webnovel

Arcadian Crusader : Great Flower Plain

Ketika jarum panjang sejajar dengan angka dua belas, sebuah bunyi lonceng terdengar nyaring. Malam yang panjang akan memulai sebuah bencana yang sangat besar. Misteri Ladang Bunga yang Hebat akan terungkap dan Pemegang Kartu Tarot terkuat akan bangkit kembali. Petualangan West August dan Jeanne Abigail tidak akan mudah. Keganjilan dalam sebuah kegelapan akan terus mengintai mereka dan memberikan mereka perlawanan yang belum pernah ada yang membayangkannya. Sebuah mimpi buruk para pahlawan yang berjuang demi senyuman mereka semata. Akankah August dan Jeanne selamat dari pertarungan tersebut ? Takdir seperti apa yang akan menimpa mereka selanjutnya ? Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang...

Bagja_william · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
61 Chs

La Giustizia #1

Angin menerpa dengan kencang. Kuda West August, Draft President, berlari dengan kencang di atas padang rumput. Dia berlari mengejar seorang anak kecil yang terbang menggunakan tongkat sihirnya. Kecepatan kuda itu berlari jauh melebih kecepatan maksimum kuda saat berlari pada umumnya.

Akan tetapi Draft President tidak kunjung lelah, dia terus mengejar Jeanne karena tidak mau kalah dengan tongkat sihir. August hanya bisa berpegangan pada kudanya karena kudanya itu memiliki ambisi tersendiri.

"Oii kuda rumahan, cepatlah tangkap besi yang melayang ini. Hihihihi...." ujar Jeanne menghina.

Kuda itu membalas dengan menghembuskan nafasnya dari hidung dengan kuat. Dia kemudian mempercepat larinya mengejar Jeanne. Tak terima hinaannya, kuda itu langsung melemparkan tanah dari hentakkan kakinya dan membuat gerakkan Jeanne terhambat sedikit.

"Usaha yang bagus, kuda murahan. Rasakan anginku !" Jeanne menambahkan kecepatannya lagi. Dengan sihir anginnya, dia menekan laju tongkat sihir dari belakang bagaikan didorong oleh seseorang. August yang hanya berpegangan, langsung tergoyahkan karena cepatnya kuda yang ditungganginya ditambah gangguan angin Jeanne.

Kuda August berbelok sesuai rute yang telah ditentukan. Sementara itu, tongkat sihir Jeanne menukik terlalu tajam sehingga membuatnya keluar dari lintasan. Kuda itu kemudian bersuara serak seperti sedang mengejek.

Jeanne tidak mau kalah. Dia menahan dorongan sihir anginnya sekuat tenaga dengan kedua kakinya. Tongkat sihirnya sampai bergetar-getar karena menahan dorongan angin yang kuat tersebut. Sementara itu, kuda August telah jauh meninggalkannya.

"Draft President ! Cepatlah ! Dia akan melakukan sesuatu yang gila." teriak August kepada kudanya. Kuda itu paham kemudian mempercepat lagi kecepatannya. Tak lama kemudian, garis pemenang telah berada di depan mata mereka. "Ayoooo !!!"

"Tak akan aku biarkan !" Jeanne telah menahan dorong itu cukup lama. Dia kemudian melepaskannya dan melesat secepat kilat. Abu-abu beterbangan di belakangnya saking cepatnya.

August kemudian panik. Jeanne akan menyusulnya dengan sangat cepat. Dia memecut kudanya, tanda bahaya. Kudanya sangat tahu akan itu. Dia menajamkan kepalanya kemudian menambah lagi kecepatannya. Akan tetapi, Jeanne masih dapat mendekati mereka dengan mudah.

Kedua kontestan sangat cepat. Pada akhirnya, mereka berhasil mencapai garis pemenang bersama-sama. Ujung hidung Draft President dan ujung tongkat sihir Jeanne Abigail sama-sama memasuki garis pemenang bersamaan.

Kuda August seketika berhenti begitu memasuki garis pemenang. August menariknya agar tidak lepas dan kehilangan kendali dirinya. Sementara itu, Jeanne kehilangan kendalinya dan bablas melesat menuju hutan sebelumnya.

Dia berusaha mengurangi kecepatannya. Suara deru angin-angin yang menahan kecepatan Jeanne begitu nyaring saking kuatnya. Akan tetapi, Jeanne semakin dekat dengan hutan dan akan menabrak salah satu dari pepohonannya.

Jeanne akhirnya menyerah dan mengeluarkan aura The High Priestessnya dengan memasukkan dirinya ke mode The High Priestess. Begitu dia akan menabrak salah satu pohonnya, auranya keluar dengan cepat. Badan Jeanne tersentak. Dia telah berhenti dari kecepatan yang sangat luar biasa. Tepat sebelum ranting dari pohon tersebut menusuk lehernya.

August kemudian menjemputnya dengan kudanya. Dan tak lama kemudian, Jeanne mematikan modenya itu. Jeanne berbalik kemudian girang kepada August. "August August ! Itu sangat menyenangkan ayo lakukan lagi !" ujar Jeanne dengan matanya yang berbintang-bintang.

"Tidak bisa ! Kita ini sedang dalam misi tahu." ujar August sambil mengetuk kepalanya. "Lagian aku sudah lelah balapan satu kali saja denganmu tanpa hasil yang menguntungkan."

"Oh ya ampun August yang malang. Kau tua sekali ya ternyata. Baru saja satu ronde denganku, kau sudah kelelahan. Hehe...." ujar Jeanne menghina.

August kemudian menatap balik kepadanya. Dia menatap dengan tajam sehingga menusuk jiwa, otak, dan perasaan Jeanne. Seperti sedang mengancam jiwa kecilnya yang malang.

Jeanne tidak mau kalah. Dia menatap balik kepadanya. Tatapannya tajam sehingga menusuk jiwa, otak, dan perasaan August. Mereka saling mendekatkan muka mereka saking tidak ingin kalahnya. Dan pada akhirnya, pertarungan mereka diakhiri rasa kesal.

"Yang terpenting kita temukan desa dulu sekitar sini. Kita harus mengumpulkan informasi sebanyak mungkin." ujar August.

"Cih ! Aku sebenarnya tidak mau setuju denganmu. Namun yah karena kau mengatakan hal yang luar biasa sepikiran denganku maka aku setuju. Akan tetapi, wilayah ini tidak memiliki desa yang dekat loh dengan kita."

"Itu tidak benar, Nona Muda....."

Salah seorang pria berjas hitam dan kemeja putih kemudian tiba-tiba muncul dan masuk ke pembicaraan. Pakaiannya terlihat elegan untuk orang yang sedang berjalan di padang rumput.

"Oh maafkan atas ketidak sopananku. Namaku Majordome, Wakil Walikota La Giustizia."

+---+---+---+---+

"Selamat datang, di kota tercintaku."

Nampak di kedua mata kami, sebuah pemandangan kota kecil ramai padat penduduk. Para petualang, pedagang, semuanya nampak meramaikan kota kecil ini. Kota ini tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil namun bisa menarik penduduk seramai ini. Dan bahkan, aku tidak pernah mengetahui kota ini pernah ada sama sekali. Juga, aku tidak mengetahui bahwa ada kota atau pedesaan di sekitar ini.

Kami diajak berkeliling oleh Majordome. Banyak sekali ras yang menempati dan bertransaksi di kota kecil ini. Animalia, Human, Penyihir, Ahli Sihir, semuanya lengkap ada disini. Mereka melakukan kepentingannya dengan begitu tenang.

Para petualang yang singgah ke sini juga terlihat damai-damai saja meskipun wajah mereka nampak seram. Begitu juga dengan para pedagang. Usaha mereka terlihat laku disini.

Tiba-tiba, mataku terpaku. Ada sesosok ras yang sangat memaku pandanganku karena aku pertama kali melihat mereka seumur hidupku. Mereka memiliki telinga yang runcing, kulit putih, dan mata tajam. Yup kalian benar. Mereka adalah Peri. Namun bukan hanya peri hutan saja, ada juga peri bunga yang berukuran lebih kecil dari manusia biasa hadir di kota ini. Dan lebih mengejutkan lagi, mereka tampak sedang bekerja disini.

"Peri hutan adalah salah satu ras yang tidak pernah meninggalkan rumah mereka dan peri bunga adalah peri yang tidak pernah menunjukkan diri kepada ras lain sembarangan. Namun kenapa mereka ada disini, itu adalah pertanyaan besarmu kan ? August." ujar Jeanne sambil menyeringai.

Begitu Jeanne berbicara kepadaku, seketika lamunanku hancur begitu saja. Dia benar-benar bisa membaca pikiranku yang seketika melamun ini. "Ah iya, kota ini hebat sekali, ya ?"

"Ahaha.... itu benar, Tuan August. Berkat tuanku atau walikota ini, kota ini bisa seramai ini." jawab Majordome.

"Kalau boleh tahu, apa yang menjadi daya tarik kota ini ?" aku bertanya.

"Hmmm... kalau itu ada banyak faktornya. Salah satunya adalah karena kota ini jarang diketahui namanya maupun lokasinya. Aku percaya bahwa Tuan August juga tidak mengatahuinya, bukan ?" ujarnya sambil membenarkan kacamatanya.

"Ahaha iya. Dulu aku hanya berpetualang di sekitar gurun saja."

"Begitu juga dirimu, Jeanne. Apakah kau tidak punya ingatan tentang kota ini ?"

"Eh ? Ya..... itu benar sih. Namun.... aku pernah punya kenalan yang membawaku ke sebuah kota untuk mengobatiku. Aku hingga saat ini tidak pernah tahu apa nama kota itu maupun lokasinya." jawab Jeanne dengan bingung. "Ah ! Jangan-jangan...." Jeanne terkejut.

"Ya itu benar, Nona Abigail. Sekarang kota itu menjadi seramai ini. Tahun memang berlalu dengan cepat ya. Bahkan kami masih memikirkan nama waktu itu.... hehe...."

"Ah ! benarkah ?"

"Benar sekali. Namun aku sedikit melebihkannya dengan "kami masih memikirkan nama"."

Seketika kami terlarut oleh pemandangan kota yang indah ini. Sebuah kota yang tidak biasa bagi kami dan kami sangat merasa beruntung dapat melihat kota yang indah ini.

Kami pergi ke suatu kafe di kota ini yang dimana pelayannya merupakan seorang peri hutan dan orang yang mengantarkan pesanannya adalah peri bunga. Kami bertiga duduk bersama dilantai atas dan menikmati layanan dari peri-peri tersebut. Tiga gelas berisi teh berkarbonasi telah siap dihadapan kami.

Tak lama kemudian, Jeanne berpisah dengan kami lalu menatap perkotaan dari pagar lantai atas ini. Tak lupa dia juga membawa segelas teh berkarbonasinya.

"Beberapa puluh tahun lalu aku pernah berada disini. Minum-minum sambil memandang jalanan kota yang ramai. Namun saat itu belum megah seperti saat ini. Bersamanya, kami membicarakan sesuatu yang diluar topik petualangan."

Jeanne menundukkan pandangannya. Dia nampaknya telah mengenang sesuatu yang membuatnya bernostalgia. Dan yang pasti, kenangan itu bukanlah kenangan yang buruk.

"Aku sangat beruntung sekali memiliki teman sepetualang sepertinya." Jeanne tersenyum.

"Ahaha.... kau pasti memiliki waktu yang berharga disini." ujar Majordome.

"Paman, apakah kau tahu orang itu ? Kalau boleh tahu dimana keberadaanya sekarang ?"

"Ah maaf, Nona Abigail. Namun kali ini adalah pertama kalinya aku bertemu denganmu. Mungkin saja aku sedang ada keperluan pada waktu itu." Majordome menundukkan kepalanya. "Kalau anda ingin, aku bisa mempertemukan anda dengan tuan walikota."

Wajah Jeanne tiba-tiba memerah, "Ah tidak usah. Aku terlalu takut untuk mengetahui kebenarannya. Biarkan saja alam yang menjawabnya untukku."

Tak lama kemudian, tiga orang peri hutan pelayan bersamaan muncul dihadapan mereka. Dengan malu-malu, mereka menghampiri meja kami.

"Emmm... permisi tuan. Apakah benar anda West August Sang Pemegang Kartu Chariot ?" tanya perempuan peri pelayan.

"Ah iya benar. Ada apa ya ?" tanyaku bingung.

Wajah mereka bertiga kemudian berseri-seri. Layaknya fans, mereka seakan-akan tidak percaya bahwa telah bertemu idolanya. Tak lama kemudian mereka langsung menjulurkan tangan-tangannya kepadaku.

"Perkenalkan namaku Jack. Aku penggemarmu saat kejuaraan The Chariot di gurun beberapa bulan yang lalu." ujar salah satu peri laki-laki pelayan.

"Kalau aku Masviel. Aku juga sama penggemarmu seperti kakakku ini." ujar peri laki-laki pelayan yang satunya lagi sambil menyerobot Jack.

Peri perempuan pelayan tiba-tiba menerobos mereka dan menjulurkan tangannya kepadaku. "Aku aku Samarinda. Ketua Pelayan disini dan aku juga penggemarmu begitu kau mengalahkan Sang Raja Thermamu."

Mereka bertiga nampaknya antusias sekali bertemu denganku. Namun sayangnya aku tidak pernah melihat mereka sama sekali. Bahkan inilah pertama kali aku bertemu dengan peri hutan. Akupun kemudian menjabat mereka satu persatu. Mereka nampak bahagia begitu aku menjabat tangan mereka.

"Kalau boleh tahu, bukankah kalian itu adalah peri hutan ? Kenapa kalian bisa mengetahuiku bahkan menjadi penggemarku ?"

Tiba-tiba Jeanne menghampiriku sambil meluncur dan mengetuk kepalaku. "Apakah kau bodoh, hei, koboi pasir." Jeanne menusuk-nusuk wajahku dengan jarinya sambil merangkulku. "Kau sekarang adalah The Chariot. Seorang Pemegang Kartu Tarot. Semua orang pasti mengetahuinya meskipun tidak tahu tampangnya. Dan semua prestasimu pasti tersebar tahu !"

"Tapi bagaimana mereka mengetahuinya. Maksudku.... hutan-hutan itu ?"

"Ah itu mudah saja, Tuan August. Kami mempunyai ksatria yang berani terjun ke dunia luar tanpa diketahui siapapun dan melaporkannya dengan cepat ke desa hutan kami." ujar Samarinda.

"Kalau begitu, kau juga tahu siapa aku bukan ?" ujar Jeanne sambil tersenyum mengejek.

"Tentu saja, Nona Abigail. Aku dan kakakku sangat berterima kasih kepadamu karena telah menyelamatkan salah satu desa kerabat kami." ujar Masviel sambil menundukkan wajahnya hormat.

Jeanne tersenyum. Dia kemudian menjulurkan tangannya kedua lelaki peri hutan tersebut, menggodaya. "Mau bersalaman denganku ?"

"Tentu saja aku ma---"

Jeanne kemudian menampar tangan Masviel yang siap menjabat tangannya. Dia menamparnya dengan kuat sehingga Masviel berteriak kesakitan. Kakaknya kemudian menambahkan ketukan di kepalanya.

"Bodoh ! Kau seharusnya lebih sopan tahu."

Jeanne tertawa. Dia sangat puas menjahili Masviel yang terlihat sangat muda. "Ahaha tenang saja aku hanya bercanda. Sebagai gantinya kau boleh mendapatkan ini." Jeanne menunjukkan genggaman tangannya. "Aku tidak biasa menjabat tangan begitu saja."

Masviel dan kakaknya tersenyum. Mereka kemudian memberikan salam pukulannya yang terbaik kepada Jeanne. Malu-malu, Samarinda menatap Jeanne dengan muka yang merah.

"Hey, tidak apa-apa. Aku juga wanita sepertimu." ujar Jeanne.

Tiba-tiba, Samarinda kemudian menjabat genggaman tangan Jeanne dengan antusias. Dia terlihat seperti orang yang paling bahagia bertemu dengannya. "Terima kasih, pahlawanku." Samarinda tersenyum.

Mereka berenam kemudian tertawa bersama. August mengetuk kepala Jeanne karena telah seenaknya menjahili mereka. Majordome bertepuk tangan karena melihat tingkah aneh yang aku lakukan dengan Jeanne.

Seketika saja tiga pelayan itu baru menyadari ada Wakil Walikota yang duduk dihadapanku. Mereka kemudian salah tingkah karena malu tidak menyadari kehadiran Wakil Walikota. Majordome tertawa melihat tingkah lucu mereka bertiga.

+---+---+---+---+

"Masih aku awasi dirimu, Jeanne Abigail. Tertawalah sepuasnya selagi kau masih berada di naunganku. Kebenaran akan menyakitimu tak lama lagi. Hanyalah kebohongan yang selama ini membuatmu bisa tertawa dengan bebas. Itu karena kegelapan dalam dirimu masih belum pudar sepenuhnya. Dark Reality masih menghantuimu.

Sebelum aku akhirnya bertemu denganmu dan mengahancurkannya untukmu."

Bersambung