webnovel

Chapter 1

Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan segala macam yang akan aku katakan kepada kedua orang tua ku, aku tidak tau apa mereka akan mengijinkan atau melepaskan ku untuk pergi. Aku membulatkan tekad ku, bismillah.

Setelah melakukan shalat maghrib aku dan kedua orang tua ku masih berada di ruangan shalat, dengan penuh pertimbangan aku membulatkan niat ku. “Kenapa,Nduk? Ada yang mengganggu pikiranmu?” suara ibu bertanya dengan nada begitu lembut, aku hanya bisa menunduk mencium tangannya serta tangan ayah. Kini aku kembali melihat kedua orang yang aku sayangi, tersenyum kecil.

“Aira mau berbicara sebentar sama ayah dan ibu.”

“Ada apa nak?, sepertinya ini sangat mengganggu kamu.”

“Aira izin untuk pergi ke Korea bu, yah.. Aira ingin bertemu Mila, Aira kangen sama dia.” Ibu menatap ayah, aku tau beliau terkejut mendengar kan keinginan ku.

“Itu jauh buat kamu Ai, kamu bisa menyapanya lewat ponsel. seperti biasanya kamu juga begitu.” ujar Ayah yang sering melihat kebiasaan ku setiap malam bertukar kabar dengan Mila.

“Iya, kenapa tiba-tiba Ai. apa ini karena acara lamaran kemarin?.” hatiku berdesir, aku tidak bisa mengatakannya tetapi melihatnya, mereka tahu persis apa yang membuat hatiku risau.

“Kalau apa yang ibumu katakan benar, coba lah buat ikhlas kan, Nduk. Mungkin ini bukan jodohmu.” Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku, rasanya terlalu sesak untuk dikatakan.

“Tapi, Yah.. Ai sudah ikhlaskan, Ai hanya ingin menghibur hati Ai. disini terlalu menyesakkan untuk Aira memulai hidup baru Yah, Aira tau ini begitu berat, tapi Aira janji hanya sebulan beri Aira waktu sebulan aja Yah, Bun.” Aku mencoba menyakinkan mereka, aku tau ini begitu sulit untuk mereka tapi aku hanya butuh waktu, itu saja.

“Aira tau ini berat buat ayah dan bunda, Aira hanya ingin mengobati hati.”

“Tapi tidak sejauh itu nak.” Ibu terus mendesakku untuk mengubah keinginan ku, tetapi aku tidak bisa.

“Ayah izinkan kamu pergi, Rumah ini akan terbuka untuk kamu, ayah tau ini berat buat kamu jalankan. Maaf kan kami yang telah membuat mu kecewa.”

Aku menggeleng, menangis saat ayah meminta maaf yang sama sekali tidak ada yang salah disini. “Ayah sama bunda nggak salah, Aira yang salah telah jatuh hati sama calon mbak Asha, ayah. Hati Aira salah, tidak seharusnya Aira jatuh hati sama calon kakak ipar Aira sendiri. Maaf kan Aira ayah.” ujar ku yang terbungkuk di depan mereka, menangisi yang telah membuat ku kehilangan akal. Jemari ibu mengusap punggungku menenangkan ku dengan segala rasa yang salah, ini telah menjadi pilihan ku, aku akan mencoba mengikhlaskan.

“Kamu pasti bisa nak, kamu bisa untuk bangkit kembali. percayalah jodoh dan restu telah ada di tangan Allah, Kita hanya ikhlas dan menjalankannya.” aku mengangguk, ku tegakkan kembali tubuh ku dan menatap kedua malaikat yang begitu berharga untukku.

“Bu, percaya sama Aira ya..Aira akan menjaga diri dengan baik, Aira tetap menjadi putri kecil bunda dan ayah. Ai hanya minta restu untuk memberi izin Aira pergi menemui Mila, Aira akan sering memberi kabar kepada ayah dan bunda serta Aira akan kembali secepatnya, Aira hanya butuh waktu sebulan..” aku menggengam tangan ibu menangkupnya dan menyakin nya.

“Ibu ingat, ibu pernah bilang kepada Aira waktu Aira masih di pesantren hiduplah dengan bahagia, seperti pesawat kertas yang terbang mengikuti angin dan berlabuh di tempat yang aman. biar kan ia tersobek, tetapi ia pernah melampaui suatu hal yang berharga. Aira ingat betul dimana ibu mengatakan saat Aira terpuruk dengan itu Aira ingin menjadi apa yang ibu katakan, saat nya Aira untuk bisa terbang dan berhenti di tempat yang aman. Restu ibu, itu yang Aira butuhkan, Aira janji Ai akan pulang dengan lembaran baru. Tunggu Aira saat itu bu, Aira akan datang dalam pelukan ibu dan ayah.” Ibu menatapku dengan haru, belaian tangannya membuat air mata ku tak bisa dibendung.

“Apa harus sejauh itu sayang?” tanya ayah saat beliau menatap ku yang menangis dalam pelukan ibu, aku menarik diri kini ku tatap ayah.

“Ayah percaya kan sama Ai?, Aira akan mematuhi apa yang ayah dan ibu katakan.”

“Ayah percaya sama kamu, kalau ini keinginanmu ayah dan bunda bisa apa? Kamu sudah menjadi anak yang bakti dan selalu mendengarkan kata-kata kami, dan mungkin ini pertama untuk kami mendengarkan keinginanmu nak."

Aku tersenyum haru, “Terimakasih ayah.”

Aku tau ini begitu berat untuk mereka juga aku, tetapi biar lah aku ambil kesempatan ini untuk mengobati hati. Pergi ke Korea aku membawa harapan untuk kesembuhan perasaan ini, cinta ku kepada mas Marvin begitu terlarang bahkan aku begitu tidak tau dirinya menyukai sosok dewasa yang kini telah mengikat mbak Asha. Kepercayaan kedua orang tua ku membuat ku lebih tangguh, aku yakin insyah Allah ini pilihan yang terbaik.

Memilih untuk tetap tinggal pun, tidak membawa secela untuk aku bisa melupakannya. Semakin lama ku tinggal, semakin lama perasaan ini terus membawa ku dalam rasa salah yang luar biasa. kini aku telah mendapatkan rasa kepercayaan dari ayah dan ibu, aku akan berusaha menjadi yang terbaik setelah luka ini. Insyaallah ada jalan menuju kepadanya.

[..]

Sudah pukul sembilan malam, aku meranjak ke dalam kamar menatap sekeliling kamar yang telah menemani ku sedari kecil. kini, aku merelakannya untuk beberapa hari yang akan aku lalui sendiri. Rasa bersalah itu masih melingkupi ruangan di hati, di kamar ini juga aku mendapati fotoku bersama mbak Asha serta pria yang membuat ku jatuh cinta, mas Marvin.

Aku tersenyum pilu, aku hanya bisa menyimpan foto itu di lemari kecil tempat dimana barang-barang berharga ku. Sesekali aku melirik ke dalam foto itu hanya senyuman getir yang bisa aku beri, rasanya sakit begitu sakit. Maaf kan Aira Mbak, Aira janji untuk segera memulihkan hati Aira dan mencoba mengikhlaskan.

Tok tok,

Aku menutup rapat lemari kecil itu, membuka pintu untuk seorang yang baru saja mengetuk aku tidak ingin siapa pun yang melihat ku masih dalam keterpurukan luka.

“Aira ini mbak.” aku memejamkan mata, menetralkan detak yang sempat berdegup kencang. dengan perlahan aku membuka pintu kamarku dan melihat sosok Mbak Asha yang masih dengan pakaian yang sama saat ia pergi bersama mas Marvin tadi.

“Mbak udah pulang?”

“Iya baru aja, mbak boleh masuk nggak?” Hanya anggukan yang ku beri, kini mbak Asha masuk ke kamar ku dengan aku yang berdiri di belakang pintu yang tertutup.

“Kamar kamu nggak banyak berubah Ai, maaf ya mbak jarang perhatiin kamu. Mbak sibuk sama pesantren.” ujarnya dengan suara lembut yang begitu merdu untuk didengar, aku takjub dengan mbak Asha bagaimana tidak jatuh hati orang tua mas Marvin melihat mbak Asha yang begitu cantik, baik, serta memiliki suara merdu saat mengaji bahkan bicara pun mbak Asha adalah wanita yang sempurna dibandingkan aku sendiri.

Lagi, aku mengingat hal yang pahit membuat ku menelan nya dengan kasar. “Nggak apa-apa mbak, Aira mengerti.”

Kini mbak Asha menatap ku, “mbak dengar kamu mau pergi ke Korea? Kenapa?”

Ini hal yang terberat saat mbak datang menanyakan alasan aku pergi, tentu tidak mungkin aku mengatakan jika aku pergi hanya mengobati luka hati karena cinta dan luka itu sendiri diberikan oleh mas Marvin. “Aku merindukan Mila kak.” hanya itu alasan yang bisa aku berikan, ku lihat mbak Asha menghela nafas menghampiri ku yang masih berdiri.

“Kamu kalau ada masalah cerita sama mbak, mbak siap menjadi kan tempat isi hati kamu. Ayah sama Bunda berat buat melepaskan kamu, tapi mereka menerimanya karena keputusan kamu mbak nggak bisa ngelarang kamu buat pergi, hanya ini yang bisa mbak berikan untuk kamu, mendukung kamu dengan pilihanmu.”

“Terimakasih mbak.” aku memeluknya, rasa ku semakin bersalah. Aku telah membohongi mbak Asha yang dengan sabar nya selalu membawa ku kedalam pelukannya saat aku bersedih, tetapi untuk kali ini biarlah aku menutupi rasa beralasan ku dan menembusnya dengan rasa yang sebenarnya.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi bila mbak Asha mengetahui hal ini, aku semakin melihat perkembangan hubungan mereka yang kian dekat aku tidak bisa pungkiri untuk tidak merasa terluka lagi, aku hanya ingin melihat kak Asha bahagia. “Hati-hati disana, kirim salam sama Mila. Kakak merindukannya, suruh dia segera kembali.” pesan kakak yang aku angguki, Mila dan mbak Asha dulu begitu dekat.

Aku tersenyum, begitu juga mbak Asha, ia membawa ku duduk di ujung ranjang tempat tidur memukul punggung tangan ku. “Kamu harus bahagia, mas Marvin titip salam sama kamu. Katanya kamu kapan ada waktu buat belajar lagi sama dia.”

“Aku sudah berhenti taekwondo mbak, sudah lama sebenarnya.”

“Mbak nggak tau, maaf ya. Mas Marvin tanya kamu terus, kamu nggak niat untuk ketemu dia, dulu kalian juga dekat kan?” aku mengulum bibirku, tidak menyangka mas Marvin masih menanyakan ku.

“Titip salam aja buat mas Marvin, besok aku udah berangkat mbak.”

“Secepat itu?”

“Lebih cepat, lebih baik.. bukan nya begitu?”

Mbak Asha hanya mengangguk, kini ia kembali bungkam tidak ada lagi pertanyaan serta tentang mas Marvin. Aku tidak ingin kembali mengingat hal-hal bersama pria itu, kini ku tekadkan untuk pergi dari masa lalu. Ada sesuatu yang menunggu, masa depan.