webnovel

Merantau ke Negeri Belanda - b

Leiden dan Langkat, 1939

Tidak terasa Irwansyah sudah setahun berada di Belanda, ia sebenarnya tidak betah dengan suasana negeri ini, yang seperti Tengku Sani bilang, tiada kumandang Azan. Apalagi melihat kebiasaan pergaulan bebas, konsumsi minuman keras hingga cara berpikir orang-orang Eropa. Orang-orang yang yang tidak mau terkontaminasi gaya hidup liberal tampak seperti manusia aneh yang berasal dari planet lain.

Satu-satunya tempat Irwansyah melepas keresahannya adalah Tengku Farisya. Mereka rutin saling menyurati, walaupun perlu waktu berbulan-bulan untuk sampai. Irwansyah baru saja membaca surat dari Tengku Farisya, kini ia menulis surat balasan untuk kekasihnya.

Dindaku sayang,

Aku bangga mendengar kabar dirimu yang telah memiliki kegiatan membantu kesultanan sebagai penerjemah dokumen dan rapat penting dengan pemerintah Belanda. Ternyata Allah telah memberiku seorang kekasih yang memang tak suka berpangku tangan dengan melakukan hal-hal berguna untuk negeri kita.

Aku pun bahagia mendengar dirimu sering mengunjungi keluarga Entu dan Mbok Yem. Kau telah mewakili ketidak hadiranku di tengah orang-orang yang kucintai. Semoga Allah juga mengizinkan kita untuk membina bahtera rumah tangga setelah aku pulang. Aamiin.

Mengenai kabar diriku,

Setelah setahun berada di tempat para pemuja ilmu, aku malah merasa semakin kosong, karena yang kudapat hanyalah segala tentang dunia yang tak mengenal akhirat.

Apa yang bisa kubanggakan, saat manusia dianggap pandai dan modern apabila semakin meniadakan Tuhan. Patutkah seseorang yang sedang menampung air dengan tangan kecilnya, menyombongkan diri pada Sang Pemilik Samudera?

Setiap hari aku dijejali pemikiran-pemikiran yang membuat manusia merasa lebih tahu dari Yang Maha Tahu. Nilai akademisku memang menuai banyak pujian, tapi angka itu adalah hasil dari kepura-puraanku dalam mengikuti jalan pikiran mereka. Itu terpaksa kulakukan agar aku bisa secepatnya lulus dan pulang.

Di negeri ini, ujian sesungguhnya adalah menjaga diri agar tidak terbawa arus pergaulan bebas dan kesombongan ilmu.

Soal yang pertama, insya Allah aku bisa menjaga diri. Aku hanya perlu bergaul dengan orang-orang yang masih mau menjaga martabat dirinya. Soal yang kedua itu yang justru sangat membuatku takut.

Aku sering tersenyum sendiri, jika teringat nasihat Entu sebelum berangkat ke Belanda. Beliau bilang, jika kau ingin belajar memanjat, kau boleh belajar pada kera, bukan mengubah dirimu jadi mirip kera. Tetaplah makan dengan tangan kananmu, jangan makan dengan melibatkan kedua kakimu hanya agar terlihat pandai memanjat.

Maafkan keluh kesahku, karena kaulah yang kuharap mau menemaniku dalam suka dan duka hingga kita sama-sama menutup mata.

Beberapa bulan kemudian, jauh di seberang sana, Tengku Farisya membaca surat dari Irwansyah. Setelah itu ia menulis surat untuk memberikan dorongan semangat pada kekasihnya.

Beberapa bulan kemudiannya lagi, Irwansyah menerima surat dari Tengku Farisya. Ia bagai menerima asupan nutrisi batin yang mampu membuatnya mengatasi keresahannya. Inti dari isi surat itu mirip nasehat yang pernah disampaikan Tengku Sani, bahwa seekor singa tak butuh tempurung karena dia punya kuku dan taring tajam. Menurut Tengku Farisya, Irwansyah punya kelebihan, ia harus memanfaatkan kelebihan itu untuk mengubah keadaan, bukannya sembunyi karena takut terkontaminasi keadaan.

Kini Irwansyah aktif bergaul dengan para dosen dan mahasiswa, baik yang serumpun maupun dari Eropa, baik yang sepemikiran, maupun yang sangat berseberangan. Ia juga sudah berani unjuk gigi beradu wawasan dan menundukkan lawan-lawan debatnya, padahal sebelumnya ia sangat menghindari perdebatan.

Dalam suatu kesempatan, dosen-dosen mengundang Irwansyah bicara dalam forum acara resmi. Setelah bicara soal materi hukum, ia juga memaparkan prediksinya tentang peta politik di Eropa.

Menurut Irwansyah, Jerman berpotensi akan kembali memulai Perang Dunia Kedua melawan Perancis dan Inggris, bahkan kemungkinan akan melakukan ekspansi pada Belanda walaupun telah menyatakan bersikap netral. Ia berpendapat, Adolf Hitler akan melanggar Perjanjian Versailles di tahun 1911 yang mengakhiri Perang Dunia Pertama. Irwansyah meyakininya karena telah membaca memoar Mein Kampf yang ditulis Hitler saat berada di penjara dan juga menonton rekaman pidato-pidatonya. Irwansyah mengingatkan bahwa, Hitler telah sangat siap. Jerman sudah merangkul Italia dan Jepang, bahkan serangan Jerman terhadap Polandia merupakan pemanasan yang akan memulai Perang Dunia Kedua.

Para dosen mengakui kecermatan Irwansyah dalam mengikuti pergerakan politik dunia, tetapi tidak mau terlalu menanggapi bagian yang bersifat prediksi.

Hebatnya, Irwansyah bukan hanya memberikan analisis politik, ia juga memberi usul agar dilakukan ujian kompetensi kelulusan untuk seluruh mahasiswa tanpa kecuali. Mahasiswa dari seluruh tingkat yang berhasil lulus harus dianggap sudah menyelesaikan masa kuliahnya. Alasannya bila Perang Dunia Kedua terjadi, kemungkinan besar institusi pendidikan tidak berjalan.

Setelah berdebat sengit, pihak kampus menyetujui usul Irwansyah. Irwansyah lulus dalam ujian kompetensi, tetapi ia tetap harus menyelesaikan masa kuliah, kecuali jika terjadi Perang Dunia Kedua. Sejak saat itu Irwansyah mendapat julukan Singa Leiden.

Sang Singa Leiden semakin kehilangan rem. Ia sudah menyiapkan gugatan, ingin membawa soal kolonialisme Belanda di Indonesia ke meja hijau di Belanda.

*****

Apartemen Rizal, Kuala Lumpur, Malaysia, 1990

Rizal tertawa. "Menuntut Belanda di negerinya sendiri. Memang luar biasa sang Singa Leiden itu."

"Justru mirip anak bayi yang belum tahu bahaya. Sebetulnya Irwansyah bukan singa, dia malah sedang menarik kumis singa," sahut Atuk Irwansyah sambil tertawa. "Tapi, Belanda pun sebetulnya juga bukan singa, bahkan, pada abad ke-19 sudah tidak sekuat negara Eropa yang lain."

"Bukan singa, tetapi kok Belanda mampu menjajah Indonesia sampai 350 tahun?" tanya Fania.

Rizal tertawa. "Sebelum proklamasi kemerdekaan, negara Indonesia belum ada, Fan. Jadi aku harus koreksi pernyataan kamu, bahwa Belanda menjajah nusantara selama 350 tahun."

Atuk Irwansyah tersenyum. "Itu juga keliru. Belanda itu pernah mengalami perang 80 tahun untuk meraih kemerdekaan dari penjajahan Spanyol, yaitu sejak tahun 1568 hingga tahun 1648. Lalu, yang sebenarnya mendatangi nusantara dan memonopoli perdagangan atau kita sebut dengan menjajah pada abad ke-16 itu, juga bukan pemerintah Belanda, tetapi kongsi dagang atau perusahaan dari Belanda yang kita kenal dengan nama VOC. Setelah VOC bangkrut pada abad ke-18, barulah nusantara diserahkan kepada pemerintah Belanda. Kemudian pada tahun 1795, Perancis juga telah menyerang Belanda. Mereka menjadikan Belanda sebagai negara boneka dan mengganti nama Belanda menjadi Republik Batavia hingga tahun 1813, artinya secara tidak langsung yang menjajah nusantara adalah Perancis. Kemudian, Inggris juga sempat mengambil alih kekuasaan nusantara sejak tahun 1811 hingga tahun 1815, setelah itu barulah Inggris mengembalikan jajahannya di nusantara kepada pemerintah Belanda. Lalu di tahun 1942, Belanda pun juga sudah jatuh ke tangan Jerman. Kesimpulannya, nusantara memang dijajah bangsa Eropa sejak abad 16, tetapi tidak sepenuhnya oleh pemerintah Belanda."

Rizal dan Fania tertawa.

"Salah terus. Atuk pasti mengetahui hal ini saat kuliah di Belanda?" tanya Fania.

"Betul. Aku teringat kata Bang Busu, dunia ini sangatlah luas, semakin jauh kaki kita melangkah, semakin luas pula pandangan kita. Saat berada di rumah mereka, aku jadi tahu siapa mereka atau siapa yang menjajah negeri kita. Wawasanku tentang kemerdekaan Indonesia barulah benar-benar terbuka. Aku heran, bagaimana mungkin, negeri-negeri kepulauan yang terbentang sangat luas dari barat ke timur, hanya dijajah oleh sebuah negeri yang hanya sebesar satu provinsi di Indonesia. Itulah sebabnya aku berani iseng menuntut Belanda, sekedar menguji reaksi lawan," ujar Atuk Irwansyah.

"Berarti, itu adalah debut Atuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia," komentar Fania.

"Entahlah, aku tak pernah merasa menjadi pejuang, hanya bergerak mengikuti apa yang kuyakini sebagai kebenaran. Aku yakin persatuan adalah kunci kemenangan." ujar Atuk Irwansyah.

"Tapi seperti yang Atuk bilang pada Syam. Kita tidak sedang membuat negara baru di atas tanah kosong, ada banyak kerajaan dan kesultanan yang telah berdiri berabad-abad lamanya. Apa mereka mau bersatu?" tanya Rizal.

"Ini tergantung ada tidaknya sosok pemersatu yang bisa diterima oleh semua kalangan. Dia harus hadir untuk meyakinkan semua pihak, yaitu sultan, raja, kepala adat, tokoh berpengaruh, bahwa kita punya musuh yang sama dan juga sudah punya konsep bernegara yang bisa mempersatukan semuanya. Jika kita bersatu, musuh yang tadinya terlihat besar, ternyata tingginya hanya semata kaki kita, apa perlunya kita tetap takluk?" sahut Atuk Irwansyah.

Rizal tersenyum. "tapi mungkin masalahnya bukan hanya soal kekuatan."

"Aku paham maksudmu, pasti soal berbagi kemakmuran. Ini hanya tentang pindah tangan, intinya adalah musyawarah. Semua kesultanan atau kerajaan yang makmur, tentu lebih ikhlas, jika hak yang tadinya diambil penjajah diberikan kepada pemimpin baru yang mereka pilih, yang penting mereka yakin bahwa pemimpinnya benar-benar adil, bijaksana dan bisa dipercaya."

"Kenyataannya, bukankah seluruh kerajaan sudah terhapus? Ya, paling hanya untuk simbol-simbol kebudayaan," ujar Fania.

Atuk Irwansyah menghela nafas berat. "Ya, begitulah. Jawabanku adalah pemikiranku pada saat itu. Kenyataannya memang tidak seperti dugaanku."

"Bagaimana ceritanya, Tuk? Apa kesultanan dan kerajaan sepakat untuk membubarkan diri?" tanya Fania.

"Nanti dulu, jangan langsung ke situ, Fan. Aku masih ingin menikmati cerita perjalanan Atuk dari waktu ke waktu. Lalu bagaimana nasib Atuk, saat menuntut pemerintah Belanda?" tanya Rizal.

"Aku mendapat penghargaan Nobel." Atuk Irwansyah tertawa. "Kupikir akan seperti itu, ternyata pemerintah Belanda malah menangkapku dan kampus ingin memecatku.".

"Wah, separah itu?" tanya Fania.

"Aku pun membela diri, berdebat dengan para pemangku jabatan tinggi di kampus. Kubilang, dunia internasional mengakui kampus Leiden sebagai universitas yang sangat menjunjung kebebasan berpikir selama sekian abad lamanya. Apakah kampus Leiden mau mempertaruhkan reputasinya hanya karena perkara sangat sepele? Dunia akan tertawa mendengar seorang mahasiswa dari negeri jajahan dipecat karena mencoba mempraktekkan ilmu yang Leiden berikan," ujar Atuk Irwansyah.

Fania tertawa. "Hasilnya?".

"Alhamdulillah, kampus tidak jadi memecatku, tetapi pemerintah Belanda sempat memenjarakanku," jawab Atuk Irwansyah sambil tertawa.

*****

Kantor Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij, Pangkalan Brandan, 1939

Di ruang kantor. Tengku Hasyim baru saja melakukan pembicaraan penting dengan Gubernur Tjarda van Starkenborgh(49) dan beberapa petinggi Belanda lainnya tentang pengiriman minyak. Ia mengajak Tengku Farisya sebagai penerjemah.

"De politieke omstandigheden in de wereld worden steeds gespannener. We vinden het moeilijk om olie te vervoeren. Voorlopig beperken we de leveringen. Hopelijk wordt de situatie snel weer normaal," ujar Gubernur Tjarda van Starkenborgh.

Tengku Farisya menerjemahkan pada ayahnya, "Beliau kate, kondisi politik dunie sedang memanas, sehingge menyulitkan kite untuk mengangkut minyak. Untuk sementare kite batasi pengiriman. Beliau harap situasi bisa segere normal."

Tengku Hasyim mengangguk-anggukkan kepala. "Bilang pade Beliau, Sultan juga tlah membacenye dari surat kabar dan dapat memahami situasi ini."

Tengku Farisya menerjemahkan pada Gubernur Tjarda van Starkenborgh. "De sultan had het nieuws uit de krant gelezen. Hij begreep van deze situatie."

"Oké. Bedankt voor uw komst,"(50) ujar Gubernur Tjarda van Starkenborgh sambil berdiri.

Tengku Hasyim dan Tengku Farisya ikut berdiri, mereka bersalaman dengan Gubernur Tjarda van Starkenborgh dan para petinggi Belanda lainnya.

"Tot ziens, meneer Hasyim en juffrouw Farisya,"(51) ujar Gubernur Tjarda van Starkenborgh.

"Dank je, Tot ziens, Meneer Tjarda van Starkenborgh,"(52) balas Tengku Farisya.

Tengku Hasyim dan Tengku Farisya meninggalkan kantor.

*****

Jalan raya, Pangkalan Brandan.

"Maya kabar Irwansyah? Bile die nak pulang?" tanya Tengku Hasyim saat berada di mobil bersama Tengku Farisya.

"Bang Irwan baru pun setahun lebih di Belande," sahut Tengku Farisya.

"Lama itu. Nak. Sementare, Entu pun mendengar berite tak sedap perihal Irwansyah di Belande."

"Ape mereke bilang?"

"Irwansyah menuntut pemerintah Belande di sekolahnye."

"Ape menurut Entu, yang dilakukan Bang Irwan itu salah?"

"Tentulah tidak. Entu kenal siape die, tapi ape kau tahu, Irwansyah sempat masuk penjare. Untunglah sedang ade bangsawan Deli yang bertandang ke Belande, hingge Irwansyah pun boleh terlepas."

"Bang Irwan tu berjuang membele bangse, ape soal?"

Tengku Hasyim menghela nafas "Bukan perjuangannye yang Entu persoalkan, tapi bile ternyate dipenjare lame, kapan die bise pulang? Ini soal menimang cucu."

Tengku Farisya tersenyum.

"Mauku, pulanglah die dulu! Kelian menikah sekejap. Abis tu, tuntutlah Belande sesuke hatinye," ujar Tengku Hasyim.

"Entu kan bangsawan. Pade siape sebetulnye Entu berpihak?"

"Intinye, kami tak akan berpihak pade siapa saje yang ingin membuat kehancuran. Dulu, bahkan antara kite pun masih suke saling berperang, lalu ape hasilnye? Cume membuat banyak anak yatim yang kelaparan. Ape salah, bile kesultanan tak mau lagi berperang, beliau memilih rakyatnye bise hidup tanpa rase takut, membuke lapangan kerje, membangun sekolah dan sebagainye? Wallahu'alam! Setiap penguase akan dimintai pertanggungjawaban atas keputusan yang telah mereke ambil."

"Lalu, kenape Entu membolehkan perjuangan Bang Irwan?"

"Perjuangannye Irwan kan lewat suare, bukan senjate. Karene resikonye hanye die seorang yang menanggung, suke hatinyelah, tapi aku tak mau dengar kau menangis."

Tengku Farisya tersenyum.

*****

Catatan Kaki

49. Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer adalah Gubernur Jenderal terakhir Hindia Belanda dengan masa jabatan tahun 1936-1942.

50. Baik. Terima kasih sudah datang.

51. Sampai jumpa lagi, Pak Hasyim dan Nona Farisya

52. Terima kasih, Selamat tinggal, Tuan Tjarda van Starkenborgh.