webnovel

ALFA

Terlahir menjadi seorang perempuan muda yang sangat berbeda dari umumnya membuat Shirly Kenia harus menerima fakta yang ada. Beruntung selama hidup mengenal Orang Tua dan seorang kurir perempuan di HAFA BAKERY milik Bunda, yang begitu baik dan selalu menebar aura positive. Sehingga membuat Shirly Kenia sangat menikmati selama 21 Tahun hidup di dunia. Tetapi semuanya telah berubah, perubahan ini juga menjadi titik awal Shirly Kenia memiliki tekad bulat untuk keluar dari zonanyaman. Lalu, bagaimana kelanjutan dari hidup Shirly Kenia? Apakah tetap dapat dinikmati atau justru . . .

whatsappmail · Urbain
Pas assez d’évaluations
17 Chs

Cerita Yang Terlewat (4)

Setelah peristiwa menggoda Circi. Kini malam telah berganti pagi kembali. Bulan tergeser oleh matahari. Di pagi ketiga Circi berada di rumah, ternyata mampu mengembalikan kenyamanan suasana bangunan bernuansa putih. Yang biasanya hanya sekedar sarapan, lalu Papa berangkat ke kantor, dan Bunda juga pergi mengurus HAFA BAKERY, otimatis rumah ditinggal, kosong tak berpenghuni sejak pagi hingga menjelang sore. Kini justru berhias percakapan antara orang tua dan anak. Mulai dari membahas kenapa Circi tak ada kabar selama sebulan terakhir, unek-unek, berlanjut dengan mengakar pada urusan kantor serta HAFA BAKERY.

Seperti saat ini. Papa juga Bunda dikejutkan oleh Circi yang tiba-tiba ikut bergabung di meja makan dengan ekspresi merengut, rupanya kesal sejak kemarin tidak kunjung hilang. Melihat kelakuan menggemaskan putri semata wayang, Papa dan Bunda merasa gemas, membuat tangan yang sudah gatal itu menoel-noel pipi chubby yang mirip seperti bakpau.

"Berhenti melakukan ini." Sentak Circi, jengah.

"Suka-suka kami" Sahut Papa dan Bunda, kompak.

Sontak kedua alis tebal Circi terangkat ke atas. Dahi berkerut. Kedua mata mengerjab-ngerjab. Tak percaya terhadap kekompakan orang tua di hadapan.

"Hahaha," tawa Papa dan Bunda pecah seketika setelah menyadari reaksi putri semata wayang.

"Ada apa dengan Papa dan Bunda? Aku tidak percaya, ternyata kalian berdua bisa berbuat begitu," ucap Circi sengaja mendramatisir suasana, merasa jengkel setelah mendengar tawa keras yang menggema keseluruh sudut ruangan. Kemudian mulai fokus pada makanan di hadapan. Sedang sepasang manusia itu mencebikkan bibir, saling melirik satu sama lain. Di detik selanjutnya hanya terdengar dentingan alat makan.

Waktu berjalan begitu cepat. 10 menit berlalu begitu saja. Circi yang baru selesai membereskan meja makan, harus ikut bergabung bersama di sofa ruang tamu. Televisi menyala, menampakkan salah satu chanel nasional. Sedang Bunda masih sibuk mengurus segala tetekbengek dapur. Dengan malas, Circi membanting tubuh berisi ke atas salah satu sofa panjang diseberang. Menyadari mood putri kesayangan sedang kacau membuat Papa menyunggingkan bibir.

"Siap-siap nak, Papa masih memiliki seribu godaan untukmu," batin Papa kegirangan. Tangan kanan mengusap-usap kecil janggut tipis di dagu.

"Kemarin, kenapa tidak turun? Kenapa tidak ikut bergabung bersama Papa, Bunda, dan Mr. Khai? Padahal Mr. Khai mau pamit pulang,"Goda Papa. Kali ini tidak menatap bahkan melirik putri kesayangan. Kedua mata bulat berwarna hitam pekat menatap fokus layar televisi yang menayangkan salah satu berita yang sedang viral.

"Papa mengajak aku untuk duduk bersama di sini hanya untuk membahas itu?" Heran Circi. Tak habis pikir. Kedua alis berkerut. Bibir bawah pun mencebbik.

"Menurutmu?" Tanya Papa. Sengaja banyak bertanya, memancing emosional sang putri semata wayang.

"Papa," Gerutu Circi, kedua mata bulat itu melirik sinis sang orang tua di seberang.

"Hm." Gumam Papa. Tetap tak menatap atau melirik sedikitpun ke arah perempuan muda diseberang.

"Aku marah padamu." Ketus Circi.

"Mana ada orang marah lapor begitu." Ejek Papa. Kedua alis tebal terangkat ke atas. Tangan berotot itu sibuk dengan remot televisi.

"Ada kok. Itu aku!" Seru perempuan muda, menaikkan dagu ke atas dengan raut wajah lucu. memperlihat sisi ke angkuhan tanpa meninggalkan kesan manja pada dirinya.

"Sayang sekali yaa kamu tidak ikut mengantar bapak dokter sampai pagar, a-andai ikut . . . " Ulang Bunda, menaikkan nada beberapa oktav agar terdengar ke ruang tamu. Tanpa lelah. Seolah mendukung niat menggoda sang suami yang memiliki seribu nyawa untuk ditembakkan tepat sasaran. Yaitu pada putri kesayangan.

"Jangan lagi membahas itu." Ketus Circi sengaja memotong ucapan Bunda agar topik tentang bapak dokter tidak semakin berkelanjutan. Tetapi Nihil.

"Kenapa?" Sahut Bunda yang baru saja berjalan dari arah kamar mandi kemudian ikut bergabung di sofa. Mendaratkan bokong tepat disamping Papa.

"Berhenti menggodaku menggunakan bapak dokter." Jengkel Circi tanpa bisa ditahan.

"Eh, tapi, astaga, bagaimana bisa dulu aku memanggilnya bapak dokter. Harusnya, mas, hahaha . . . "kekeh Circi hanyut dalam lamunannya sendiri.

"Mas? Apa nak? Coba ulangi? Hahaha . . . " tanya Papa dan Bunda bersamaan. Seketika tawa keras kembali meledak memenuhi seluruh sudut ruang bernuansa putih ini.

"Khai, katanya Circi mau memanggilmu mas," teriak Papa ke arah pintu rumah yang terletak tepat beberapa meter di belakang sofa yang diduduki Circi. Seolah-olah Mr. Khai berada disana. Setelah mendengar itu sontak Circi menoleh ke arah belakang namun, tidak menemukan siapapun. Bibir itu kembali mencebik. Kali ini ia berhasil di tipu oleh Papa. Sedang Bunda tak kuasa menahan tawa. Bahkan perutnya telah terasa sedikit nyilu.

"Papa . . . " rengek Circi. Kali ini raut wajah jengkel semakin jelas tergambar. Membuat Papa dan Bunda semakin gencar untuk mengeluarkan seribu nyawa godaan lain padanya.

"Ada apa denganmu nak?" Tanya Papa berpura-pura tidak mengerti, tanpa melupakan untuk menyelipkan siratan godaan.

"Setelah Papa mengucapkan hal itu, rasanya aku seperti perempuan genit, tahu?" Jengkel Circi. Kali ini menegakkan tubuh yang semula sempat berbaring di sofa.

"Sayang, bukankah putri kita ini memang genit?" Usil Bunda, kedua mata bulat itu mengedip-ngedip ke arah Papa. Sedang yang di kode, meng-iya-kan, cukup membuat kejengkelan Circi semakin meluap-luap. Tanpa kata, segera saja beranjak naik ke tangga menuju letak pintu kamar berada.

"Selamat, Papa dan Bunda berhasil membuat aku genit. Aku marah pada kalian. Hh!" Dengus Circi sembari melengoskan wajah lalu masuk ke dalam kamar. Tak lupa suara bantingan pintu menggema seisi rumah. Mendengar itu, sontak tawa Papa dan Bunda kembali meledak yang kesekian kalinya.

Hari-hari berjalan, setiap hal terjadi layaknya air yang mengalir begitu saja. Terasa berat bagi Circi. Minggu pertama tidak berjalan mulus, di minggu kedua tidak menampakkan progres bagus. Minggu ketiga, perlahan tapi pasti, Circi berhasil keluar dari zonanyaman, mulai berani bertemu dengan Mr. Khai meski masih harus bersembunyi di belakang punggung Papa dan meremat kuat kedua lengan belakang Papa. Di minggu keempat, semuanya mengalir begitu saja. Ini tergolong waktu yang cepat karena saat mengingat dahulu perlu waktu lebih lama dari sekedar empat minggu. Entah karena tekad Circi yang sudah bulat atau memang sebenarnya sejak awal memiliki potensi untuk bisa lepas dari semua rasa ketakutan tak berdasar terhadap orang baru, tetapk baru disadari terlambat.

Selama 4 minggu itu juga, Mr. Khai berhasil membuat Circi tidak mengingat sedikitpun peristiwa di minihouse termasuk si hewan berbulu, meski di minggu pertama masih ada air mata, namun 3 minggu terakhir, bagi lelaki muda ini berjalan lancar, baik-baik saja. Sesuai rencana. Juga selama 4 minggu ini, rasanya keluarga kecil tenang, damai, tidak memiliki masalah berarti. Semuanya mengalir, bahkan didominasi bahagia serta cerah ceria. Tetapi di pagi ini, Papa, Bunda, Circi, dan Mr. Khai, mereka berempat yang awalnya asik bersenda gurau di teras rumah harus terhenti tatkala perhatian teralihkan ketika melihat tubuh seorang perempuan berdiri di depan pagar. Elsa!kedatangan Elsa ke rumah cukup membuat seluruh penghuni terkejut. Bermacam-macam ekspresi tampak di wajah. Lumayan lama tak berjumpa ternyata mampu membuat semuanya terasa asing.