Kedua mata Rina dan Yumi melirik quest yang terpajang di dashboard. Bergumam tanpa henti, mendongak tiap lembaran yang tertempel. Rata-rata yang tertera hanya ranking putih dan kuning. Ada sebuah quest pembasmian golem mithril dengan ranking biru. Tetapi tidak ada satu pun yang mengambilnya. Persyaratannya ada dua. Yaitu memiliki dua orang tanker. Dan anggota party minimal 6 orang. Karena itulah, tidak ada orang yang mengambilnya.
"Susah sekali mencari quest yang tepat," gumam Rina.
Hingga Yumi menemukan kertas berburu naga merah dan eksplor dungeon. Tidak ada yang tahu tempat seperti apa yang terpasang. Hanya bergambar naga dan gua semata. Jari telunjuk Yumi diarahkan ke kertas.
"Hei kalian, apa sebaiknya kita ambil quest ini aja?" tanya Yumi kepada Hiro dan Allen.
Kedua laki-laki itu saling menoleh. Mengiyakan pendapat Yumi. Kemudian, Rina melihat sebuah quest yang menarik. Tiba-tiba, Hiro mengarahkan jari telunjuk ke tengah. Mereka pun menoleh. Sebuah quest membutuhkan pengawal untuk pedagang. Hiro pun berkata, "Bagaimana kalau yang ini?"
"Tidak terlalu buruk juga. Aku punya pengalaman jika berkaitan dengan mengawal seseorang," jawab Allen sekadarnya.
"Itu kan kau, Pak Tua."
"Sudah kubilang, jangan memanggilku Pak Tua. Berapa kali harus menjelaskannya kepadamu," gerutu Allen pusing.
"Terima saja, Pak Tua. Lagipula, di antara kita berempat, Allen paling tua bukan?"
"Kalian ini—"
"Permisi, apa kalian tertarik dengan quest yang ada di sana?" tanya salah satu pemuda di samping Allen.
"Silakan ambil," jawab Rina menadahkan tangan kiri. Mempersilakan pemuda itu menarik kertasnya.
Seorang pemuda yang berusia 20an, berambut coklat dan model pendek melengkung seperti jamur. Rambut disisir rapi beserta hidung pesek. Kulitnya putih langsat. Memancarkan aura ketampanan di antara para petualang lainnya. Sehingga mampu memikat para petualang dan staf lainnya. Khususnya kaum perempuan yang mata mereka bersinar-sinar layaknya para fans kedatangan seorang idola. Mereka berduyun-duyun melewati para petualang laki-laki, bergerombol sambil melengkingkan suaranya.
"Alexis-sama!"
"Toleh kemari dong! Aku ingin wajahku dipenuhi sinar ketampanan darimu, Alexis."
"Selamat ya atas pencapaian rangking birunya!"
Ekspresi Yumi dan Rina mengerutkan kening. Menekuk bibir sambil membuang muka melihat wajah Alexis. Sedangkan Fan hanya bisa tertawa masam melihat kelakuan dua gadis itu.
"Entah kenapa, aku ingin sekali menampar pria itu. Dia bukan tipeku," ujar Rina.
"Aku setuju."
Sementara itu, Allen dan Hiro seakan tidak peduli dengan jeritan gembira dari 'fans' Alexis, keduanya mencabut kertas di pojokan atas. Tertuliskan membunuh 50 ekor serigala yang meresahkan warga di pedalaman desa Lancaster. Menurut isi tulisan tersebut, sekumpulan serigala telah membunuh puluhan warga saat melakukan aktivitas bertani maupun berburu. Bahkan seringkali meneror warga sekitar yang berlokasi dekat dengan desa itu. Allen, Hiro, Rina dan membacanya dengan seksama.
"Quest ini sebenarnya lumayan sih. Tapi aku tidak ingin berkenalan dengan mereka."
"Oi hentikanlah Rina! Tidak sopan tahu," koreksi Hiro.
"Tapi—"
"Begitu ya? Aku minta maaf atas sikap anggota party-ku. Perkenalkan, namaku Fan. Dan ini tiga rekanku. Marc Weidenmann, Ronald Goldfarb dan si bodoh ini Alexis. Mereka adalah anggota party-ku," ujar Fan.
"Halo, wahai para bidadari cantikku. Aku ingin memelukmu dengan penuh kehangatan," ucap Alexis berpelesir dengan perempuan lain.
Reaksi Rina dan Yumi mengerutkan kening. Membuang muka mereka saking tidak tahan dengan sikapnya. Sedangkan Fan hanya menghela napas pasrah. Kilauan bercahaya mengelilingi sekitar di dalam ruangan guild. Daya pikat Alexis yang begitu megah membuat semua orang terkejut bukan main.
Sangat kontras dengan Marc dan Ronald, yang memilih memperkenalkan diri pada kedua gadis di bawah umur. Fan memasang ekspresi cemburu pada para gadis yang terpikat dengannya. Marc mengenakan seragam militer New Germany berwarna hijau tua. Sedangkan senjata yang digenggam oleh Marc berupa rifle The Maschinenkarabiner 42(H), atau sebutan lainnya MKb 42(H). Ronald Goldfrab menenteng senjata Flamethrower berupa The Flammenwerfer 35, atau FmW 35. Rambut mereka tertutup oleh topi runcing dan pelindung kepala dari logam besi. Ditambah Ronald memilih memasang masker gasnya. Saat topi runcing Marc dibuka, rambutnya dicukur sampai nyaris botak. Kedua alis Marc tipis walau mata mereka sama-sama berwarna biru.
Mata merah Fan menatap tajam ke para gadis yang mengeruminya. Aura iblis di punggungnya membuat para gadis berlari terbirit-birit. Termasuk para laki-laki yang tidak mau menatap wajah Fan. Hanya menyisakan Alexis seorang yang keherenan. Fan mendekati pemuda di depan, mengacungkan jari telunjuk ke hidungnya.
"Berhentilah merayu perempuan di sini dan pilih quest dengan serius!" bentak Fan memasang ekspresi kesal.
Kedua rekan anggota party-nya, Marc dan Ronald tidak kuasa menahan tertawa saat mendengar perkataan Fan pada Alexis. Pemuda itu memasang wajah cemberut, usai dimarahi oleh gadis bermata merah.
"Akhirnya, kau mulai bersikap marah kepadanya! Tidak kusangka, kaulah satu-satunya orang yang dapat memarahi sikap Alexis. Kita sendiri tidak berdaya dengan sikapnya yang terlalu mencolok," celetuk Marc.
"Tidak perlu sok memuji seperti itu, Marc!"
Ronald berusaha menahan tawanya. Bibirnya mengatup secara paksa. Hingga sadar, pemuda itu menoleh Allen yang hendak menemuinya. Kemudian, pria tua berambut putih berbisik ke telinga Ronald. "otherworlder?" ucapannya membuat Ronald memngerutkan kening. Dia mengangkat senjata jenis Flamethrower ke Allen, dengan sigap Hiro mengayunkan pedangnya. Nyaris memotong leher Ronald sampai Rina menurunkan paksa ujung pedangnya. Lalu, Yumi menghampirinya sambil menyunggingkan senyum.
"Tenangkan dirimu dulu, Goldfarb-san. Allen sama seperti diriku. Begitu juga denganku beserta Hiro-san yang bodoh dan Ricchan," bisik Yumi.
"Yumi!"
"Siapa yang kau maksud bodoh, huh? Dasar Yu—"
Gerutu Hiro dibalas dengan pemukulan yang dilakukan oleh kedua gadis di sampingnya. Tepat di bagian wajah Hiro sampai babak belur. Allen menyaksikan aksi tingkah laku ketiga remaja itu.
Saat Allen masih hidup, biasanya Vivian selalu marah dengan senyuman iblis dia. Ada sebuah larangan tidak tertulis, bahwa selama di rumah dilarang membahas pekerjaan atau membuat Vivian tersinggung. Terutama masakannya yang tidak enak. Meski demikian, ketiga remaja itu bersikap antagonistik supaya mudah akrab satu sama lain. Sama kayak dirinya dan Vivian saat pertama kali bertemu. Terlihat Yumi dan Rina sudah puas menghajar wajah Hiro hingga luka lebam di sekitar pipi hingga kedua matanya.
"Ngomong-ngomong, tadi Alexis bilang dia tertarik quest yang dia pegang. Bisa dijelaskan tidak?" tanya Rina.
"Memangnya kenapa? Ada yang salah?" tanya Fan.
"Kalau misalnya quest yang kita ambil satu lokasi, kenapa tidak bekerja sama saja? Itu lebih menguntungkan dan menghemat biaya perjalanan bukan?" usul Allen.
"Benar juga kata Allen-san."
Kepalan Yumi diayunkan ke telapak tangan kirinya. Hiro dan Rina mengangguk setuju. Sebuah lirikan tajam mengarah pada Alexis.
"Akan kujelaskan deh. Kalau Alexis yang berbicara, kalian akan kebingungan," sahut Fan menghela napas.
Pada akhirnya, Fan membeberkan rencana selanjutnya. Gadis bermata merah menjelaskan selama kurang lebih dua tahun, mereka telah berhasil menaklukkan sekumpulan monster di luar sebuah menara kembar. Dan melaporkan keberhasilannya pada staf yang ada dekat Desa Lancaster. Hanya saja, ketika kembali ke guild kota Ars, staf yang berjaga mengaku tidak mendapatkan informasi apapun dari staf di sana. Apalagi penaklukkan oleh party yang dipimpin Alexis. Mereka mengaku telah mendapatkan reward berupa sepuluh koin emas masing-masing per orang. Anehnya, saat Alexis dan lainnya kembali lagi ke Desa Lancaster, tidak ada yang ingat atas pencapaian mereka. Sebaliknya, salah satu staf guild mengajukan pertanyaan kepada Fan mengenai quest tersebut. Beruntung, Djaja bisa menjelaskannya dengan baik. Sehingga beliau menggantinya berupa senjata terkuat mereka. Walau demikian, Djaja merasa tidak nyaman bahwa anggota party tidak melaksanakan dengan baik. Hingga beliau bertemu dengan Marc dan Ronald perihal situasi yang ada.
Karena penasaran, para petualang mencoba melakukan persis yang dilakukan party Alexis. Tetapi, hasilnya tetap tidak berubah. Oleh sebab itulah, quest yang mereka ambil sebenarnya ada lanjutan dengan misi berbeda. Sehingga jarang diselesaikan oleh para petualang.
Mendengar penjelasan dari Fan, Allen penasaran dengan misi tersebut. Pria tua berambut putih menyentuh dagunya, mengelus-elus rambut tipis dia. Tangan kanannya memasukkan sebuah peluru tiap pistol yang dikeluarkan dari sarung di pinggang. Sikap Allen barusan membuat Fan mengernyitkan dahinya. Cara sikap pria tua berambut putih sama seperti Marc dan Ronald. Selalu mengisi peluru sebelum mengambil quest. Terbukti, kedua pria itu sedang melakukan hal serupa. Walau demikian, mereka memasang wajah aura kebencian pada Allen lantaran dia berasal dari Inggris. Allen menatap wajah kedua prajurit berseragam New Germany.
"Marc dan Ronald. Aku tahu kalian membenciku karena kewarganegaraan kita memiliki sejarah panjang di Perang Dunia II. Tapi percayalah aku bukanlah musuh kalian. Sebaiknya kita kesampingkan dulu soal masa lalu negara kita. Karena aku tahu, kalian berdua sebenarnya telah beradaptasi dengan lingkungan baru di bumi ini," ujar Allen.
"Jadi kau tahu mereka otherworlder?" tanya Fan.
"Benar-benar dunia memang sempit ya."
"Aku tidak ingin mendengarnya darimu," gerutu Fan.
"Tapi, benar yang dikatakan Allen-san. Sekarang kita berada di dunia yang berbeda lho. Tidak ada gunanya membawa masa lalu negara kita sebelumnya," usul Yumi bernada lembut.
Perkataan Yumi didengarkan dengan seksama oleh Marc dan Ronald. Ronald tiba-tiba memegang kedua telapak tangan gadis ponytail. Menatapnya dengan polos dan mata berbinar-binar. Seakan-akan Yumi adalah sosok yang menenentramkan hati para pria yang single.
"Terima kasih atas perkataanmu, Fräulein Hitomachi. Aku merasa senang dengan kata-katamu itu. Terutama untuk kalian bertiga!" seru Ronald.
"Entah kenapa kau merasa diabaikan oleh mereka," ucap Rina menepuk pundaknya.
"Tidak masalah. Lagipula, aku tidak mengharapkan simpatik palsu dari mereka kok. Dan aku memakluminya," balas perkataan Allen pada Rina.
Allen mencari cara untuk mengakrabkan diri dengan kedua mantan tentara dari New Germany. Tetapi karena aksennya berupa british, otomatis mereka memilih menjauh dari pria tua berambut putih. Allen tidak tahu harus bersikap apa setelah mengetahuinya. Ketiga remaja yaitu Hiro, Yumi dan Rina mendapatkan perlakuan sebaliknya. Ronald dan Marc cepat akrab dan dapat interaksi mereka selayaknya seorang kawan lama.
Kedua anggota lainnya, Alexis dan Fan memiringkan kepala mereka. Tidak mengerti mengenai situasi yang ada di antara mereka. Menurut Fan, ini kesempatan emas untuk mengakrabkan diri sebelum memutuskan mengambil quest bersama-sama. Dari kejauhan, Djaja menaruh kedua lengan, menempel pada pegangan terbuat dari kayu. Tongkatnya ditaruh di sampingnya. Salah satu staf guild bertelinga runcing membetulkan kacamatanya.
"Apa anda yakin membiarkan para otherworlder mengakrabkan diri satu sama lain?"
"Biarkan saja. Toh peringkat Marc dan Ronald lebih senior jika dibandingkan dengan keempatnya. Tentu akan jadi pertimbangan untuk promosi ke ranking kuning dengan cepat."
"Tapi—"
"Kau belum menyadarinya? Mereka itu sangat kuat. Sama seperti para veteran petualang dari rangking biru. Konsep otherworlder agak kompleks. Kau tidak akan memahaminya, berapa kali pun mencobanya. Sebaiknya, kita awasi dari jauh. Memastikan mereka mendapatkan pengalaman berharga setelah quest itu berakhir."
Djaja pun berbalik sambil berjalan dengan menggunakan tongkat. Staf guild bertelinga runcing menoleh sekilas. Langsung mengikuti beliau dari belakang.
Setelah ini, aku beri Intermission untuk pertama kalinya. Ditambah lagi, author sudah mengedit tulisan. Semisalnya Nazi menjadi New Germany.
Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!
Like it ? Add to library!
Have some idea about my story? Comment it and let me know.