webnovel

Bagian 38 (Catatan Farhan)

.

.

"Cukup dijawab 'iya' atau 'enggak'. Farhan cuma mau mastiin.

Dia gak mau pulang ke Bandung membawa penyesalan."

.

.

***

Kami bertiga sudah di dekat pelataran fakultas Seni. Aku, Erika, Ari. Ari sedang berusaha keras menjadi 'penerjemah' antara aku dan Erika.

Walau dia tidak sepenuhnya memahami pola pikirku, tapi dia benar-benar berusaha membantuku.

"Jadi, begini, Erika. Sebelum besok sore kami berangkat ke Bandung, Farhan mau tanya sesuatu yang penting sama kamu," kata Ari memulai aksinya.

"Penting? Apa ya?" tanya Erika melirik ke arahku, membuatku salah tingkah.

Ari terlihat geregetan. "Sok atuh, Farhan! Kamu atau saya yang ngomong, ini?" tanya Ari memastikan.

Suaraku segera gelagapan. Aku tidak menyangka kalau mengutarakan perasaan memerlukan keberanian yang begitu besar. Ternyata perempuan-perempuan yang dulu 'menembak'ku mungkin mencurahkan segenap keberaniannya untuk melakukan ini.

"A-a-aku ... eh ... anu. A-apa kamu --, bibirku bergerak, tapi tidak berhasil merangkai satu kalimat pun.

Ari menutup mata. "Sok lah saya aja yang ngomong! Jadi gini, Erika. Sebelumnya, boleh gak kami tanya hal yang agak pribadi?"

Mata Erika terbuka. "Pribadi? Iya, tanya aja," jawab Erika dengan ekspresi tegang di mukanya.

"Kamu teh udah punya pacar belum?" tanya Ari tanpa basa-basi.

"Pacar? Ng ... lagi gak punya pacar," jawab Erika dengan rona di pipinya.

Ari dan aku saling berpandangan, dan Ari seperti memberi kode 'sikat wae lah, Farhan!'

Aku masih gemetar. "Ka-kalo gitu, apa kamu ... uh ... maksudku ... "

Ari memberikan tatapan putus asa padaku.

"Udahlah, Farhan. Kamu mah hopeless. Jadi gini, Erika. Temen saya yang ajaib ini, si Farhan, naksir berat sama kamu. Nah, dia teh pingin kenal sama kamu, tapi karena dia aneh, dia gak bisa pacaran kayak orang normal. Jadi, -- "

Aku menutup mukaku. Ari #&$*!!!

"Jadi, dia mau tanya dulu sama kamu, apa kamu ada ketertarikan sama dia atau enggak?" lanjut Ari.

Erika menoleh ke arahku tersipu malu, sementara mukaku sudah seperti udang rebus.

Erika kembali menatap Ari.

"Cukup dijawab 'iya' atau 'enggak'. Farhan cuma mau mastiin. Dia gak mau pulang ke Bandung membawa penyesalan," kata Ari spoke person-ku. The best lah dia.

Erika kembali melirik ke arahku. Aku tidak berani menatapnya terlalu lama.

Erika mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat.

Aku tidak bisa mengungkapkan dengan yang kurasakan saat itu. Rasa syukur yang teramat besar membuat kakiku merasa seolah tidak benar-benar menapak di permukaan bumi.

Ari melotot ke arahku. Seperti memberi aba-aba, memaksaku yang meneruskan percakapan.

"Ka-kalo gitu, apa besok aku bisa ketemu orang tuamu?" tanyaku.

"Orang tuaku?" Erika nampak heran.

Ari berusaha menjelaskan. "Nah. Itu tadi kenapa saya bilang dia aneh. Jadi, berhubung dia gak bisa pacaran kayak orang normal, dia mau bicara dulu sama orang tua kamu. Istilahnya kayak permisi dulu sama wali kamu, macam silaturahmi, begitu."

Aku memberi Ari tatapan datar. Aku memang senang dia mau jadi penengah antara aku dan Erika, tapi ...

Apa dia gak bisa berhenti menyebutku ANEH??

"Ooh iya. Boleh, kalo kamu mau, kamu bisa datang besok. Besok 'kan Sabtu. Aku biasa berangkat ke rumahku dari kos pagi. Kita bisa berangkat bareng," kata Erika.

"Oh gitu? Alhamdulillah. kalo gitu, Insyaallah besok pagi aku udah sampai di sini. Nanti kupesenin taksi. Jam berapa?" kataku dengan semangat berkobar.

***

Saat janjian dengan Erika kemarin, bicaraku lancar, tapi gugupku kumat saat pagi ini bertemu dengannya di halte.

"A-Assalamualaikum. Pagi, Erika," sapaku.

Erika tersenyum manis. "Wa alaikum salam. Pagi, Farhan," sahutnya. Dia mengenakan dress terusan berbahan jeans biru muda, dan rambutnya terurai. Dipulas make up tipis. Kelihatan cantik sekali, membuatku tanpa sadar menahan napas.

Supir taksi sudah menunggu tak jauh dari halte. Aku membukakan pintu belakang untuknya, sementara aku sendiri duduk di samping supir. Aku tak berani duduk di sampingnya. Bisa-bisa aku kena serangan jantung.

Sangat menegangkan saat kami akhirnya tiba di depan pagar rumahnya. Karena pagar dikunci, Erika menekan bel, dan muncul seorang wanita yang aku tebak adalah Ibunya, karena wajah mereka mirip. Ternyata benar dia Ibunya.

Erika menyapanya. "Assalamualaikum, Bu."

"Wa alaikum salam," sambut wanita itu tersenyum, lalu agak heran melihatku berdiri di belakang Erika.

Erika berusaha menjelaskan. "Ibu, dia ... ehm ... dia Farhan, teman baruku."

Kata 'teman' itu membuatku merasa agak aneh, tapi karena aku memang bilang tak bisa pacaran dengannya, jadi kurasa aku sudah cukup senang dia menyebutku temannya.

Aku tersenyum dan menundukkan badanku pada Ibunya. "Assalamualaikum, Tante. Saya Farhan. Maaf mengganggu," sapaku memberi salam dengan caraku yang biasanya, dan Ibunya langsung paham kalau aku menghindari sentuhan langsung. Dia membalas salamku dan tidak terlihat kaget.

"Wa alaikum salam. Sama sekali tidak mengganggu kok. Ayo masuk, Nak Farhan."

Erika segera menyiapkan teh hangat untuk kami. Sementara aku hanya berdua dengan Ibunya di ruang tamu. Rupanya Bapaknya Erika ngantor setengah hari di hari Sabtu. Sayang sekali, padahal aku juga berharap bertemu Bapaknya.

"Jadi, Nak Farhan, boleh Tante tanya, kapan kamu mulai kenal sama Erika?" tanya Ibunya Erika.

"Saya baru kenal Erika kemarin, Tante."

Ibunya melotot. "Hah?? Baru kemarin?"

"Iya, Tante. Saya sebenarnya mahasiswa dari Bandung. Kebetulan ke Jakarta karena diundang pameran seni di fakultas seni kampusnya Erika," jelasku.

"Ooo ya ya. Wow. Maaf Tante agak kaget. Soalnya, Erika sangat jarang membawa teman laki-lakinya ke rumah. Dia enggak sembarangan undang teman laki-lakinya ketemu dengan Ibu Bapak."

Aku mengangguk malu. "Oh ... iya, Tante." Dari kalimat Ibunya barusan, aku paham bahwa sebelum aku, pernah ada laki-laki yang datang menemui orang tuanya. Mungkin mantan pacarnya, kupikir.

Erika datang membawakan nampan yang di atasnya ada tiga cangkir teh. Kami minum teh sambil mengobrol. Ibunya menanyakan tentang kuliahku di Bandung, lalu menanyakan tentang keluargaku di Bogor. Kami cukup lama mengobrol hingga tak terasa waktu Zuhur tiba. Aku dipersilakan salat Zuhur di sebuah kamar tamu. Setelah salat, Ibunya Erika menawarkanku makan siang bersama mereka.

Barulah setelah makan siang, aku mengutarakan niatku berkunjung ke rumah mereka.

"Tante, saya ... emm --," kegugupan itu mulai muncul lagi, membuatku menarik napas panjang sebelum mencoba melanjutkan. "Saya insyaallah sore ini kembali ke Bandung. Saya sudah bicara dengan Erika kemarin. Saya memang tidak bisa pacaran dengan dia, maksud saya, tidak dengan cara umumnya orang berpacaran. Tapi, saya jelas punya ketertarikan dengan Erika. Hanya saja saya merasa jarak justru akan baik untuk kami.

Saya tidak tahu akan bagaimana hubungan kami ke depan, tapi saya berharap hubungan kami bisa tetap baik. Kalau seandainya dalam dua tahun lagi kami lulus kuliah dan masih berhubungan baik, insyaallah saya akan datang ke sini lagi bersama orang tua saya, untuk melamar Erika. Itu kalau Erika bersedia."

Erika dan Ibunya melotot. Ibunya menutup bibirnya, tak menyangka aku akan mengucapkan kata itu. 'Melamar'.

Aku berusaha menenangkan mereka. "Eh ... anu ... tapi itu 'kan masih lama ya. Kita tidak tahu takdir Allah. Kalau memang kami ditakdirkan bersama, saya --," Aku tak sanggup meneruskan kalimat itu karena mukaku keburu merah padam saking malunya. Aku sendiri tidak yakin aku benar-benar mengucapkannya.

Kulihat wajah Erika juga merona. Dia saling bertatapan dengan Ibunya. Ibunya menoleh padaku dan tersenyum. "Iya, Nak. Ibu doakan yang terbaik untuk kalian. Kalau memang kalian berjodoh, mudah-mudahan niat baik Nak Farhan bisa terwujud."

"Amin. Makasih, Tante. Saya juga insyaallah pas libur akhir semester nanti mau berkunjung ke sini lagi, supaya bisa ketemu juga dengan Bapaknya Erika. Sebaiknya saya datang hari apa ya tante?"

"Ooh boleh. Datang hari Minggu aja. Minggu insyaallah Bapak ada di rumah."

"Baik, Tante. Nanti sebelum saya mampir, insyaallah saya akan mengabari."

Kami masih mengobrol hingga nyaris jam dua, sebelum akhirnya aku berpamitan. "Tante, terima kasih makan siang dan ngobrol-ngobrolnya hari ini."

"Sama-sama terima kasih atas kedatangannya kemari, Nak Farhan." Ibunya menoleh ke Erika. "Erika, antar Farhan ke depan ya."

"Iya, Bu," kata Erika tersenyum dan kami berjalan keluar pintu menuju pagar.

Aku sengaja memperlambat langkahku. Rasanya berat harus berpisah dengannya beberapa bulan ke depan. Hidupku sungguh ajaib. Aku baru bertemu dengannya kemarin, dan hari ini aku seperti melamarnya.

"Kamu berangkat sore ini?" tanya Erika yang masih tersipu.

"Iya insyaallah sore ini berangkat naik bis bareng anak-anak yang lain."

Erika mengangguk dan tersenyum sambil menundukkan wajah. "Kamu gak tanya nomer HP dan telepon rumahku?" tanya Erika lagi.

Aku terdiam. "Oh iya, ya."

Erika tertawa lepas. "Kalo aku gak ngingetin, kamu gak akan tanya, ya? Farhan, kamu lucu banget. Trus nanti pas mau mampir ke rumahku lagi, kamu mau ngabarin ke mana?"

Aku tersenyum bahagia. Melihatnya tertawa membuatku merasa ikut senang. "He he. Maaf, nomor HP dan nomor rumahmu berapa ya?"

Setelah mencatat nomor telepon di ponselku, aku masih merasa sangat berat melangkahkan kakiku pergi dari rumahnya.

"Farhan." panggil Erika.

"Ya?" sahutku.

Aku kembali melihat Erika tersipu malu, dan merasa pemandangan itu sangat menggemaskan.

"Hati-hati di jalan, dan kasih aku kabar."

'Kalimat sakti' para pasangan itu sukses membuatku salah tingkah hingga refleks menggaruk rambutku. "I-iya. Insyaallah akan aku kabari kamu. Emm ... Erika, kita gak akan ketemu beberapa bulan, jadi ... kamu --"

Aku tidak juga menuntaskan kalimat itu karena tidak sanggup mengatakannya.

Kamu jangan berhubungan dengan laki-laki lain? Kamu jangan selingkuh? Kali deh aku ngomong gitu. Aku takut sebenarnya. Banyak cerita kudengar dari teman-teman kuliahku. Mereka bilang cinta jarak jauh adalah omong kosong. Dan umumnya berakhir tragis.

Erika tersenyum seolah paham maksudku. "Aku akan berusaha menjaga diriku dengan baik. Kamu juga ya, jaga dirimu dengan baik."

Jawaban itu terasa menenangkan. Kami memang baru kenal sebentar, tapi aku merasa seperti sudah lama mengenalnya. Mungkin kami memang berjodoh. Aku membalas senyumnya. Berharap senyumanku cukup untuk disimpannya dan menemaninya selama ketidakhadiranku.

Kami saling melambaikan tangan.

Alhamdulillah kami berhasil melewati dua tahun dengan hati yang saling terjaga. Kami menikah dan sangat bahagia saat itu. Tapi kami tak pernah menyangka akan menerima cobaan itu.

Lima tahun pernikahan, tanpa anak.

.

.

***