"Kamu gila, ya?!" desis Tarana mengetengahkan paduan alis tebalnya. "Satu minggu? Saya bisa benar-benar membunuh kamu, Bian!"
Bian yang notabene-nya jarang kesal saja pun mulai merasakan kobaran yang tersulut. "Apa tidak ada pemilihan kata yang lebih baik dari itu, Tarana? Setiap kalimat yang keluar dari kamu itu tidak ada yang baik. Akan lebih baik kalau kamu diam saja sekarang."
Tulang-tulang Tarana rasanya ingin lepas dari kerangka seharusnya. Sudah dipermainkan, bahkan Bian menyuruhnya diam lagi?
Getarannya kian mencuat kala Bian tak merasa menyesal setelah mengatakan hal tersebut. Diabaikan. Itu bukanlah suatu perasaan positif.
Dan perasaan negatif yang teramat dibenci oleh Tarana. "Bian Pramoko."
Bian masih mengacuhkannya sekali lagi. Memilih untuk memainkan benda persegi panjang yang dinyalakannya seiring dengan helaan napasnya.
Oh, dan sekarang pria itu berperilaku diam? Sekarang? Benar-benar sekarang? Di saat Tarana malah butuh Bian untuk bersuara? "Bian Pramoko!"
"Ini di rumah orang tua saya. Jaga sopan santun kamu," perintah Bian kesal. "Saya sudah cukup menerima semuanya hari ini. Tidak ada lagi suara berisik kamu. Tidak ada lagi pukulan kamu. Jangan kelewat batas, Tarana."
"Kamu yang kelewat batas, sekarang kamu menyalahkan saya?" Tarana nyaris berdecih meremehkan kalau tidak diingatkan oleh Bian. Sesepi ini, membuatnya memikirkan bahwa ia berada di rumahnya sendiri. "Kamu sungguh pria yang menyebalkan, Bian!"
"Apa kamu tahu love language saya, Tarana?" Bian bertanya melengkingkan lirikannya tajam.
"Apa hubungannya coba?!"
"Ada," sahut Bian datar. Kembali fokus lagi pada layar ponselnya yang menyala terang. "Seharusnya kamu sudah bisa menebaknya."
"Kamu sangat bawel kemarin-kemarin. Saya mana bisa menebaknya?" Tarana jadi berdecak kesal tak habisnya. Sudah sebal, ditambahi lagi beban pikiran disuruh menebak love language. "Tahu. Terserahlah."
"Sebut saja salah satu." Pria itu berujar datar. Mengintip dari layar ponselnya raut wajah Tarana. Rasakan. Siapa suruh membuat Bian pusing akan tingkah laku tak habis dari Tarana? "Saya tidak akan menjawab kalau kamu tidak menebak."
"Tidak penting juga untuk saya," elak Tarana malas.
Bian mengangkat ringan bahunya. Meraih gagang cangkir teh hangat yang dibuat oleh Kyla. "Kita tidak akan pulang kalau begitu. Memangnya kamu ingin jadi menantu yang merepotkan mertua di hari pertama pernikahan kita?"
Tck!
Situasi di mana ia terjebak pada lingkungan yang bukan miliknya itu selalu menyebalkan. Berusaha menghindarinya sekuat tenaga, pada akhirnya ia yang terjerat pada ikatan tak kasat mata.
Tarana jadi rindu lingkungan sosialnya dahulu. "Words of affirmation."
"Nyasar." Pria itu menaikkan tingkatan ekor bibirnya. "Memangnya saya pemuji?"
"Kamu suruh menebak!" seru Tarana geregetan. "Saya tahu kamu menyebalkan, tapi kurangi setidaknya! Bagaimana anak kamu bisa bertahan dengan ayah semacam ini?"
"Kamu bukan anak saya, tapi kamu istri saya. Jelas, kamu harus tahan dengan saya, karena saya juga sedang menahan diri untuk tidak bertindak macam-macam kepada kamu," tutur Bian panjang. "Physical Touch. Jangan heran saya suka menyentuh kamu, Tarana. Itu cara saya mengungkapkan ketulusan saya."
Tapi permasalahannya, Tarana jauh dari kata mencintai. Ia benci orang yang duduk di seberangnya, meneliti tingkah laku dan gelagat bengis dari Tarana. "Pantas kamu suka menyentuh setiap orang, Bian."
"Tidak setiap orang, dan cukup sampai di sana mengungkit masa lalu kita, Tarana. Jangan menuduh saya melakukan hal buruk setiap kamu melihat saya." Tanpa sadar, satu cangkir cairan pekat itu sudah tertelan semuanya.
Cangkir itu ditempatkan lagi di tempat yang seharusnya. Dengan kesabaran ekstra, tentu. "Saya tidak seburuk yang kamu pikirkan. Saya bisa menjamin saya lebih baik dari itu."
***
"Jangan bilang kamu sengaja tidak mengajaknya ke pernikahan karena ingin menyembunyikan dia, Bian?" Dari celah sekecil itu, Tarana bisa melihat beberapa orang yang bertugas mengepak semua kebutuhan Nataya.
Tarana jadi merasa bersalah sudah membangunkan mereka tengah malam untuk mengurus kerepotannya. Tapi rasa bersalahnya menguap lagi karena kesalahan ini harusnya dilimpahkan pada Bian, tahu? "Kamu memang orang tua yang buruk."
Bian menarik pundak Tarana mundur. Sementara tangannya mengetuk lembut daun pintu untuk berbicara dengan Kyla yang belum menyelesaikan permintaan Tarana. "Besok aja, Ma. Malam ini kita nginep di sini dulu."
"Eh, jangan," tolak Kyla berbisik. Mendekati dua pengantin baru yang berdiri di ambang pintu. "Kalian pengantin baru. Lebih baik kalian pulang setelah Nataya selesai disiapin."
"Tarana juga gak keberatan, Ma." Segera, pergelangan tangan kecil itu diajaknya bersanding di samping Bian. "Iya, kan, Tar?"
Sedikit memaki, hampir memukul, tapi masih bisa melaksanakan kewajibannya untuk tersenyum. Kurang lebih itulah kehebatan Tarana masih bisa memaksakan sunggingannya setulus mungkin. "I-iya ... besok aja, Ma. Kasihan Bian harus nyetir malem-malem begini."
"Beneran?" tanya Kyla mengernyit tak yakin. "Kamar Bian rutin dibersihin, sih. Tapi kalian yakin mau nginep di sini?"
"Iya, Ma. Gak enak juga Nataya dipindahin malem-malem begini. Nataya juga belum kenal aku, Ma." Cukup sopan bagi Tarana menimpalinya kali ini. Di kasur single itu, anak yang memunggunginya tengah tertidur pulas.
Tarana mana sampai hati membangunkannya? "Gak apa, Ma. Aku tidur di kamar Bian dulu. Mama juga istirahat, ya."
Wanita dengan piyama tidurnya itu melirik bolak-balik. Merasa tak pasti akan keputusan keduanya. "Ya udah, Tarana, Bian."
"Maaf ngerepotin Mama malem-malem begini. Aku kaget habisnya tadi. Semoga Mama maklum." Lengan lancang Tarana berangsur memeluk Kyla dalam jarak dekatnya.
Yang untungnya, pelukan itu tak semata terbaikan. Dibalas cukup baik sekalipun Kyla adalah orang yang tak suka pelukan untuk formalitas. "Gak apa, Tar. Justru Mama merasa bersalah kalau kamu baru tahunya nantian."
"Aku sama Tarana duluan, Ma," pamit Bian menganjurkan Tarana untuk menerima uluran tangannya. "Yuk, Tar."
***
Klak!
Lampu terang benderang menghiasi langit-langit kamar luas. Beberapa tahun belakangan, wallpaper kamar hitam-putih Bian diganti oleh warna emas-silver yang lebih kalem. Karena kelahiran anaknya, tentu saja.
Mulut mungil itu terbuka, untuk waktu yang sebentar. Sekejap lagi telah tertutup, menutup menyalurkan kebawelannya hari ini.
Sepertinya, ia memang terlalu berisik dua hari ini. Ya ..., ia akan memberikan malam ini keistimewaan untuk yang katanya, 'si pendiam'.
"Kamu mandi dulu. Kalau sudah selesai, bangunkan saya," ujar Bian tanpa melihat keberadaan Tarana. "Saya tidak akan berbuat keterlaluan di rumah orang tua saya."
"Saya tidak punya pakaian."
Lagi, Tarana seakan terbaikan eksistensinya. Hanya suara yang mampu dibalas oleh Bian tanpa melihat wujudnya di samping kasurnya. "Ambil kaus atau salah satu kemeja saya saja. Kita hanya menginap sehari di sini."
"Bisa tidak berbicara sambil melihat saya?" Tarana mulai berkacak pinggang sinis. "Saya merasa terabaikan, dan saya paling tidak suka diabaikan."
"Saya juga tidak suka dipukul, tapi kamu memukul saya terus," balas Bian membalik perkataan Tarana ringan.
"Jadi, ini balas dendam?"