Sejak hari itu. Aku mencoba jaga jarak dengan Bang Sam. Aku menghabiskan waktuku lebih banyak berkumpul dengan teman-temanku. Bermain, belajar dan hangout bersama Oppo, Advan, dan Evcoss. Aku juga menggunakan sepeda bututku kembali. Pokoknya sebisa mungkin aku tidak berinteraksi dengan Bang Sam. Kalaupun terpaksa harus bertutur sapa, itu pun hanya seperlunya saja. Kami jadi seperti orang asing. Saling menjauh. Saling tak mengenali. Aku terpaksa melakukan ini semua karena demi kebaikan kami. Terutama demi kebaikan hubungan ibu dan Bang Sam. Biarkan mereka bahagia tanpa tercemar oleh kehadiranku. Walaupun sebenarnya ini terasa sangat berat dan terlalu sulit, namun aku harus menjalaninya.
Seminggu kemudian,
Aku menghadapi Ujian Akhir Semester. Dan itu artinya waktuku semakin fokus berjibaku dengan buku-buku pelajaran sekolahku. Aku tak sempat lagi memikirkan kehidupan cinta pribadiku yang kelewat rumit. Biarlah kisah itu hilang tersendiri. Terkikis dan tergerus oleh himpitan sang waktu.
Selama ujian aku tidak mendapatkan banyak kendala. Semua soal bisa kuselesaikan dengan baik. Dan alhamdulillah saat pembagian raport aku mendapatkan peringkat tertinggi di kelas. Nilai yang kudapat sangat memuaskan dan aku berhak naik ke kelas XII. Usaha belajarku tidak sia-sia. Nilai-nilai itu kukirimkan ke beberapa Universitas untuk bahan perbandingan dalam seleksi penerimaan mahasiswa lewat jalur beasiswa. Aku sungguh sangat berharap. Semoga aku lolos dan aku bisa berkuliah gratis di perguruan sesuai yang kumimpikan. Aku menunggu hasilnya yang akan diumumkan pada pertengahan semester di Tahun Ajaran Baru nanti.
Well, kini saatnya liburan.
''Vivo ...'' tegur Bang Sam suatu hari, saat aku sedang mengepel di rumah. Kebetulan hanya ada kami berdua, karena Ibu sedang menjaga konter pulsanya.
''Iya ...'' sahutku.
''Kenapa kamu akhir-akhir ini sepertinya menghindari saya?''
''Hehehe ... itu perasaan Abang aja!''
''Tidak! Saya tahu kamu memang ingin menjauhi saya, kenapa?''
''Tidak ada apa-apa.''
''Bohong ... kalau kemarin-kemarin mungkin saya bisa makhlumi karena kamu sedang sibuk menghadapi ujian, tapi sekarang udah kelar. Dan kau masih saja bersikap aneh, seolah tak ingin kenal dengan saya lagi.''
Aku merunduk dan bingung harus menjawab apa untuk menyanggahnya. Mulutku serentak mendadak terkunci. Kata-kata dalam kamusku seakan kabur entah kemana. Kosong. Tak satu pun kata yang tertinggal.
''Vivo ...'' Bang Sam mendekat dan mencengkram bahuku sangat kuat, ''katakan pada saya apa kau tidak menyukai saya lagi?'' ucapnya dengan sorot mata yang berapi-api.

Aku masih tak bersuara. Bibirku gemetaran hebat. Aku membuang mukaku karena tak berani menatap sorotan mata Bang Sam yang sangat tajam. Seperti mata pisau yang hendak menusuk ulu hati. Runcing dan mematikan.
''Tatap mata saya, Vo! Dan katakan kau membenci saya!'' pekik Bang Sam dengan suara berat namun melengking. Bagai suara terompet.
''Bang ... a-aku tidak membenci Abang, sedikit pun!'' Akhirnya aku mengeluarkan suaraku meskipun terdengar gemetaran.
''Berarti kau masih sayang pada saya, iya 'kan?'' Bang Sam mendekatkan wajahnya ke wajahku. Sangat dekat. Hanya beberapa senti saja. Bahkan aku bisa merasakan hembusan napasnya yang segar.
''A-aku ... ti-tidak ... tahu, Bang ...'' Aku melengoskan wajah.
''Hehehe ...'' Bang Sam tersenyum sinis. Dia mendorong tubuhku hingga tersudut di tembok. Kemudian dengan cepat laki-laki bertubuh kekar ini menghampiri dan menghimpitku. Kedua tangannya bertumpu pada tembok membentuk lingkaran mengelilingi tubuhku. Kedua pahanya mengunci kakiku. Dadanya yang bidang mendesak dadaku, hingga aku tak dapat bergerak.
''Apa yang kau inginkan dariku, Bang?''
''Menciummu ... kamu mau, bukan?''
''Jangan, Bang!''
''Saya rindu dengan bibirmu, Vo ...''
''Tidak, Bang ... kita tidak boleh seperti ini!''
''Kenapa?''
''Ka__'' Belum sempat aku mengeluarkan kata-kata, tiba-tiba 'Mmmuacch!' satu kecupan hangat bibir Bang Sam mendarat di bibirku. Kemudian dengan cepat bibir dan lidahnya menyeruput dan mengulum bibir ini. Aku terperangah tak berdaya. Aku pasrah dan membiarkan Bang Sam melumat habis daging bibirku. Seperti seekor bebek jantan yang menyosor makanannya. Agak kasar tapi enak. Mendebarkan tapi nikmat. Apalagi bulu-bulu kumis dan jenggotnya terasa cukup tajam menusuk permukaan kulit di sekitar bibir dan pipiku. Sungguh, memberikan sensasi tersendiri. Geli tapi asik dan memberikan efek candu yang sistematik.

Untuk sekian lama aku terbuai dengan ciumannya yang lihai. Membuatku melayang bagai layang-layang. Tertiup angin hingga terbang tinggi ke angkasa. Inilah ciuman yang aku rindukan. Ciuman yang selalu aku inginkan. Ciuman yang memberikanku rasa mengelinjang seperti orang yang kejang. Ciuman pertama yang kudapat dari orang yang kucinta.
Seperti oase di padang pasir. Ciuman Bang Sam memberikan kesegaran di kerongkonganku yang kering. Haus akan jamahan dan kecupan manja dari seorang pria. Tak dapat aku pungkiri. Aku memang menikmati setiap kecupan dan kulumannya ini walau sebagian hatiku menolak.