webnovel

Bagian 23 (Catatan Yoga)

.

.

Kenapa aku tidak bisa menutup wajahku dengan kantung plastik kresek??

.

.

***

Seperti yang sudah kusangka, berusaha melupakan Erika akan menjadi hal yang berat. Beberapa bulan pertama, aku sama sekali tidak bisa tersenyum.

Sejak Lynn tahu kalau aku dan Erika putus, dia berusaha menghubungiku. Mengajakku jalan dengannya. Aku menolaknya. Kubilang, aku perlu waktu untuk sendirian. Dia menunggu, tapi kesabarannya sangat pendek. Setelah seminggu, dia kembali menghubungiku. Akhirnya aku mem-block nomornya. Tapi dia tetap berusaha menghubungiku dengan nomor lain. Sangat mengganggu! Akhirnya dengan terpaksa aku mengganti nomorku. Aku menyimpan dua kontak di kartu baruku. Erika dan Gito.

Walau aku tahu Erika tak akan pernah menghubungiku lagi, tapi aku tidak mau membuang nomornya.

Rasanya enggan sekali keluar dari kamar tidurku. Kenapa aku harus kuliah? Ah malas.

Daftar ulang, mengurus rekening kampus, penataran mahasiswa baru. Tatapan perempuan-perempuan di koridor, di ruang serba guna, di kelas, di kantin. Kenapa aku tidak bisa menutup wajahku dengan kantung plastik kresek??

Segera setelah jam kuliah berakhir, aku langsung 'kabur' ke tempat parkir dan melajukan mobilku ke rumah.

Beberapa anak perempuan berusaha berkenalan denganku di kelas. Aku bicara seperlunya, dan tak sekalipun memberikan nomorku ke mereka. Aku beralasan, nomorku baru ganti, jadi aku tidak ingat, dan ponselku ketinggalan di rumah. Aku benci tiap kali aku terpaksa berbohong. Tapi aku tidak mau mereka merecoki hidupku.

Namun di zaman yang serba 'terdaftar' ini, sangat sulit menyembunyikan nomor ponsel. Akhirnya informasi itu bocor juga, entah dari mana. Belasan pesan membanjiri nomor baruku. Intinya mereka mengajakku berkenalan, dan ingin ketemuan denganku. OGAH! Semua nomor itu aku block, tanpa tahu siapa - yang mana anaknya - anak tingkat berapa di kampus.

Akhir pekan adalah 'neraka' buatku. Karena dulunya aku selalu rutin jalan dengan Erika di akhir pekan. Banyak memori indah terjadi di akhir pekan bersamanya. Ingatan akan dia mencabik-cabik hatiku. Sangat menyakitkan. Kupikir ingatan ini akan hilang seiring waktu, tapi setelah dua tahun, rasa sakitnya tidak berkurang.

Aku tak punya teman satupun di kampus. Temanku cuma satu. Gito. Aku merasa bersalah pada Gito. Dia berusaha teratur datang ke rumahku tiap akhir pekan. Berusaha menyemangatiku. Tapi aku tetap lebih suka mengurung diri di kamar sebisa mungkin. Kecuali ayahku menyuruhku membantunya mengurus bisnisnya. Mau tidak mau, aku terpaksa keluar rumah dan bertemu orang-orang. Berusaha memasang senyum palsu.

Ayahku agaknya menyadari ada yang tak beres dengan anaknya. Suatu pagi di akhir pekan dia menerobos masuk kamar tidurku dan berdiri bertolak pinggang.

"Apa ini? Jam segini kamu masih tidur?" tanya Ayahku.

Aku memicingkan mata. "Ada apa, Yah?" tanyaku malas-malasan.

"Ayo bangun dan segera mandi! Ayah mau kamu ketemu sama supplier baru kita!" kata Ayahku tegas.

Aku segera duduk dan mengucek mata.

"Apa terjadi sesuatu yang buruk padamu?" tanya Ayahku dengan tatapan curiga.

"Enggak," jawabku singkat.

"Terus kenapa kamu gak kayak anak-anak muda normal yang lain? Keluarlah, bersosialisasi, kenalan sama orang-orang baru, ngapain kek. Pacaran, kek," kata Ayahku menghela napas.

Aku diam mendengar kata 'pacaran' keluar darinya.

"Maksud ayah, pacaran seperti yang biasa Ayah lakukan?" tanyaku sinis.

Ayahku terkejut. Dia pikir aku tidak memerhatikan kebiasaannya. Yang punya mata-mata bukan cuma dia. Aku juga punya. Aku tahu dia tidak langsung pulang ke rumah. Setelah urusan di kantor selesai, dia pergi ke klub malam, dan berlanjut dengan membawa seorang wanita ke hotel.

Aku tersenyum melihatnya kaget.

"Itu privasi Ayah! Kamu gak perlu ikut campur!" bentaknya.

"Yah ... kalau gitu terserah aku dong mau tidur seharian di akhir minggu. Itu kan privasiku," kataku mengangkat bahu, sebelum melenggang pergi ke arah pintu kamar mandi, diiringi tatapan jengkel Ayahku.

Aku menutup pintu kamar mandi, membuka baju dan berdiri di bawah siraman air shower.

Heran. Apa dia pikir semua orang harus jadi seperti dia?

Aku tidak sama dengannya. Aku tidak mau berakhir sama sepertinya.

***

Aku rindu Ibuku. Aku masih ingat malam itu saat dia akhirnya pergi meninggalkan rumah.

Kamar tidurku dan kamar tidur Ayah Ibuku hanya terpisah oleh dua ruangan. Dan dinding rumah kami cukup tebal. Tapi malam itu aku bisa mendengar sayup pertengkaran mereka.

Mereka memang sering bertengkar. Tapi dari intonasi suara ayah, aku segera tahu, pertengkaran mereka malam itu bukanlah pertengkaran biasa.

Dengan rasa takut, aku keluar dari kamarku dan berjalan di koridor. Suara teriakan ayah terdengar semakin jelas, seiring langkahku mendekati pintu kamar mereka.

"AKU SUDAH BILANG PADAMU, JANGAN LAGI MASUK KE DUNIA MODEL!! KENAPA KAMU GAK PERNAH NURUT PADAKU?? AKU INI SUAMIMU!!"

"Iya, sayang, tapi aku bosan di rumah terus. Dan lagi, aku sudah mengurangi jadwal pemotretanku. Aku cuma ada di studio setengah hari saja. Itu pun enggak tiap hari. Cuma tiga kali seminggu," kata Claire membela diri.

"Masalahnya kamu gak ngerti kalo di tempat seperti itu, bakal ada aja laki-laki yang deketin kamu! Kayak waktu dulu, siapa itu namanya? Arthur??"

Claire diam tidak menjawab.

"Dia ada keturunan Brazil juga, 'kan? Makanya kamu bisa nyambung ngobrol sama orang itu?? KENAPA KAMU GAK SEKALIAN AJA NIKAH SAMA ORANG BRAZIL??"

"Enggak, sayang. Aku enggak --," sahut Claire lelah dan nyaris putus asa. Pertengkaran dengan pasangan, bukan hanya menyulut emosi, tapi juga menyiksa batin.

"KELUAR KAMU DARI STUDIO ITU!!" titah Dana.

"Sayang, please. Kontraknya tinggal sebulan lagi. Kalau aku keluar sekarang, nanti aku kena penalti. Dan aku gak enak sama manajerku," jawab Claire memohon.

"AKU BAYAR PENALTIMU! BERAPA?? SATU MILYAR? DUA MILYAR??" tantang Dana lantang.

"Ini bukan masalah uang, sayang. Masalahnya, manajerku percaya padaku," kilah Claire.

"AKU GAK PEDULI SAMA MANAJERMU!! INI SALAHMU KENAPA GAK MINTA IZIN DULU!!" bentak Dana, tak terpengaruh dengan rengekan istrinya.

"Aku pikir karena ini pekerjaan part time dan gak makan waktu banyak, kamu gak akan keberatan. Aku 'kan selalu meluangkan waktu untuk mengurus Yoga, kamu dan rumah kita. Apa aku gak pantas mendapatkan sedikit yang aku sukai?" ucap Claire mulai menangis terisak.

Dana diam sesaat. "'Sedikit', katamu? SUDAH BERAPA BANYAK HARTA KUBERIKAN KE KAMU?? UANG BULANAN MELIMPAH, KARTU KREDIT UNLIMITED, RUMAH MEWAH, MOBIL MEWAH, USAHA BUTIK KUBUATKAN UNTUKMU!! APA ITU MASIH BELUM CUKUP??"

Tangis Claire makin menjadi. "KAMU SELALU MENGUKUR SEMUANYA DENGAN UANG!! ENGGAK SEMUA HAL BISA KAMU BELI DENGAN UANG!!"

PLAKKKK!!!!

Suara tamparan itu adalah yang terkeras yang pernah kudengar. Tanganku gemetar menutup mulut, mencegah suara tangisku keluar. Tak lama, pintu kamar terbuka dengan kasar. Ayah muncul di pintu. Matanya merah dan urat nadinya nampak di pelipis. Dia sempat kaget saat melihatku berdiri di dekat pintu, tapi kemudian dia pergi melewatiku. Belakangan aku tahu dari Bastian, kalau ayah pergi ke luar rumah dengan mobilnya, entah ke mana.

Perlahan aku masuk ke dalam kamar Ibu. Kulihat punggung Ibu dari belakang. Sedang menangis sambil menggenggam ponselnya. Dia berbicara dengan seseorang di telepon. Setelah beberapa saat mendengarkan, aku mengenali suara itu. Ibu sedang bicara dengan kakekku. Mereka bicara dalam bahasa Portugis.

"Eu não posso suportá-lo, pai ... ele me trata muito mal"

"O que ele fez desta vez??? ele bateu de novo??"

"Sim ... ele me atingiu muito duro."

Kadang di waktu luangnya, Ibu sering mengajariku bahasa Portugis, bahasa yang dipakai dalam keseharian di Brazil. Jadi walaupun aku tidak tahu persis arti kata per kata yang mereka bicarakan, tapi aku paham kalau pada intinya Ibu mengadukan pemukulan itu pada kakekku.

"Saia de sua casa agora mesmo!!!" sahut kakek yang suranya terdengar sangat marah dari speaker ponsel. Kakek menyuruh Ibu untuk pergi dari rumah sekarang juga. Ibu menjawab sambil menangis dan mengangguk. Aku terpaku menatapnya dengan wajah pucat.

Saat Ibu berbalik badan, dia sangat terkejut melihatku berdiri kaku dengan berlinangan air mata. Dia segera menyadari kalau aku sudah cukup lama berdiri di belakangnya. Ibu memelukku erat.

"Maafkan Ibu, Yoga. Maafkan Ibu!" kata Claire mengelus rambutku dengan lembut.

Ibu melepaskan pelukannya. Mataku menyaksikan bekas tamparan merah yang jelas, terlihat di pipinya. Aku bertanya dengan suara lirih, "Ibu mau ke mana?"

Ibu kembali meneteskan air mata. "Ibu sudah gak bisa tinggal bersama Ayahmu, Yoga. Jaga dirimu baik-baik, Nak. Kamu jangan khawatir. Ayahmu sayang padamu. Bastian juga sudah menganggapmu seperti anaknya sendiri. Dan kamu punya Gito, sahabatmu yang juga peduli padamu. Kamu akan baik-baik saja, sayang."

Dia kembali memelukku sambil sesekali terisak, kali ini lebih lama.

"Aku ikut, Bu," pintaku sambil menangis.

Ibu kembali melonggarkan pelukannya, menatapku lurus ke mataku.

"Dengar Yoga. Kamu gak bisa ikut dengan Ibu. Ayahmu lebih bisa menjamin masa depan yang lebih baik untukmu, ketimbang dengan Ibu," ucap Claire lembut.

Aku menunduk. Apa itu 'masa depan yang lebih baik'? Kenapa orang dewasa sering bertindak dan memutuskan seenaknya?

"Yoga, dengarkan Ibu, Nak. Apapun yang kamu pikirkan tentang Ayah, kamu harus selalu ingat. Ayahmu sangat sayang padamu. Biar bagaimanapun juga, dia Ayahmu."

Aku diam, lalu mengangguk pelan. Ibu mengelus kepalaku, lalu dia sibuk mengepak beberapa barang ke dalam tas kopernya. Setelah itu, aku mengantarnya ke arah teras. Bastian berdiri di lobi depan. Dia sepertinya tahu keributan besar yang baru saja terjadi. Tapi dia tetap terkejut melihat Ibu membawa koper besar.

"Maafkan saya, Nyonya, tapi, Nyonya mau ke mana dengan koper sebesar ini?" tanya Bastian.

Bastian menyadari bekas tamparan di pipi Ibu. Ekspresi wajahnya berubah simpati. Ibu memeluk Bastian, dan Bastian menepuk punggung Ibu. Bastian sudah seperti keluarga kami sendiri. Dia tidak menikah, dan tidak punya keluarga. Kami lah keluarganya.

"Tolong jaga Yoga, Bastian. Jaga dia baik-baik," ucap Claire berlinang air mata.

Untuk pertama kalinya, aku melihat Bastian menitikkan air mata. Bastian membungkuk hormat.

"Saya akan jaga dia dengan nyawa saya, Nyonya," kata Bastian.

Ibu memelukku terakhir kalinya sebelum dia masuk ke dalam mobil. Sebuah pertanyaan muncul di benakku, tapi aku tidak berani mengatakannya.

Ibu pergi meninggalkanku.

Aku terlalu takut menanyakannya. 'Apa kita bisa bertemu lagi, Bu?'

***

Ayah luar biasa terkejut saat tahu Ibu pergi meninggalkannya. Aku sempat agak senang saat melihat ayah syok. Kupikir, supaya dia tahu efek dari perlakuan buruknya pada Ibu. Tapi kemudian aku kasihan padanya. Dia sempat mengurung diri di kamarnya sebulan penuh. Berat badannya turun drastis.

Aku yang awalnya menolak bicara pada ayah, akhirnya luluh setelah melihatnya nyaris tak punya semangat hidup. Seburuk apapun sikapnya pada Ibu, ternyata dia sangat mencintai Ibu.

Aku akhirnya masuk ke dalam kamarnya dan membujuknya untuk makan. Ini biasa dilakukan oleh Bastian. Tapi rupanya setelah aku yang melakukannya, nafsu makannya perlahan kembali normal.

Hingga akhirnya dia kembali berangkat ke kantor dan mengurus bisnisnya yang sempat dia telantarkan.

Seperti yang ibu bilang. Bagaimanapun, dia ayahku.

***

Kembali ke masa kuliahku.

Gito rupanya sudah tak tahan lagi. Suatu pagi dia masuk begitu saja ke kamarku. Membuka semua tirai, dan memaksaku bangun dari tidur panjangku di akhir pekan.

Dan dia mengejutkanku dengan menyeretku ke dalam rencana double date-nya. Ternyata dia mengajak pacarnya yang bernama Mona dan dia ingin mengenalkanku pada sepupunya yang bernama Tania.

Aku bahkan baru tahu kalau dia sudah punya pacar. Aku merasa malu. Kurasa, aku terlalu lama berkubang dalam kesedihanku sendiri, sampai-sampai aku tidak tahu perkembangan kisah cinta sahabatku satu-satunya.

Aku akhirnya menurut padanya, setelah diiming-imingi akan diajak ke sebuah kedai es krim yang interiornya bagus. Aku memang hobi wisata kuliner, tapi makanannya tak begitu penting buatku. Suasana tempatnya yang penting.

Awalnya berat untukku mencoba berkenalan dengan perempuan lain. Tapi melihat Gito begitu gigih berusaha menolongku melupakan Erika, aku berusaha untuk tidak mengecewakannya. Dan lagi, ketika aku bertemu dengan Tania, kulihat dia tipe perempuan pemalu, yang sudah sulit ditemui di zaman sekarang ini. Seandainya Tania ternyata tipe perempuan agresif, aku sudah tentu akan menolak rencana perjodohan ini tanpa pikir panjang.

Lalu kupikir, mungkin Gito benar. Mungkin aku hanya perlu mencoba membuka diriku. Akhirnya kami jadian. Aku dan Tania. Dia adalah perempuan kedua dalam hidupku.

Aku berharap, bersamanya, aku akhirnya akan bisa melupakan Erika.

Tapi ternyata, itu tidak terjadi.

.

.

***