''Bang ... hentikan!'' Aku berontak, tapi Bang Sam tetap memaksakan diri untuk terus mencium dan mencumbuku. Tangannya juga sibuk bergerilya menggerayangi bagian-bagian tubuh sensitifku. Menjilat tengkuk dan leherku. Meremas dadaku. Memplintir putingku. Mengusap selangkangan dan pahaku. __Ya, Tuhan, kalau begini aku kudu piye?
Setiap jamahan tangan Bang Sam, mengalirkan sensasi rangsangan yang menggelitik hingga tubuhku bergidik berkali-kali. Ah ... hanya suara desahan yang keluar dari mulutku.
''Please. Jangan memaksaku, Bang ...'' Aku berusaha menghalau tangan kekar Bang Sam yang nakal berselancar di atas permukaan kulitku, tiada henti. Namun Bang Sam seakan tak peduli. Dia terus gencar memberikan serangan demi serangan yang cukup mendesak. Membuatku susah bergerak. Hingga aku menyerah, lalu pasrah. Mengikhlaskan tubuhku menjadi pelampiasan tangan-tangannya yang cabul.
''Tok ... Tok ... Tok!!!''
Saat Bang Sam mulai melucuti pakaianku, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Dan seketika itu pula laki-laki gagah dan tampan ini menghentikan aksi brutalnya.
''Ah, Brengsek!'' gerutunya kesal.
''Tok ... Tok ... Tok ... Assalamualaikum!'' Terdengar lagi bunyi ketukan pintu dibarengi dengan suara salam dari beberapa orang. Aku cukup mengenali suara mereka. Suara teman-temanku. Oppo dan kawan-kawan.
Dengan gemas dan kecewa Bang Sam melepas cengkeraman tangannya dari tubuhku. Membebaskan aku dari jeratan tubuhnya yang dikuasai nafsu. Huh ... akhirnya aku bisa bernapas lega dan tersenyum lepas.
''Vivo!'' teriak teman-temanku kompak.
''Iya!'' sahutku keras.
Bang Sam menatapku dengan pandangan penuh rasa kekecewaan saat aku melorotkan tubuhku dan membebaskan diri dari kungkungan tubuh kekarnya. Kemudian dengan cepat aku berlari ke arah pintu dan segera membukanya. Tak salah, ada ketiga orang temanku berdiri di sana. Oppo, Advan, dan Evcoss.
''Halo, Manis!'' sapa mereka kompak.
''Hai, Guys!'' balasku semringah. Seperti mendapatkan sebuah doorprize.
Wajah teman-temanku girang mendapat sambutan penuh persahabatan dariku. Namun wajah mereka mendadak berubah ketika menyadari keberadaan Bang Sam yang diam-diam berdiri di belakangku.

''Bang Sam ...'' celetuk Oppo dengan ekspresi wajah kaget sekaligus gembira. Sementara Advan dan Evcoss hanya saling berpandangan dengan mimik keheranan.
''Halo, Oppo!'' sapa Bang Sam.
''Kenapa Bang Sam ada di sini?'' tanya Oppo bingung.
''Hehehe ... jadi kamu belum tahu ya, Po?'' timpal Bang Sam.
''Belum tahu soal apa?'' Oppo melirik ke arahku. Aku hanya nyengir. __Hmm ... ketahuan deh! (pikirku dalam hati).
''Kalau Saya menikahi Ibu Vivo,'' terang Bang Sam gamblang sembari merangkulkan tangannya di pundakku.
''Hah ...?'' Oppo, Advan, dan Evcoss serempak kaget. Mulut mereka kompak menganga. Melongo membentuk huruf O.
Aku hanya tersenyum geli melihat ekspresi kocak mereka.
''Apa itu benar, Vo?'' ujar Oppo masih merasa tak yakin.
Aku mengangguk, ''Iya, benar!'' ungkapku.
''Sue!'' Oppo langsung meninju bahuku, ''pantesan aja kemarin-kemarin lo ngetawain gue, ternyata ini toh penyebabnya,'' cetusnya kesal.
''Hahaha ...'' tawaku pecah. Mereka masih menampakan wajah dungunya.
''Berarti Bang Sam ini Ayah Tirinya lo, ya, Vo?'' ucap Advan bertanya.
''Iya ...'' jawabku.
''Wah ... wah ... senangnya punya Ayah yang masih muda, gagah, perkasa, dan tampan pula,'' cetus Evcoss yang membuat suasana jadi gerr. Semua tertawa.
''Hahaha ...''
''O, ya, mari silakan masuk ...!'' ujar Bang Sam berlanjut.
''E ... tidak usah, Bang ... kami cuma mau ngajak main Vivo aja!'' tadah Oppo langsung.
''Hah ... mau ngajak main kemana?'' Bang Sam mengkerutkan keningnya. Heran. Penasaran.
''Kami mau ngajak Vivo berkemah, Bang!'' jawab Advan dan Evcoss bersamaan.
''Kemah? Di mana?'' Bang Sam masih menampakan rasa kepo-nya.
''Di Curug Sibedil, Bang!'' kata Oppo lugas. (Curug Sibedil berada di Dusun Karangbulu, Desa Sima, Kecamatan Moga, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, Indonesia.)
''O, ya? Kapan?'' Bang Sam masih saja menunjukan ekspresi yang kurang berkenan.
''Sekarang!'' jawab Oppo, Advan, dan Evcoss kompak seperti koor paduan suara.
Bang Sam menyedakepkan tangan dan mengangkat satu alisnya. Sudut matanya melirik tajam ke arahku. Aku hanya terpekur menatap wajah sahabat-sahabatku.
''Vivo, lo mau 'kan ikut dengan kami?'' tanya Oppo sembari memegang pundakku.
Sebelum menjawab aku melirik ke arah Bang Sam. Ayah Tiriku itu menunjukan mimik wajah yang agak seram. Keningnya mengkerut. Matanya menyipit. Hidungnya mendengus. Seolah memberikan kode tak mengizinkan. Namun aku tidak peduli.
''Oke, gue pasti akan ikut kalian!'' jawabku tegas.
''Yeee!!!'' sambut teman-temanku bersuka cita. Hanya Bang Sam saja yang tampak cemberut seolah tak suka dengan keputusanku.
Bang Sam menarik tanganku dan membawaku masuk ke ruang tengah. Menjauh dari teman-temanku.
''Vivo, kamu yakin akan pergi dengan mereka?'' ujar Bang Sam dengan suara tertahan. Takut didengar oleh teman-teman.
''Iya, emang kenapa?'' jawabku.
''Tidak. Saya tidak mengizinkan!''
''Kenapa?''
''Tempat itu sangat berbahaya, Vo ... apalagi di malam hari.''
''Aku tidak peduli. Di rumah jauh lebih berbahaya dibandingkan di sana!''
''Tolong, kamu jangan ikut mereka, Vo!''
''Bang ... Abang hanya Ayah Tiriku ... Dan Abang tidak berhak melarangku!'' tandasku dan itu membuat Bang Sam jadi terdiam. Mati kutu. Skakmat! Dia seolah kehilangan kata-katanya untuk menyanggahku lagi.
Tanpa banyak kata, aku langsung masuk ke kamarku. Aku bergegas menyiapkan keperluan camping-ku. Kumasukan semua barang-barang itu ke kantong tasku. Kemudian, setelah semuanya beres, aku menemui teman-temanku. Dan tanpa mendapatkan restu dari Bang Sam, aku berangkat pergi bersama Oppo, Advan, dan Evcoss.