamu salah, Bian."
"Terus?" tanya Bian ikut menegakkan tubuhnya. "Kok ngamuk waktu itu?"
Refleks, tangan kiri Tarana memukul kecil bahu Bian. Pukulan yang tak dihantarkannya sekian lama. "Mana ada saya ngamuk! Saya cuman kesel kamu bawa orang gak ngabarin ke saya, biarin Nataya nungguin saya di luar, terus malah dia yang duduk depan lagi!"
Siapa yang menyangka kalau Bian malah mengulurkan tangannya? Untuk bersalaman. Apalagi memangnya? "Jadi impas?"
"Impas apa?"
"Ya impas. Kamu bikin saya kesel minggu lalu karena tinggalin saya sama Nataya. Sekarang saya bikin kamu kesel-"
"Mau dipukul lagi, ya?" potong Tarana bengis. Tangannya gatal bukan main setiap ada orang yang tak bisa diberitahu melalui ucapan. "Mana ada impas-impasan kayak gini?
"Ya justru maksud saya setelah ini, gak ada lagi yang terjadi kayak gini. Ngerti?" Tubuh besar itu diseret mendekat. Menangkup lembut sebelah tangan yang berisikan kotak itu. "Cemburu gak harus berdasarkan cinta, kan? Kamu beneran gak cemburu?"
Cemburu? Ia sempat terpikirkan istilah itu, tapi semua yang berhasil ditelaahnya tak ada yang menuju ke sana. Mungkin hati yang telah mati itu hanya aktif pada Nataya. Entahlah. "Kamu cemburu?"
"Saya sih cemburunya sama Nataya karena lebih akrab sama kamu. Saya nyesel dulu gak ngasuh Nataya sendiri gara-gara kesulitan," ujar Bian disertai rutukan-rutukan kecil. "Tapi bagusnya jadi saya gak usah ribet-ribet jelasin ke Nataya kamu itu apa. Dia beneran anggep kamu tantenya malah."
"Mungkin semua cewek kamu giniin makanya Nataya gak heran lagi kamu bawa cewek ke rumah," celetuk Tarana asal membalas.
"Katanya gak cemburu?"
"Ini mana ada unsur cemburunya, deh?" Kehangatan yang melingkupinya bermenit-menit lewat ditepaknya ke samping. Mulai panas juga. "Saya buka, ya?"
Bian mengangguk patuh. Tak membantah, menggoda, atau hal lain.
Ia tahu ini akan menjadi sesuatu yang serius dan sakral. Reaksi Tarana merupakan momen berharganya. Candaan lenyap seiring separuh kotak berbulu harus itu terbuka lebar.
Memamerkan isinya yang berwarna cantik, indah, dan tidak terdefinisikan.
Karena isinya ini tak akan bisa tergantikan oleh apa pun. Benar-benar limited edition dan mustahil diduplikasi. Hanya ada satu di dunia ini yang Tarana tahu, dan ia mendapatkannya.
"Suka?" tanya Bian ragu. Gurat wajah Tarana sulit dijelaskan, sukar digambarkan. "Atau ... enggak? Itu Nataya yang gambar sendiri. Dia tadinya pengen kasih kamu kertasnya, tapi saya yang bilang dicetak di ... situ aja."
Bukan sembarangan. Benda yang disusurinya ini jelas terbuat dari emas asli. Yang menjadikan benda ini unik justru ... gambar di atasnya.
Berbentuk payung tidak sempurna berwarna biru, dikelilingi oleh rintik-rintik hujan acak. Meskipun bukan gambar terbaik, tapi Tarana begitu menyukainya.
Ini lebih cukup dari apa pun. Tak pernah di dalam hidup Tarana, ia begitu mendambakan sesuatu. Ini adalah benda pertama yang mampu membuatnya merasa ... spesial dan begitu penuh.
"Tar?" panggil Bian khawatir. "Tarana? Jawab sesuatu. Kamu kenapa jadi melamun begini sejak makan kue tadi? Saya sadar."
"Cantik," gumam Tarana membalas. Pelupuk matanya memberat. Sangat ingin pecah sebentar lagi. Tidak bisakah Bian memalingkan wajahnya sebentar saja? "Cantik banget. Cantik dan ...."
Selesai sudah semua pertahanan Tarana sekarang. Ia begitu menyedihkan, merunduk selagi memeluk dalam-dalam liontin tanpa tali itu. Sebisanya, tangannya menutupi jejak-jejak kesedihan jauh-jauh dari Bian. "Tahu gitu saya ... buka daritadi."
"Hey ... it's okay," bisik Bian kebingungan. Tetap tak mengurangi intensitas kekhawatiran Bian akan benda yang itu ditolak Tarana. "Suka banget, Tar?"
Tarana mengangguk cepat-cepat. "Lebih dari suka. Saya jatuh cinta."