Tanpa sepengetahuan Nana, hampir setiap malam Ana selalu menangis karena memikirkan bagaimana nasib mereka kedepannya. Tanpa adanya kakaknya, Clarisa.
Ana merasa gila harus berpura-pura baik-baik saja didepan saudaranya itu, setiap kali Ana memang selalu menunjukan senyuman bodoh atau kata-kata konyol dengan harapan menghibur kakaknya Nana, atau mungkin menghibur hatinya sendiri yang sakit. Ya, sakit sekali rasanya saat merindukan Clarisa.
Sama halnya seperti malam sebelumnya, malam ini Ana pergi mengendap-endap ke kamar Clarisa untuk mengobati rasa kerinduannya.
Cuacapun rasanya sangat mendukung tangisan Ana yang terus mengalir, hujan deras diluar seakan menyembunyikan raungan-raungan Ana.
Ana berharap pada malam berulang kali, agar mengembalikan Clarisa pada mereka. Ana tidak ingin hal lain, Ana juga tidak ingin gaun mahal itu. Tapi tolong kirim kembali Clarisa kepada Ana dan Nana.
Tangisan Ana berhenti tatkala pintu rumah mereka diketuk begitu kencang, mengganti kesan sedih menjadi horor malam ini.
Pasalnya Nana sudah tertidur dan jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ana segera menghapus jejak-jejak air matanya dan perlahan pergi melangkah keluar.
Sembari berharap yang sedang mengetuk pintu itu bukanlah badut menyeramkan. Tolong abaikan khayalan anak yang akan memasuki sekolah berseragam biru itu.
Ana tersenyum lega mendapati Geraldi-lah yang sedang berdiri didepan pintu dengan badan yang sedikit basah karena hujan.
"Kak Gerald ngapain kesini tengah malem? Gak pulang?" Tanya Ana heran pada sosok tinggi yang seenaknya masuk dan duduk di sofa sembari mengeluarkan sesuatu dari kantung plastik yang dibawanya.
"Ban mobil kakak bocor dideket sini, kalau pulang kejauhan, keburu basah kuyub." Ana mengangguk paham.
"Tapi nanti kalau dicariin kak Jasmine gimana?" Geraldi menghentikan pergerakan tangannya sebentar, ia lupa kalau sudah memiliki istri semenjak kemarin.
"Tapi kakak bawa bakso buat kita. Nana mana?" Ana tergoda dengan aroma wangi dari makanan yang dibawa oleh Geraldi.
Ana mengalah, tidak akan membujuk Gerladi pulang lagi. Demi bakso. Semoga saja Geraldi tidak menyadari Ana yang habis menangis.
"Nana tidurnya itu awal biar bisa bangun pagi."
"Bagus, kok kamu jam segini gak tidur? Kamu habis nangis ya? Berantem sama kakak? Atau pak RT jahat lagi?" Ana membeku. Malu jika memberitahu kalau ia menangis karena merindukan kakaknya. Ana harus menjadi anak yang kuat.
"Ana ambilin mangkok dulu ya kak." Ujar Ana untuk kabur dari pertanyaan Geraldi.
Gerladi-pun hanya bisa mangut-mangut karena saat memakan bakso pasti butuh mangkok.
Tak lama setelah itu Ana kembali membawa dua buah mangkok beserta sendok dan garpunya. Lantas Geraldi langsung menuangkan dua bungkus bakso kedalam mangkok tersebut.
"Ini yang buat Nana kamu simpen aja, besok kalau mau makan dihangatin dulu." Ana menurut, menyimpan sebungkus bakso kedalam lemari pendingin. Argh, pasti rasanya beda jika dimakan besok. Mungkin Nana akan tetap menikmatinya, sudah lama semenjak mereka makan makanan seperti itu.
"Kakak udah lama banget gak makan bakso semenjak kuliah diluar negeri dan pas nemu yang jual kakak beli deh, sekalian beliin buat kalian juga. Tapi si Nana malah tidur." Ana tersenyum.
"Oh iya kak, minggu depan minta tolong anterin kita ke sekolah buat daftar sekolah baru ya?"
"Ooh udah masuk SMP ya?" Ana mengangguk. "SMP mana?"
"Nusa Bakti kak. Kita udah dapet beasiswa disana jadi gak usah pusing-pusing lagi cari biaya sekolah."
"Beneran?"
"Iya, beasiswa full mulai dari biaya bulanan ke biaya seragam semua udah klop. Jadi kakak cuma perlu dateng tanda tangan dan segala macemnya yang diperluin buat wali." Gerladi mengangguk sembari menggigit bakso besar.
"Iya, minggu depan kakak anter. Tapi kalau kalian butuh sesuatu langsung hubungin kakak ya." Ana tersenyum senang saat mendapat elusan kepala dari Geraldi.
"Kak Gerald waktu kuliah diluar negeri itu dimana kak?"
"New York."
"New York?" Gerladi memperhatikan langkah kecil Ana yang tiba-tiba berlari masuk kedalam kamar dan keluar lagi dengan cepat. Padahal baksonya sama sekali belum tersentuh.
"Kakak bisa bantuin aku siapa yang kirim paket dari alamat ini?" Ana menunjukkan alamat yang disimpan Nana untuk berjaga-jaga. "Aku udah pernah minta bantuan Wendy.."
"Wendy?"
"Temen online-ku yng dari New York juga... jadi..."
"Cewek apa cowok?"
"Namanya kayak cewek kan? Tapi sebenernya dia itu cowok kak." Bisik Ana diakhiri dengan tawa kecil. "Jangan kasih tahu kak Nana ya? Nanti aku gak boleh ngehubungin Wendy lagi." Lanjut Ana.
"Aku juga gak mau kamu berhubungan lagi sama dia." Ana mendelik, maksudnya bagaimana?
"Loh, kenapa kak?"
"Dia cowok. Hubungan lewat sosial media gak ada yang berakhir baik."
"Tapi kita cuma temenan kok. Dia juga bantu aku cari orang dialamat ini."
"Ketemu?"
"Enggak sih."
"Kalau gitu jangan temenan lagi sama dia. Biar kakak yang bantu cari."
Ana tersenyum kecut.
"Kakak gak boleh gitu, nanti kalau aku suka sama kakak gimana? Kan ribet, kakak kan udah punya istri." Geraldi tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Sepertinya Ana memasuki masa puber lebih cepat ketimbang Nana.
"Suka aja gak apa-apa kok. Asal gak sampai nikung kakak dari Kak Jasmine."
"Itu namanya jahat." Gumam Ana sangat pelan, kemudian dengan kesal mulai melahap bakso dengan cepat. Ana sengaja mendiamkan bakso yang panas sejenak agar saat memakannya tidak perlu menjeda-jeda lagi.
Tak ada lagi percakapan setelah itu, karena baik Geraldi maupun Ana kini terlelap karena kantuk yang mulai mendera.
*
Suara gebrakan pintu membuat Ana terkejut dan bangun dari tidurnya. Dengan sigap Ana mengelap air liurnya dan menerawang kesekitarnya dengan mata ang belum sepenuhnya kembali fokus.
Argh, rupanya semalam Ana tertidur di ruang tamu saat sedang asik memandangi wajah Geraldi yang tidur di sofa panjang. Ana pasti sudah gila dan yang menggebrak pintu tadi pasti Nana.
Matahari yang sudah tinggi dan rumah yang nampak lebih rapi, bahkan dua mangkok bakso yang semalam digunakanpun sudah hilang dari meja. Nana pasti sudah lebih dulu berangkat untuk mengumpulkan tugas akhir yang kemarin mereka kerjakan.
Dering telfon yang masih menyambung pada kabel pengisi daya itu membuat Geraldi tersentak kaget. Lantas Ana segera menjauhkan posisi tubuh mereka.
Geraldi meraih hpnya.
"Halo?"
"...."
"Iya, ini aku mau pulang."
"....."
"Habis itu aku berangkat kerjalah sayang."
"..."
"Bulan madu? Kan aku udah bilang aku pegawai baru, gak mungkin langsung ambil cuti gitu aja."
"...."
"Iya, aku janji akhir tahun nanti."
Sepertinya sambungan telfon itu terputus, karena Ana melihat Geraldi yang menaruh hpnya sembari tersenyum kearahnya.
"Kamu gak sekolah, Ana?"
"Sekolah-lah."
"Terus ngapain bengong disitu? Nana juga bangunin sana."
"Nana udah berangkat."
"Oh ya, kalau gitu kakak pulang dulu."
"Kakak." Panggil Ana yang membuat Geraldi menaikkan kedua alisnya penasaran.
"Mau berangkat bareng? Tapi kakak mau mampir ambil mobil dulu di bengkel, gak kelamaan?" Ana menggeleng.
"Gak gitu."
"Terus kenapa?" Geraldi masih sabar menunggu ucapan yang akan dilontarkan gadis kecil dihadapannya ini. Satu hal yang membuat Geraldi sangat mempedulikan mereka berdua. Yaitu, karena Geraldi juga pernah ditinggalkan sendirian.
"Kakak mau jadi sugar daddy aku?"
Geraldi ingin sekali menoyor kepala anak dengan pipi cuby dihadapannya ini. Sepertinya bakso kemarin membuat anak itu berfikiran yang tidak-tidak.
"Berfikirlah sesuai anak di usiamu Ana."