.
.
"Sebesar apapun perasaanmu pada Erika, dia bukan satu-satunya perempuan di dunia ini, Yoga. Kamu BISA jatuh cinta pada perempuan lain selain dia."
.
.
***
Dua tahun setelah Yoga dan Erika berpisah ...
Seperti sudah kuduga di awal, akan sulit bagi Yoga untuk melupakan Erika. Dan benar, dia jadi terlihat lebih suram dari biasanya. Sepulang kuliah lebih suka mengurung diri di rumah. Dia juga sering enggan untuk ngumpul bareng anak basket. Padahal aku sudah berusaha mengkoordinir agar mantan tim basket kami saat SMA masih solid dan mengadakan latihan rutin setidaknya dua minggu sekali di GOR (Gelanggang Olah Raga) tak jauh dari gedung sekolah.
Sebagai satu-satunya sahabatnya yang tahu persis sifatnya, aku berusaha untuk ada di saat-saat terberatnya. Sambil berjibaku dengan tugas-tugas kuliah di jurusan public relation, sebisa mungkin tiap akhir pekan aku berkunjung ke rumah Yoga.
Dan seperti biasa, di akhir pekan yang cerah ini, Yoga memilih bersembunyi di balik selimutnya.
Aku memberinya tatapan tanpa harapan. Aku memang sengaja membiarkan dia seperti ini di enam bulan pertama. Kupikir dia perlu waktu untuk menyendiri. Tapi ... INI SUDAH 2 TAHUN! SUDAH LEBIH DARI CUKUP!
Aku menyibak tirai di kamar tidurnya dan sinar matahari menyeruak masuk ke dalam ruangan. "BANGUN, YOGA!! Ini sudah SIANG!!" pekikku.
Yoga bergumam tidak jelas, yang intinya dia tidak mau bangun.
Aku menarik paksa selimutnya. "AYO BANGUN! Ada yang mau kubicarakan SERIUS denganmu!" desakku.
Yoga melihatku dengan muka kusut. "UUURGGHH! RESE KAMU, TO!! AKU GAK MAU BANGUN! AKU MAU TIDUR AJA SEHARIAN!"
Aku menatap sahabatku dengan iba. "Yoga, apa kamu tidak malu? Kamu masih MUDA! Kamu itu PENERUS BANGSA! Masa' anak muda seperti kamu tak berbuat apapun dan hanya TIDUR aja di akhir minggu? MAU JADI APA NEGARA INI??" teriakku dengan nada tinggi, seolah di belakangku ada bendera merah putih berkibar, dengan tulisan di bawahnya 'NKRI HARGA MATI!'
Yoga merampas selimutnya dan kembali menutup tubuhnya seperti kura-kura bercangkang. "ARRGGHH! MASA BODO NEGARA INI MAU JADI APA! MAU PERANG KEK! AKU GAK PEDULI! BAGUS KALO PERANG, BIAR AKU CEPAT MATI!!" balas Yoga.
"Astaghfirullah. Yoga, kamu gak boleh ngomong begitu," kataku terkejut. Sebegitunya kah urusan tidak bisa move on dari Erika, sampai mempuatnya terpikir ingin mati saja?
Yoga diam saja. Aku menghela napas.
"Hei, Yoga. Aku punya ide bagus. Bagaimana kalau kamu sekarang mandi, sarapan, lalu kita pergi DOUBLE DATE!" ucapku antusias.
Yoga menyibak selimutnya. "DOUBLE DATE??" kata Yoga bertanya balik.
Aku mengangguk. "Iya. Aku mau kenalin kamu ke saudara sepupuku. Namanya Tania. Orangnya cantik. Kamu gak akan nyesal, deh," bujukku dengan kedipan mata saat berkata 'cantik'. Berharap Yoga akan tertarik.
Yoga kembali memejam. "Ogah," sahut Yoga tanpa pikir panjang.
"Ayolah. Kita akan pergi ke kedai es krim. Aku sudah survei tempatnya. Teman-temanku merekomendasikan kedai ini. Kedai itu baru buka. Tempatnya nyaman dan desain interior kedainya ciamik banget. Kamu 'kan suka wisata kuliner ke tempat-tempat yang bagus kayak gitu. Perusahaan ayahmu 'kan sering bikin resto, kali aja ntar minat bikin kedai es krim juga. Ya 'kan?" bujukku terus, tak menyerah.
Mendengar perusahaan ayahnya disebut, mata Yoga terbuka sebelah. "Tempatnya bagus?" tanya Yoga, terdengar mulai tertarik.
Aku mengiyakan dengan penuh semangat. "Yoi! Pokoknya di kalangan kawula muda lagi nge-hits banget deh," ujarku meyakinkan.
Yoga terlihat mempertimbangkan. Lalu akhirnya dia duduk dan turun dari tempat tidurnya. Berjalan ke arah kamar mandi. "Awas kalo tempatnya jelek," ancam Yoga sebelum menutup pintu kamar mandi.
Aku tertawa cekikikan. Kalau sudah disebut soal bisnis ayahnya, Yoga biasanya bersemangat. Aku tahu Yoga tidak pernah merasa terpaksa menjadi penerus bisnis ayahnya. Dia menikmati setiap kali ayahnya menyuruhnya bertemu klien, membalas surel dan bernegosiasi. Sampai sekarang ini, Yoga masih terus dilibatkan secara intens dalam bisnis ayahnya. Namun dia tidak dilepas sendirian. Seorang manajer di kantor ayahnya ditugaskan untuk menemaninya ke sana kemari.
Yoga mungkin membenci ayahnya, tapi seperti yang selalu dikatakannya, "bagaimanapun juga, dia Ayahku."
Kalimat itu, aku tahu, sebenarnya dalam maknanya.
***
Aku dan Yoga sudah di teras depan. Yoga nampak keren dengan sweater tipis abu muda yang panjang lengannya dilipat hingga siku, dan celana jeans abu tua. Sebenarnya, Yoga akan terlihat keren apapun yang dipakainya. Sepagian ini sebelum berangkat ke sini, aku sibuk mematutkan diri di depan cermin. Aku tidak mau terlalu 'kebanting' dengan Yoga. Jadi aku agak lama memilih satu jas non-formal berwarna biru donker, dalaman kaus putih dan celana jins biru muda. Tapi tetap saja Yoga terlihat lebih keren dari aku. Ya mau diapain lagi? Memang begini kenyataannya.
Seorang supir datang membawakan mobil sport merah kesayangan Yoga. Mobil yang paling sering dipakainya.
Supir itu memberhentikan mobil persis di depan kami. Dia keluar dari kursi kemudi, dan mempersilakan Yoga masuk.
Yoga heran melihatku menahan tangannnya. "Eits. Tuan Muda Yoga, aku gak mau kamu jadi supirku hari ini," cegahku.
"Sialan. Emangnya kapan aku pernah jadi supirmu?" makinya spontan.
Aku tertawa. "Biar aku yang nyetir hari ini. Hari ini hari spesial, soalnya," kataku.
Yoga mengernyit heran. "Spesial?"
"Iya dong. Hari ini 'kan kita mau double date. Kamu lupa ya yang kubilang tadi?"
"Kamu serius?"
"Serius, dong. Masa' aku bercanda soal kayak gini. Yuk berangkat. Aku yang nyetir," ucapku ngotot.
Yoga melengos dan berjalan masuk ke kursi di samping kemudi.
***
Mobil sudah di jalan besar. Jalanan relatif lancar. Cuaca cerah. Ah ... pas! Semuanya mendukung rencanaku hari ini.
Mata Yoga menatap ke jalanan. "Gito, soal double date itu, aku ... rasanya aku gak bisa," kata Yoga ragu.
Aku memotong kalimatnya. "Nah. Aku tau kamu bakal bilang gitu," ucapku tersenyum.
"Dengar Yoga. Ini yang mau kubicarakan denganmu. Dua tahun lalu, aku bisa ngerti kamu sangat sedih saat putus dengan Erika. Tapi Yoga, sekarang sudah dua tahun. Ayolah, Yoga. Kamu harus move on dengan hidupmu," kataku memberi nasehat.
Yoga diam dan kembali melemparkan pandangannya ke jalanan. "Gak semudah itu," gumam Yoga.
Aku mengembuskan napas. "Aku gak bilang mudah, tapi setidaknya kamu mau mengusahakan. Ini masalahnya kamu bahkan gak mau bergerak. Pas hari biasa, kamu gak mau diajak jalan. Malah lebih milih langsung pulang ke rumah setelah selesai kuliah. Pas akhir minggu, lebih parah. Kamu cuma tiduran di rumah, kecuali kalau Ayahmu memintamu bantu urusan bisnisnya," keluhku.
Yoga tidak menjawab.
"Terus gimana kelanjutan dengan perempuan-perempuan di kampusmu yang bolak balik mengirim chat ke kamu?" tanyaku.
Yoga terdengar ragu, tapi akhirnya menjawab, "Aku block nomor mereka semua."
Aku spontan memukul setir mobil. "Itulah makanya aku bilang, kamu SENGAJA GAK MAU MOVE ON! Bukannya GAK BISA MOVE ON! Ngerti gak, sih??" ucapku geram.
Yoga naik pitam. "HEY!! JANGAN PUKUL SETIR MOBIL ORANG SEMBARANGAN!!"
***
Ban mobil sudah berhenti sempurna di tempat parkir. Dari tempat kami parkir, kami bisa melihat meja kursi yang diletakkan outdoor di tepi jalan yang rindang. Beberapa pengunjung duduk-duduk menikmati suasana yang cerah, dengan es krim dihidangkan di atas meja mereka.
Aku melepas seat belt dan menghadap ke arah Yoga. Kucengkeram lengannya, dan kulemparkan sorot mata serius. "Dengarkan aku baik-baik, Yoga. Aku benar-benar khawatir denganmu. Aku ingin kamu punya kehidupan seperti orang-orang normal lainnya," ucapku sungguh-sungguh.
Dia balas menatapku lesu.
"Coba lihat mereka, Yoga," kataku menunjuk ke arah orang-orang yang sedang bersenda gurau di area outdoor kedai es krim.
"Mereka terlihat bahagia, 'kan? Apa mereka gak punya masalah? Enggak mungkin. Mereka masing-masing pasti punya masalah. Tapi mereka masih berusaha menikmati hidup. Coba lihat sekelilingmu, Yoga. Langit cerah. Kapan terakhir kali kamu memerhatikan langit berwarna biru cerah?" tanyaku.
Yoga terdiam. Ekspresi matanya berubah. Sepertinya pertanyaanku tadi justru membuat dia teringat pada salah satu momennya bersama Erika. Aku segera merubah topik.
"Maksudku adalah, sebesar apapun perasaanmu pada Erika, dia bukan satu-satunya perempuan di dunia ini, Yoga. Kamu BISA jatuh cinta pada perempuan lain selain dia. Percaya padaku, Yoga. Kamu cuma perlu belajar menerima orang lain," lanjutku berusaha memasukkan ide-ide ke kepalanya.
Yoga menghindari tatapanku. Tapi aku merasa kata-kataku mulai berpengaruh padanya. Jangan-jangan aku salah jurusan. Mungkin harusnya aku masuk jurusan Psikologi, pikirku.
"Dan satu lagi pesanku, Yoga. Tolong ... TOLONG ... belajarlah untuk mengontrol emosimu. Kalau kamu gak mau juga berubah, gak akan ada perempuan yang tahan denganmu, aku jamin itu!" ucapku sekaligus jadi ancaman buatnya.
Yoga diam, sebelum akhirnya mengangguk.
Aku menepuk pundaknya. "Nah! Gitu, dong. Ayo kita turun."
***
Bangunan luar yang mirip kubik kaca menyambut mereka. Ikon es krim terpampang di bagian atas pintu masuk.
Gito mendorong pintu kaca itu. Mereka disambut dengan sapaan ramah penjaga counter, "selamat datang!"
Gito membalas senyum pelayan itu. Sementara Yoga celingukan memperhatikan interior kedai. Gito tidak bohong rupanya. Interiornya unik. Ada pilinan garis-garis kayu di langit-langit yang menopang lampu-lampu gantung metal. Suasananya mirip di gudang, tapi bersih dan terang. Dinding dipenuhi lukisan huruf-huruf alfabet warna warni disusun serupa siluet es krim cone. Di satu sisi dinding ada lukisan impressionist es krim bertingkat-tingkat warna warni dengan wafer berbentuk rumah-rumahan tertancap di permukaan es krim.
Sementara Yoga mengamati ruangan, mata Gito sibuk mencari seseorang di antara pengunjung. Dia melihat seorang perempuan melambaikan tangan. Gito mengangkat tangan membalas salamnya.
"Yoga, di sebelah sana," kata Gito, menyadarkan Yoga yang sibuk mengamati ruangan. Yoga mengangguk dan melangkah mengekor Gito ke sebuah meja di ujung ruangan.
Dua perempuan muda dan cantik itu spontan berdiri menyambut mereka.
"Yoga, kenalkan. Ini Tania, sepupuku. Dan di sampingnya pacarku, Mona," kata Gito.
Yoga sempat terkejut. Gito tak pernah cerita kalau dia sudah jadian. Yoga mengulurkan tangannya dan menyalami mereka berdua. Gito tidak bohong. Tania benar-benar cantik. Rambutnya lurus panjang terurai, nyaris sepinggang. Wajahnya dan cara dia bergerak entah kenapa mengingatkan Yoga pada teman Erika yang bernama Esti. Gerakannya lemah lembut seperti putri Solo. Bedanya, warna kulit Esti hitam manis, sementara Tania putih cerah.
Mona pacar baru Gito berambut pendek ikal. Berkulit sawo matang, dan terlihat sangat serasi dengan Gito.
"Kalian udah lama sampai?" tanya Gito pada kedua gadis itu.
"Enggak, kok. Baru sepuluh menitan yang lalu," jawab Mona.
Gito memerhatikan Tania yang diam-diam curi pandang ke Yoga. Sementara yang diamati sedang bertopang dagu, menatap kosong ke arah meja.
"Udah pada pesen es krim?" tanya Gito pada Mona dan Tania.
"Belum. Kami 'kan nungguin kalian dateng. Ntar es krimnya meleleh, dong," jawab Mona nyengir.
"Mas! Minta menu," ucap Gito memanggil seorang pelayan pria yang berdiri di dekat counter. Pria itu datang ke meja mereka membawakan menu. Gito dan Mona menyebutkan pesanan mereka pada pelayan. Giliran menu itu sampai ke Yoga dan Tania, dengan tak sensitifnya, Yoga mengambil menu itu untuknya sendiri. Setelah dia memilih es krim, barulah Yoga menggeser menu ke depan Tania.
Tania merasa rikuh. Seolah itu bahasa Yoga untuk menunjukkan bahwa dia tidak merasa nyaman memilih menu berdekatan dengannya. Tak lama setelah mereka sudah memesan, pelayan pergi ke meja counter.
Gito mencoba mencairkan suasana. "Ah ... Tania, Yoga ini anak jurusan Bisnis di Universitas Internasional di daerah Pusat," kata Gito berusaha mengenalkan temannya pada sepupunya.
"Ooh," gumam Tania kagum. Bisnis adalah jurusan yang terasa pas dengan imej seorang bos yang melekat pada tampilan Yoga, setidaknya itu yang ditangkap Tania.
"Yoga, Tania anak desain fesyen, lho," kata Gito pada Yoga.
Yoga melihat sahabatnya yang memberi kode lirikan mata tajam. Dia menghela napas. Baiklah, pikirnya. Dia akan berusaha menghargai usaha temannya yang sedang menjodohkannya dengan sepupunya.
Yoga menoleh ke Tania dan tersenyum. "Oh, desain fesyen? Pantesan kamu kelihatan fashionable. Calon perancang busana, dong? Keren," puji Yoga.
Tania menunduk malu mendengar pujian itu. Padahal dia hanya pakai blouse putih bercorak motif lukisan siluet efek cat air, dan celana panjang hitam. Sebuah aksesoris kalung perak berbandul permata bulat tergantung di lehernya.
"Ah ... masih jauh. Aku masih harus belajar banyak," ucap Tania tersipu.
Yoga kembali tersenyum. Dia jarang bertemu perempuan pemalu. Biasanya yang mendekatinya adalah perempuan-perempuan buas yang over acting dan tanpa malu mengejar-ngejarnya.
Yoga mengamati Tania dengan seksama. Dia mulai berpikir mungkin Gito benar. Mungkin dia hanya perlu membuka diri, dan mencoba menjalin hubungan dengan perempuan lain, lalu dengan sendirinya dia mungkin akan mampu melupakan Erika.
"Kamu punya adik atau kakak, Tania?" tanya Yoga sambil menopang wajah dengan tangan.
Tatapan lembut mata Yoga, membuat Tania gugup. "A-ah iya. Aku punya satu adik perempuan," jawab Tania terbata.
Gito tersenyum. Dia merasa Yoga mulai berusaha berkomunikasi dua arah dengan Tania. Gito membiarkan mereka berdua mengobrol, dan dia pun mengobrol dengan Mona di sampingnya.
Tak lama hidangan es krim datang. Ini pertama kalinya mereka ke sini. Jadi mereka terkagum-kagum dengan tampilan es krim dari menu yang mereka pilih. Warna warni pada hidangan dan tempat pertemuan mereka, membuat suasana semakin hangat dalam kebersamaan.
Double date yang direncanakan Gito hari itu sukses besar. Hingga saat menjelang sore saat mereka akan berpisah, mereka berempat keluar dari kedai dan masih berjalan santai di trotoar yang nyaman dengan pepohonan rindang. Gito dan Mona berjalan di depan. Yoga dan Tania berjalan di belakang mereka.
Tania seperti ingin bicara, tapi ragu. "Yoga," panggilnya.
"Ya?"
"Em ... aku ... apa aku boleh menghubungimu lagi setelah ini?" tanya Tania malu-malu.
Yoga paham, kalimat pertanyaan itu bisa berarti, Tania ingin memastikan apa dirinya masih ingin meneruskan perjodohan ini atau tidak.
Yoga mengeluarkan ponselnya dan menekan beberapa tombol. "Nomormu berapa?" tanya Yoga singkat.
Tania tersenyum senang dan Yoga membalas senyumnya. Mereka bertukar nomor. Itu adalah awal dari hubungan Yoga dengan wanita kedua dalam hidupnya. Namanya Tania.
.
.
***