webnovel

Bagian yang Luna Benci

"Bukan apa-apa, aku cuma tidak mau merepotkan kamu saja," dalih Luna dengan senyuman manis.

Tak ingin membuat suaminya curiga akan perubahan sikapnya.

Dan, bodohnya Ekal percaya saja. Dia kembali memeluk punggung istrinya, sebab sedikit lagi mereka sampai di kamar.

Napas Luna membara kala hampir dia memasuki kamar itu, matanya kontan berkaca-kaca jika mengingat selama dia koma.

Ekal dan selingkuhannya menempati kamar itu, hatinya terasa sangat remuk redam, dan panas di saat yang bersamaan.

Hampir Ekal membuat Luna duduk di atas kasur, tapi. Luna menahan diri untuk tidak duduk.

"Kenapa?" tanya sang suami penasaran, perasaan. Sikap aneh Luna begitu banyak.

Namun, Ekal memaklumi itu dan menganggap kalau ini hanyalah trauma pasca kecelakaan.

"Aku mau ganti ranjang kita," katanya.

Jelas saja, Luna tak sudi jika harus tidur di tempat yang sama di mana suami dan selingkuhan pernah mengabiskan malam.

Kening Ekal mengkerut, tanda dirinya tak paham dengan keinginan Luna yang mendadak semakin aneh saja.

"Kenapa diganti, Sayang? Bukannya ini masih bagus, kamu tidak pernah ganti barang. Kalau barangnya masih bagus, kan?" tanya Ekal lagi masih belum mengerti.

Luna mengangguk, dengan mata yang berusaha tak menatap Ekal. Luna menjawab.

"Seringatku sebelum aku kecelakaan, kasur kita ketumpahan sesuatu yang menjijikan. Dan, aku baru sempat katakan sekarang," dalihnya cukup masuk akal, walau Luna tak menjelaskannya secara spesifik.

"Benarkah?"

Dia bergumam untuk memberikan jawaban, hingga Ekal akhirnya menurut. Dia membawa Luna duduk di sofa saja jika istrinya itu enggan duduk di kasur.

"Kalau begitu, kamu tunggu di sini sebentar. Aku akan hubungi asistenku untuk membelikan kasur baru."

Ekal meninggalkan Luna di sana, entah ke mana pria itu pergi. Luna ingin bersikap tidak peduli.

Dia memilih memandangi setiap sudut kamarnya yang sudah pernah dimasuki wanita sialan itu.

"Aku sungguh merasa gerah ada di sini," geram Luna dengan tangannya yang terkepal erat.

Menantikan kedatangan Ekal kembali membuat Luna bosan, hingga tak segaja Luna mendengar suara Ekal tengah berbicara oleh seseorang dari luar.

Karena penasaran, Luna mendekati pintu. Di dinding itu, dia mendekatkan telinganya ke sana.

"Sayang, tunggu sebentar lagi, ya...." bisik Ekal, namun. Masih bisa didengar baik oleh Luna.

Tak perlu ditebak, Luna tahu dengan siapa Ekal tengah bicara selembut itu.

"Iya, aku harus menemani Luna sebentar lagi. Setelah selesai urusan di rumah, aku langsung menemui kamu," janjinya.

Karena terbawa suasana, Luna melirik vas bunga yang ada di dekatnya.

Tangannya refleks mendorong vas tak bersalah itu, hingga menimbulkan suara bising menarik Ekal udah masuk dengan buru-buru memutuskan sambungan mereka.

Bola mata Luna membesar tak kala mendengar derap langkah mendekat, tanpa pikir panjang.

Dia menjatuhkan dirinya ke lantai, dan pura-pura kesakitan sebisa mungkin tak ingin menimbulkan kecurigaan Ekal.

"Astaga, Sayang. Kamu kenapa?"

Ekal berlutut di depan Luna, dia melihat Luna dari atas kepala sampai kaki. Memastikan jika istrinya itu baik-baik saja.

"Aku tadi ingin memanggil kamu, tapi. Tidak segaja aku menabrak sesuatu," dalihnya.

Ekal iba melihat Luna dalam keadaan ini, bahkan Ekal termakan oleh sandiwara itu.

"Jangan jalan sendirian, Sayang. Kamu bisa panggil saja tadi, ya. Sudah, ayo aku bantu."

Ekal menggendong Luna dengan hati-hati, Luna rasanya sangat berat untuk mengalungkan tangannya pada leher sang suami.

"Kasurnya akan datang sebentar lagi, oh. Iya, aku mendapatkan telepon dari kantor, ada sesuatu yang mendesak. Dan, aku harus sampai di sana secepatnya. Kamu tidak apa-apa kalau kutinggal sendiri?" tanya Ekal ragu-ragu.

Di saat sudah mendapatkan desakan dari Sania, dirinya tak bisa menunda lebih lama. Sepertinya sang Ekal memang benar sudah jatuh dalam rayuan Sania.

Luna tak memberikan jawaban, dia tahu ini adalah kebohongan. Masih tak menyangka jika Ekal bisa berbohong di saat dirinya dalam kondisi seperti ini.

Kini, Luna lega. Dia tak salah pilih dalam sandiwaranya, walau dirinya harus menahan rasa sakit yang mungkin setiap hari akan mendera dadanya dengan setiap kebohongan sang suami.

"Sayang? Kamu mendengar aku, kan?" tegur Ekal, tak kala Luna hanya termenung dengan tatapan kosong.

Luna mengerjap beberapa kali, setelahnya dia mengangguk dengan pelan.

"Pergilah, jika itu mendesak. Pasti, dia tidak bisa menahannya," ungkap Luna tanpa sadar membuat kening Ekal berkerut.

"Dia? Dia siapa maksud kamu?"

"Kamu lebih tau itu, aku hanya menebak," tambahnya kontan membuat air muka Ekal berubah drastis.

Dia sudah siap membuka mulutnya untuk membalas ucapan Luna, tetapi. Terjeda sebab wanita itu malah tertawa renyah.

"Kenapa tertawa?"

"Apa kamu panik? Ah, walau. Aku tidak bisa melihat ekspresi kamu, aku tau. Kamu pasti panik aku bicara begitu, jangan khawatir. Aku cuma bercanda," tambah Luna begitu ceria.

Ekal menggeleng melihat tingkah istrinya, dia lantas mengecup puncak kepala Luna.

"Ya, sudah. Nanti kalau kasurnya datang, bi Inem akan bereskan. Aku pergi dulu, ya. Aku janji, hari ini aku akan pulang cepat."

Ekal berlalu dari sana, detik itu juga Luna melirik pintu di mana suaminya menghilang.

Senyumnya hilang, wajah wanita itu langsung datar.

Luna bangkit, dia mendekati pintu lantas menutup pintu dengan cepat. Setelahnya, matanya tertuju pada kasurnya.

Langkahnya yang terkesan tergesa membawa wanita itu sampai di dekat kasur.

Tanpa pikir dua kali, Luna menarik seprai, membuang serta guling dengan napas yang memburu, wanita itu memukul kasur tak bersalah itu.

"Aku membenci kalian, beraninya kalian memakai tempat tidurku untuk mengkhianati aku. Bajingan dan sampah, aku bersumpah akan balas perbuatan kalian, argggg...."

Tak puas hanya mengacak-acak bantal dan guling, Luna mencari-cari sesuatu yang dapat merusak kasur.

Usahanya tak sia-sia, wanita itu mendapatkan gunting. Dengan tangan yang selembut sutra itu, dia menusuk kasurnya hingga rusak.

Bahan utama kasur berserakan di lantai, juga ada beberapa yang menempel pada bajunya.

Wajahnya yang putih, berubah merah. Sakit hatinya tak sembuh hanya karena melakukan itu.

Selang beberapa saat, keadaan kamar sangat berantakan. Begitu pula penampilan Luna.

Dia duduk berselonjor di samping kasur, matanya memerah sejak tadi. Namun, air mata tak lagi bisa tumpah.

Di tangannya terdapat ponsel miliknya yang selamat dari kecelakaan itu, Luna sudah melihat foto yang dikirimkan teman lamanya tempo hari

Sejak tadi Luna memperhatikan foto seseorang dengan seksama. Tak lama setelahnya, senyum miring sadis itu muncul.

"Sania Mirza, pemilik pabrik minyak terbesar di Asia. Wahhh, sebentar lagi namamu akan ramai di siaran televisi," katanya mantap.

"Apa yang kamu rencanakan?"

Suara dari seberang membuat Luna tersadar, jika sambungan mereka masih belum putus.

"Aku akan membuatnya menyesal karena sudah bermain-main dengan suamiku," ungkapnya tanpa ragu pada Evans yang sudah memberikan profil Sania pada Luna.

***