webnovel

Bagian 39 (Catatan Erika)

.

.

Seperti itulah yang kurasakan saat itu.

The bell is ringing.

Dan aku segera tahu, kalau dia adalah orangnya.

.

.

***

Tujuh tahun sebelum reuni ...

Aku tak percaya ini. Sudah dua tahun sejak aku putus dengan Yoga. Kenapa ini masih terjadi?

Aku memperhatikan tempat sampah di dekat kasur yang penuh dengan gumpalan tisu. Entah sudah berapa lembar tisu kuhabiskan untuk menghapus air mata. Untuk apa ini semua? Untuk siapa?

Biasanya kesibukanku membuatku tak sempat memikirkan yang lain selain tugas kuliah. Tapi menjelang akhir pekan ini, tugas sudah selesai kukerjakan, tak ada kerja kelompok, dan tak biasanya, tak ada ajakan jalan dari Esti. Biasanya dia mengajakku makan di luar kampus atau ke mall.

Setelah lama aku tak memikirkan Yoga, hari ini aku kembali menangis karenanya. Dan setiap aku mengingatnya, aku akan membuka sebuah folder di ponselku. Folder itu kuberi nama AKUNTANSI untuk samaran, tapi isinya sebenarnya adalah dua buah foto kenanganku dengan Yoga. Satu foto adalah foto Yoga yang kuambil secara diam-diam di kedai kopi saat kami dulu jalan bersama. Foto kedua adalah foto kami berdua yang sedang duduk di bangku kayu, di pelataran Kota Tua, saat kami sedang kencan. Itu adalah kencan kami yang paling indah. Langit hari itu berwarna biru cerah, dan kami berdua terlihat sangat bahagia di foto itu.

Setiap kali melihat foto itu, tangisku makin menjadi. Aku merasa seperti orang bodoh, seperti sedang menyiksa diriku sendiri.

Jariku menekan tombol Contact di ponsel. Muncul banyak daftar nama di sana. Aku mencari sebuah nama : Yoga. Iya, aku masih menyimpan nomornya. Setelah putus dengannya, aku sempat mengganti nomorku dengan yang baru, tapi aku tak pernah menghapus nomor ponsel Yoga. Aku tak pernah bisa melakukannya.

Aku merebahkan tubuhku di kasur kamar kosku. Mataku menatap kosong deretan kombinasi angka di layar. Kombinasi angka yang sudah kuhapal di luar kepala.

Kupejamkan mata. Sekarang kondisiku sudah lebih baik sebenarnya. Aku masih ingat enam bulan pertama setelah putus dengan Yoga, aku seperti orang linglung. Pernah suatu siang saat aku berdiri di bus kampus, seorang mahasiswa naik ke dalam bus. Aku tak begitu memperhatikan penampilan laki-laki itu, tapi saat dia melewatiku, aku bisa mencium aroma yang persis sama seperti parfum Yoga. Persis sama! Woody bercampur citrus. Aku berjalan menghampiri laki-laki itu. Dari belakang kulihat rambutnya panjang, dan tubuhnya tinggi, mirip proporsi badan Yoga. Aku memanggilnya, "Yoga!", sambil kutarik tangannya. Ternyata, orang itu bukan dia. Bukan Yoga.

Enam bulan pertama lebih gila dari sekarang. Jadi kupikir, aku mungkin sedang dalam proses melupakan dia. Hanya saja, berapa lama lagi sampai akhirnya aku benar-benar bisa melupakannya?

Setahun setelah putus dengan Yoga, Esti mengenalkanku dengan seorang mahasiswa teman satu jurusannya. Namanya Rhino. Dia laki-laki yang baik dan sopan. Walaupun aku tidak pernah curhat dengan Esti mengenai kesulitanku move on dari Yoga, tapi Esti seperti tahu apa yang sedang kupikirkan.

Tersentuh dengan niat baik Esti, dan karena kulihat Rhino adalah laki-laki yang baik, aku akhirnya sempat jadian dengannya. Tapi kami hanya bertahan enam bulan. Aku merasa ada yang salah dalam hubungan kami. Seperti seharusnya aku tidak bersama dia. Aneh sekali. Aku tak sanggup berpura-pura cinta padanya, dan akhirnya aku memutuskan hubungan dengan Rhino.

Setelah dengan Rhino, beberapa laki-laki di fakultasku berusaha mendekatiku, tapi aku menjaga jarak dengan mereka. Aku tidak mau kejadian dengan Rhino terulang kembali.

Aku kembali membuka mataku. Nomor ponsel itu masih nampak di layar. Ingatanku kembali pada banyaknya momen indahku bersama Yoga. Kami hanya jadian sepuluh bulan saat itu, tapi sepuluh bulan itu sangat padat, karena Yoga tak pernah membiarkanku sendirian. Dia selalu mencari waktu untuk kami bisa bersama. Dia tak pernah mau aku jauh darinya.

Air mataku kembali menetes.

Yoga, apa yang sedang kamu lakukan sekarang?

Pikiran bahwa dia pasti sudah bersama perempuan lain, sangat menyakitkan buatku.

Apa ini? Apa aku menyesal? Apa aku melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku? Apa semestinya aku tidak putus dengannya?

Tapi, aku begitu yakin waktu itu.

Yoga, kenapa kamu tidak berusaha menghubungiku lagi? Apa kamu sudah melupakanku? Apa aku sudah tidak penting lagi buatmu?

Mataku buram dengan air mata. Tiba-tiba aku merasakan dorongan yang sangat kuat untuk mencoba meneleponnya.

Jantungku berdebar kencang sambil menatap nomor ponselnya.

Tapi setelah dua tahun aku sama sekali tak berusaha meneleponnya, apa yang harus kujelaskan padanya?

Bukankah aneh kalau aku tiba-tiba meneleponnya? Aku yang dulu memutuskan dia.

Alisku berkerut. Debar jantungku masih belum tenang.

Tidak! Aku tidak peduli lagi! Aku harus bicara dengannya! Aku perlu tahu, apa dia masih punya perasaan padaku atau tidak. Kalau dia sudah melupakanku, aku akan memaksakan diriku melupakan dia. Aku tak peduli walau untuk itu aku harus berpura-pura mencintai orang lain!

Jariku gemetar saat berusaha menekan tombol telepon di layar.

Apa yang pertama kali sebaiknya kukatakan? "Hai Yoga, ini Erika, mantan pacarmu. Kamu masih ingat? He he. Apa kita bisa ketemuan? Ada yang ingin kubicarakan denganmu." Begitukah? Apa itu terdengar cukup normal?

Mataku kupejamkan dan aku nekat menekan tombol itu. Calling.

Aku buru-buru menempelkan speaker ponsel di telingaku. Debar jantungku semakin cepat. "Nomer yang anda tuju, tidak aktif."

Mesin penjawab otomatis itu masih bersuara, tanganku terasa lemas. Sambungan telepon kumatikan. Aku menutup mataku dengan tangan, berusaha membendung air mata.

Dia mungkin sudah mengganti nomornya. Apa yang barusan aku lakukan?

Memangnya kalau aku dan Yoga jadian lagi, apa yang akan terjadi? Hal yang sama akan terulang kembali! Apa aku sudah lupa alasan kenapa aku putus dengannya?

Ponselku bergetar. Telepon masuk dari Esti.

"Ha-halo?" sapaku.

"Erika? Kamu kenapa? Kok suaramu bindeng gitu? Kamu lagi pilek ya?"

Aku segera bangkit dari tempat tidur. "Oh iya, nih. Rada pilek dikit. He he. Kamu lagi di mana, Ti?"

"Aku udah deket nih sama kosanmu."

"Hahh??"

"Iya. Dekeet banget. Ha ha."

Terdengar suara ketukan pintu. Aku segera membuka pintu.

Esti mengembangkan kedua tangannya. "ERIKAAA!!! KEJUTANN!!".

Aku terdiam melihat Esti. Barulah kusadar kalau aku belum sempat menghapus sisa air mata di pipiku.

Wajah Esti perlahan berubah sedih. "Erika?? Kamu kenapa? Kok matamu --"

Pertanyaan itu entah kenapa membuatku semakin sedih. Aku merangkul Esti dengan erat dan menumpahkan tangisku di bahunya.

"Erika?"

Malam itu Esti menginap di kamar kosku dan kami mengobrol sampai menjelang pagi.

***

Dua bulan setelah kejadian itu, Esti mengajakku pergi ke sebuah pameran di fakultas seni. Untuk 'cuci mata' katanya. Esti bilang, mana tahu ada seniman kece yang bisa dikecengin. Awalnya aku merasa malas datang, tapi aku merasa bersyukur akhirnya datang hari itu. Karena di sanalah aku bertemu Farhan, yang kemudian menjadi suamiku.

Pertama kali aku melihat Farhan adalah saat dia menyeberang jalan. Aku baru saja turun dari bus dan sedang berdiri di halte saat itu. Jadi, sebenarnya akulah yang 'menemukan' Farhan lebih dulu. Farhan terlihat kerepotan membawa banyak gulungan kertas dengan kardus. Dia mengenakan jaket yang berbeda dengan anak kampusku, jadi kupikir dia mungkin dari universitas lain.

Aku belum pernah tertarik pada seseorang semata-mata karena alasan fisik. Walaupun Yoga secara fisik lebih tampan darinya, tapi entah kenapa wajah Farhan menarik mataku beberapa detik. Aku terpaku padanya dan tak bisa melihat yang lain di sekitar dia. Aku mendapat kesan berbeda saat melihatnya. Sulit untuk menjelaskannya. Walau aku belum pernah bertemu dengannya, karakter kebaikan dan kelembutan seolah 'tercetak' di wajahnya.

Aku segera istigfar dan melihat ke arah lain. Tapi setelah dia akhirnya melewati halte menuju pelataran fakultas seni, aku kembali menoleh ke arahnya. Rupanya seseorang menabraknya dari belakang dan barang-barangnya berjatuhan di lantai. Yang aku heran, dia sama sekali tidak marah. Kalau itu terjadi padaku, setidaknya mungkin aku sudah berteriak kesal pada laki-laki tak bertanggung jawab yang kemudian kabur itu.

Tanpa pikir panjang aku menghampiri dia dan membantunya memunguti barang-barangnya. Aku sampai lupa meninggalkan Esti di halte. Dia menyusulku dan menarikku berjalan ke arah gedung pameran. Tapi aku merasa berat meninggalkan Farhan membawa barang-barang itu sendirian. Akhirnya aku minta Esti berjalan duluan dan aku akan menyusulnya belakangan.

Selama berjalan di samping Farhan, aku merasa tegang. Apa yang sedang kulakukan? Apa aku sedang PDKT dengannya? Aku malu dengan pikiran itu. Karena jika ini menimpa orang lain, apa aku akan membantu orang itu sama seperti aku membantu dia?

Setelah kami sampai di gedung pameran, kami sempat mengobrol sebentar. Aku menunggunya mengajakku kenalan, tapi dia tidak kunjung melakukan itu. Dan akhirnya aku memberanikan diri berkenalan duluan dengannya. Ternyata dia tidak bersalaman dengan yang bukan mahram. Okh aku malu tak ketulungan. Aku merasa tiba-tiba menjadi perempuan agresif. Rasanya aneh, seperti bukan diriku sendiri.

Kami berpisah saat dia harus mengurus materi pamerannya. Tapi aku masih berharap kami bisa mengobrol lagi. Dan aku senang saat jam makan siang seorang perempuan tomboi yang kukenali sebagai teman Farhan, mengajakku ikut makan se-meja dengan mereka.

Aku baru tahu kalau mereka ternyata adalah mahasiswa dari Bandung yang diundang menjadi peserta pameran. Dan ternyata mereka akan kembali ke Bandung besok sore. Kupikir, itu artinya aku tidak akan bertemu lagi dengannya. Berarti, kami mungkin tidak berjodoh.

Itu yang aku pikirkan. Tapi rupanya aku salah.

Setelah pameran selesai, aku merasa berat untuk pulang. Untuk terakhir kalinya, aku memberanikan diri menghampiri Farhan yang sedang merapikan barang-barangnya. Esti menangkap sinyal kalau aku masih ingin mengobrol dengan Farhan. Dia pamit pergi duluan ke halte.

Setelah beberapa saat, aku jadi khawatir kalau Esti terlalu lama menungguku. Akhirnya dengan berat hati aku pamit. Di luar dugaan, Farhan mengajakku keluar gedung bersama. Aku senang sekali. Tapi ternyata kami tidak berduaan. Dia juga mengajak Ari, teman perempuannya yang tomboi. Aku sempat berpikir, apa mereka punya hubungan khusus. Karena Farhan adalah tipe laki-laki yang tidak bersentuhan dengan yang bukan mahram. Tapi bagaimana bisa dia dekat dengan Ari? Walaupun Ari tomboi, dia tetap perempuan. Aku kesal dengan diriku sendiri. Bagaimana aku bisa cemburu karena orang yang baru kutemui?

Setelah kami di luar gedung pameran, barulah aku tahu kalau Farhan sengaja mengajak Ari karena dia minta tolong Ari untuk jadi 'penengah' antara kami, saat dia mengutarakan perasaannya padaku. Aku bahagia sekali. Tidak menyangka kalau dia menyukaiku. Farhan bertanya melalui Ari, apakah aku ada ketertarikan dengannya. Aku malu mengakuinya. Kulihat Farhan juga salah tingkah. Akhirnya aku mengakui kalau aku memang tertarik padanya. Farhan kelihatan sangat senang. Tapi aku agak bingung waktu dia bilang dia tidak pacaran. Lalu hubungan seperti apa yang dia harapkan untuk kami?

Farhan menanyakan alamat rumah orang tuaku. Aku agak kaget. Untuk apa? Ari bilang, Farhan ingin 'minta izin' atau 'permisi'. Semacam silaturahmi ke keluargaku. Kupikir baiklah, aku dan Farhan sepakat akan berangkat bersama ke rumah Ibu Bapakku esok pagi naik taksi.

Ayahku sedang di kantor, jadi hanya ada Ibu di rumah. Seperti kuduga, Ibuku terlihat terkejut melihatku datang bersama Farhan. Beliau tahu kalau aku tidak pernah membawa sembarang laki-laki ke rumah. Di luar dugaan (lagi), Farhan seperti 'melamar'ku di depan Ibuku. Dia bilang kalau hubungan kami masih baik dua tahun lagi saat kami lulus kuliah, dia akan datang bersama orang tuanya untuk melamarku.

Aku kaget sekali. Dan Ibuku kelihatan tak kalah kaget. Suasana mirip seperti ini dulu pernah kualami saat masih bersama Yoga. Tapi Yoga tidak sampai terucap 'melamar'. Mungkin karena saat itu kami masih sangat muda. Masih SMA.

Merasa tidak enak karena mengejutkan kami berdua, Farhan mengatakan "itu kalau Erika bersedia." Aku memperhatikan sorot matanya. Dan merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku pernah mendengar, kalau kita bertemu dengan jodoh kita, kita akan mendengar 'suara bel' itu berbunyi di hati. Seperti itulah yang kurasakan saat itu. The bell is ringing. Dan aku segera tahu, kalau dia adalah orangnya.

Tapi sesuatu mengusikku. Yoga dulu pernah mengatakan ini padaku. Dia bilang, saat dia jatuh cinta padaku (yang aku tidak tahu kapan dan bagaimana itu terjadi), dia langsung tahu kalau aku orangnya. Tapi ternyata kami lalu putus. Apa itu berarti firasatnya salah? Alarm belnya salah?

Aku tidak mengerti. Tapi yang aku tahu, saat itu aku yakin, bahwa Farhan adalah orangnya. Jodohku. Dan kenyataan bahwa dia jauh lebih religius dariku, membuatku tenang. Aku berharap bersamanya aku bisa menjadi wanita yang lebih baik.

Kami berpisah. Farhan berpamitan ke Bandung. Dia terlihat cemas saat akan meninggalkanku. Aku mengerti yang dia pikirkan. Dia nampak khawatir dengan hubungan jarak jauh. Aku bilang padanya kalau aku akan berusaha menjaga diriku dengan baik. Dan aku juga minta dia menjaga dirinya dengan baik.

Dua tahun kami terpisah jarak, tapi aku tetap merasa kami dekat. Farhan tak pernah lupa berkirim pesan denganku setiap hari, dan meneleponku setidaknya seminggu sekali. Aku berusaha menepati janjiku. Sejak aku bertemu dengannya, tak pernah sekalipun aku melihat foto Yoga, dan walaupun terkadang aku masih teringat pada Yoga, aku tidak pernah menangis karena dia lagi. Hanya saja, setiap aku berusaha ingin menghapus foto itu, aku tidak sanggup. Akhirnya dua foto itu tetap kusimpan.

Dua tahun berlalu. Aku dan Farhan menikah. Di hari pernikahan kami, teman-teman SMA-ku hadir. Termasuk Gito yang hari itu datang bersama Mona, pacarnya. Gito seperti bisa membaca pikiranku yang agak heran karena Yoga tidak datang bersamanya. Gito sempat berbisik, "Erika, maaf. Yoga tidak bisa datang. Dia ... sedang di luar kota."

Aku mengangguk. Wajahku tegang, kurasa di bawah sadarku, aku takut nama Yoga sampai terdengar ke telinga Farhan.

Kurasa, walaupun aku mencintai Farhan, aku tetap tidak bisa benar-benar menghapus bayangan Yoga dari hatiku. Dia seperti selalu ada di sisi gelapku, dan sewaktu-waktu bisa meruntuhkan pertahananku saat dia muncul. Hal itu terbukti benar, saat kami berdua akhirnya bertemu kembali di tahun kelima pernikahanku dengan Farhan. Aku dan Yoga bertemu di sebuah acara Reuni SMA.

Aku sungguh tidak mengerti bagaimana aku bisa merasa begitu tegang di dekatnya. Jantungku berdetak seperti anak remaja kasmaran. Sungguh menyebalkan. Aku hampir melarikan diri saat dia berusaha duduk di sampingku. Tapi saat dia bilang ingin bicara, dengan nada memohon, akhirnya kami bicara berdua.

Awalnya dia meminta maaf padaku, karena dia merasa melakukan banyak kesalahan padaku dulu saat kami masih bersama. Tapi kemudian pembicaraannya membuatku bingung, karena aku merasa dia seolah ingin menunjukkan kalau dirinya masih punya perasaan padaku. Dia menatapku dengan penuh kelembutan, membuatku ingat masa-masa berat di saat aku berusaha melupakannya. Saat itu aku menunggu dia menghubungiku lagi, tapi itu tak pernah terjadi. Jadi aku dulu begitu yakin kalau dia sudah move on dariku dan sudah berhubungan dengan wanita lain. Tapi melihat caranya menatapku, aku terbawa perasaan dan aku melakukan sebuah kesalahan besar. Aku membalas tatapannya dengan cara yang sama, seolah memperjelas bahwa aku masih mencintainya. Kesalahan yang sangat besar.

Yoga memberiku sebuah kartu nama. Nomor ponselnya sudah diganti, dan nomor di kartu namanya adalah nomor yang baru. Dia bilang, kapan saja aku memerlukan dia, aku bisa menghubunginya. Apapun artinya itu.

Karena rasa bersalahku pada Farhan, aku membuang kartu nama itu di tempat sampah, tapi rupanya Farhan tak sengaja menabrak tempat sampah kecil di dekat tempat tidur itu, dan dia memungut kartu nama yang sempat kubuang malamnya. Farhan pasti sudah membaca nama yang tertera di sana. Nama yang berusaha kusembunyikan. Yoga Pratama.

Reuni yang meninggalkan rasa sakit di hatiku akibat sindiran pahit Lynn di depan semua orang, dan peristiwa pertemuan kembali dengan Yoga, membuatku kehilangan mood untuk melakukan apapun. Keesokan harinya, Farhan berinsisiatif mengajakku bulan madu kedua ke Garut selama seminggu. Aku menghindarinya dengan alasan sedang sibuk di kantor. Aku merasa bersalah pada Farhan. Tapi aku sungguh tidak sanggup melakukan itu dalam kondisi saat ini. Aku perlu waktu untuk menenangkan hatiku yang di dalamnya ada amarah, kecewa, sakit dan bimbang. Aku cemas dan bingung dengan diriku sendiri.

Dan itu semua, muncul karena kelemahanku, dan mungkin juga karena aku masih jauh dari Tuhan. Ibuku pernah bilang padaku, hanya orang yang mengenal dirinyalah yang mampu mengenal Tuhannya. Dan hanya dengan mengingat Tuhan, hati bisa menjadi tenang.

.

.

***