webnovel

Bermain Api Lagi?

Keheningan melanda semenjak Dewi mengatakan tujuannya datang ke rumah mereka.

Hal itu terjadi sebab Evans yang diajak bicara hanya bungkam seribu bahasa, jujur saja walau sudah enam tahun menyandang status sebagai tunangan wanita cantik nan anggun yang berasal dari keluarga kaya di kota itu, Evans belum terpikirkan jika dia akan menikah sungguhan dengan Michella.

"Evans," panggil sang papa yang sejak tadi diam, dia pikir putranya pasti terkejut karena hal penting ini baru dia ketahui di saat yang mendesak.

"Apa kamu keberatan, Evans?" tanya Mery ikut menimpali sebab kebungkaman Evans tak mempertegas keinginan pria itu.

"Ah, hahaha tidak mungkin nak Evans menolak, kita semua sudah tau. Pertunangan mereka sudah enam tahun lamanya, sejak Evans baru memulai karier sebagai dokter ahli bedah Michella sudah setuju untuk menunda pernikahan sebab memikirkan Evans dan cita-citanya, lagi pula sekarang Evans sudah mendapatkan apa yang ia impikan. Menjadi dokter ahli bedah dan sangat berprestasi, memangnya apa lagi yang ingin dia kejar?" sela Dewi tiba-tiba saja dengan cepat menarik Evans untuk melemparkan tatapannya ke arah wanita paruh baya yang senang asal bicara itu.

Ditatap demikian oleh calon mantunya membuat Dewi menegakkan kepalanya, dan sedikit menaikkan dagu tak ingin terlihat takut untuk menyampaikan isi hatinya yang sebenarnya tak disukai oleh Evans.

"Kenapa menatap Tante seperti itu? Apa kamu keberatan dengan ucapan Tante?"

"Sejak awal untuk pertunangan ataupun pernikahan dengan Michella saya tidak pernah keberatan, yang memutuskan semua ini adalah orang tua saya. Mereka yang selalu memegang kendali atas hidup saya, apa yang mereka katakan adalah yang terbaik bagi saya. Ya, seperti itu kehidupan yang selama ini saya jalani. Tapi, jujur saja. Untuk menikah dengan Michella dalam waktu dekat, saya tidak pastikan akan bisa. Karena setelah mengambil cuti, akan ada banyak kesibukan yang memakan waktu saya, dan juga ada pekerjaan yang belum saya selesaikan dengan seseorang...." tutur Evans apa adanya.

Selama ini Evans kerap sekali tak peduli dengan keinginan hatinya, selalu patuh pada orang tuanya. Ya, selama itu Evans begitu sebab di hatinya tak memiliki rasa tanggung jawab lain selain kepada keinginan orang tuanya.

Tapi, kini. Evans memiliki beban lain di hatinya, yaitu Luna. Satu nama dengan berjuta makna itu adalah penghalang terbesar bagi  Evans untuk segera menikah dengan Michella.

Evans memiliki janji pada Luna, dan Evans adalah pria yang sangat tidak pandai melanggar janji. Karenanya sebelum janjinya untuk membantu Luna balas dendam selesai maka selama itu pula Evans tak akan mengambil jalan yang akan mempersulit dirinya membantu Luna.

"Maksudnya, kamu ingin menunda lagi pernikahan kalian?" tebak Dewi tepat sasaran, namun. Evans tak mengangguk atau pun menggeleng.

Dia malah melirik Michella yang sejak tadi menatap dirinya dalam diam, entah apa yang tengah dipikirkan wanita cantik itu.

"Kamu tidak berpikir, berapa usia kalian sekarang? Michella sendiri saja sudah memasuki kepala tiga, berapa lama lagi kamu ingin menundanya?" tutur Dewi lagi dengan ekspresi kaget.

Evans lebih dulu mengalihkan pandangannya, dia menatap makanan di atas meja dengan rasa bimbang. Bagaimana dia harus menjelaskannya.

"Umur bukan masalah bagi saya, Tan. Lagi pula hubungan kami baik-baik saja sejak enam tahun belakangan, menunda sebentar lagi juga tidak akan jadi masalah."

Sangat penuh rasa percaya diri kala dia mengatakan kalimat yang membuat segala ekspresi di wajah para tetua itu menghilang.

"Hubungan yang baik-baik saja selama enam tahun perlu dipertanyakan, apakah itu sungguh baik-baik saja karena kalian saling mencintai. Atau baik-baik saja karena kalian memang merasa hambar dengan hubungan kalian."

Evans tak memberikan jawaban apa pun, bibirnya terkatup rapat. Sementara Michella menenguk air putih di depanku guna membasahi tenggorokannya yang terasa kering karena sikap Evans.

Setelah dirasa cukup, dengan pembawaan yang begitu santai. Wanita itu meletakkan kembali gelasnya dan mengusap sudut bibirnya yang basah dengan tisu, lantas dagunya sedikit dia naikkan dengan pundak yang selalu tegak.

Sorot matanya yang tajam, yang dibingkai dengan kelopak diberi riasan indah menusuk ke arah Evans.

"Sepertinya karena kami memang saling mencintai, Ma."

Suara Michella membuat Dewi bernapas lega, dia khawatir anaknya selama ini tak bahagia.

"Syukurlah."

***

Di waktu yang sama namun di tempat yang berbeda, saat ini Luna tengah sibuk menikmati waktu sendirinya di halaman belakang villa, hamparan rumput hijau dengan pemandangan bukit di kejauhan mata membuat Luna merasa nyaman.

Semua yang bisa dia lakukan sudah beres, anak-anak juga pergi sekolah. Sementara yang masih bayi, tidur setelah diberikan susu. Lalu, Aisyah ada di ruang tengah menonton acara televisi kesukaannya.

"Di sini rupanya jauh lebih baik," gumam wanita itu.

Luna melirik sekitar memastikan tak ada orang lain agar dirinya bisa leluasa mengekspresikan dirinya, begitu diyakin hanya ada dia seorang Luna tersenyum simpul.

Dia melihat ponselnya, berkutat dengan benda pipih itu sejenak. Tepat setelah Luna menghidupkan data selulernya notifikasi dari berbagai akun sosial medianya langsung saling bersahut-sahutan.

Keningnya berkerut, jarinya bahkan sampai berhenti untuk beberapa saat karena menunggu hingga notifikasi itu berhenti berdenting di ponselnya.

"Aku jarang menggunakan sosmed, tapi kenapa notifikasinya banyak sekali," tanyanya pada angin.

Setelah tak ada lagi notifikasi yang masuk, Luna baru membuka satu aplikasi yang paling banyak mendapatkan notif.

Begitu dibuka, ternyata banyak orang yang mengirimkan pesan bahkan men-tag dirinya.

"Bukannya seluruh dunia sudah tau aku buta, kenapa harus men-tag, kirim pesan? Wah, lucu sekali. Apa kira-kira yang mereka posting," gumam Luna sembari tersenyum geli melihat orang-orang di sosmed.

Namun, senyumnya kontan hilang kala matanya melihat sebuah postingan yang rupanya adalah sebuah screenshot dari akun lain, yang mana akun itu adalah milik selingkuhan suaminya.

Ya, postingan Sania kemarin malam langsung dibanjiri hate komen bahkan juga likenya begitu banyak. Yang jadi postingan itu sangat viral bukan karena Sania cantik, tapi. Karena semua orang tahu jika pria yang bersamanya adalah suami dari wanita yang baru mengalami kecelakaan.

Mata Luna memanas, kilat kebencian membara di sana. Namun, jarinya tak berhenti melihat satu per satu akun yang memposting ulang postingan Sania membuat dirinya semakin membenci dua orang yang sudah bermain api dengannya.

"Jadi, ini perjalanan bisnis yang bajingan itu maksud? Lalu, apa maunya jalang ini. Kenapa dia memposting foto seperti ini?"

Luna meremas kuat ponselnya, matanya tak berkedip sekali pun. Sebab jika dia berkedip pasti air mata yang sudah menggenang akan langsung jatuh.

Beralih dari beranda, Luna membuka pesan. Ada banyak pesan yang isinya hampir sama, yaitu kalimat penyemangat untuk dirinya, mereka tahu Luna tak akan bisa membaca pesan itu. Sebab mereka pikir Luna sungguh buta.

"Teruslah bermain api sampai aku juga ikut tersulut dan membakar habis kalian berdua," geramnya dengan rahang yang mengeras.

Luna membenci dua orang itu, tapi. Jujur jauh di dalam lubuk hatinya dia juga merasa sakit hati dengan apa yang matanya lihat, harusnya dia sudah biasa saja sebab dia memang tahu jika suaminya selingkuh.

"Argggggg!!!"

Karena kesal, kecewa, sedih, yang bercampur aduk menjadi satu. Luna melemparkan ponselnya begitu saja hingga retak karena wanita itu melempar terlalu jauh mengenai bongkahan batu besar di sana.

Luna menutup wajahnya dengan ke dua telapaknya, wajahnya memerah sampai ke telinga. Isakan pilu perlahan lolos dari bibirnya, hatinya sakit. Rasa sakit ini masih sama saat pertama kali dia tahu Ekal selingkuh.

"Kalian memang bajingan...." racau Luna bersama suaranya yang bergetar.

Perlahan tangannya turun, matanya yang memerah tampak memancar siap membunuh siapa saja yang dia lihat.

"Baiklah, ayo bermain api lagi wanita jalang...."

Sudut bibir yang terkena air mata itu naik, menciptakan senyum miring. Persekian detik berikutnya Luna tertawa keras seperti ada hal lucu yang tengah menghibur dirinya sementara matanya tak henti meneteskan air mata menandakan jika tawa itu sangat hambar.

***