webnovel

ALFA

Terlahir menjadi seorang perempuan muda yang sangat berbeda dari umumnya membuat Shirly Kenia harus menerima fakta yang ada. Beruntung selama hidup mengenal Orang Tua dan seorang kurir perempuan di HAFA BAKERY milik Bunda, yang begitu baik dan selalu menebar aura positive. Sehingga membuat Shirly Kenia sangat menikmati selama 21 Tahun hidup di dunia. Tetapi semuanya telah berubah, perubahan ini juga menjadi titik awal Shirly Kenia memiliki tekad bulat untuk keluar dari zonanyaman. Lalu, bagaimana kelanjutan dari hidup Shirly Kenia? Apakah tetap dapat dinikmati atau justru . . .

whatsappmail · Urban
Not enough ratings
17 Chs

Cerita Yang Terlewat (3)

Benar saja. Sudah 2 malam ini lelaki paruhbaya itu rela tidak memejamkan mata demi mengawasi seluruh pergerakan apapun yang dilakukan putri semata wayang di dalam kamar. Meski kesepakatan telah diputuskan namun tetap ada rasa cemas serta khawatir tersendiri, tentang, bisa saja perempuan muda yang di malam selarut ini saja masih duduk termangu di kursi belajar tiba-tiba memutuskan untuk lompat dari jendela kamar atau mengendap-ngendap keluar dari rumah, memilih kabur. Papa juga merasa heran, entah apa yang sedang dipikirkan oleh kepala cantik itu, tetapi melihat Circi berulang kali menelengkan kepala kekanan maupun kekiri membuat rasa penasaran terasa menggebu-gebu tumbuh semakin membesar di relung hati Papa. Walau kedua bola mata telah memerah, menahan kantuk namun beliau tetap mempertahankan diri agar terjaga. Papa takut, Circi merencanakan hal nekat yang dapat berakibat fatal.

Selama 6 jam awal kepala Papa terantuk-antuk didepan komputer tetapi masuk di jam selanjutnya, seketika tubuh kokok berotot berubah tegak diikuti pandangan mendadak fokus. Nampak di layar komputer si perempuan muda sedang membenahi pakaian kemudian berkaca sejenak dilanjutkan berjalan mondar-mandir layaknya setrika listrik. Sangat terlihat gelisah sekali. Segera saja Papa mencatat di note dalam otak jeniusnya. Kedua bola mata beliau mengikuti setiap gerak-gerik sang putri sembari tetap berdoa dalam hati. Semoga tidak terjadi hal menakutkan. Pikiran demi pikiran buruk terlintas di benak.

"Ya Tuhan, jaga putri kesayanganku agar tetap berpikir waras dan masih berada di jalurMu." Batinnya merasa resah.

1 jam telah terlewati. Waktu menunjukkan pukul 4 pagi. Di luar jendela yang gordennya sengaja disingkap, langit gelap terpampang. Disinilah Circi berdiri menatap ke arah luar jendela. Hati dan pikiran saling bergelut, memunculkan perkiraan-perkiraan buruk yang belum tentu terjadi. Mulutnya komat-kamit membaca doa dan berharap, semua berjalan sesuai rencana. Setiap jantung berdetak, disaat itu juga kaki Circi mulai terasa kebas tetapi tak memberi pengaruh apapun. Tekatnya sudah bulat. Ia harus bisa keluar dari zonanyaman untuk merasakan bebas tanpa rasa takut, cemas, atau khawatir berlebih ketika menantang diri untuk mulai mencoba bertemu orang baru. Dan langkah pertama yang perlu dilakukan adalah,

Tokk tokk tokk

Terdengar suara pintu kamar yang diketuk lebih dari 3 kali, segera kesadaran mengambil alih Circi yang sibuk melamun. Tak dirasa matahari terbit menebarkan sinar cerah yang menyeruak masuk ke dalam jendela, menerangi seisi ruang kamar. Membuat lampu putih merasa tidak memberi manfaat apapun karena tugasnya telah terganti.

"Iya?" Sahut Circi, merasa bingung karena tak mendengar suara siapapun. Hanya pintu yang terus terketuk.

"Halo, masih ingat aku? Bapak doktermu?"

Seketika tubuh Circi menegang saat suara yang hampir dilupakan menerobos masuk pada setiap sel syaraf rongga hingga gendang telinga. Tubuhnya secara dadakan menciut. Seluruh ingatan masa kecil berputar kembali layaknya roll film. Mulutnya otomatis terkatup. Tak dapat mengeluarkan suara sedikitpun.

"Bapak dokter datang kembali kemari karena mendapat undangan dari seseorang menggunakan batu sebesar jempol tangan yang dilempar melalui jendela kamar. Tahu? Lemparan batu itu berhasil membuat pelipisku lecet!" Tegur Mr. Khai. Kedua tangan bersidekap didepan dada, semakin menampakkan otot bisep yang besar.

Benar, lelaki muda berprofesi sebagai psikolog ini tidak menaikkan intonasi suara sedikitpun, masih terdengar stabil dan normal sekali. Tapi entah kenapa, bagi Circi setiap kata yang terdengar begitu menakutkan apalagi dari jarak sedekat ini. Rasanya ingin menangis histeris tetapi karena tekad telah bulat ia tahan-tahan. Walau tak bisa mengeluarkan suara namun tangan dan kaki masih bisa bergerak.

Ttukk

Tanpa Mr. Khai tahu, dibalik pintu, tangan Circi bergetar tidak karu-karuan, mencoba mengontrol emosi dan memberanikan diri. Sedang kedua alis tebal Mr. Khai tertarik ke atas ketika mulai menyadari sesuatu. Tetapi rasa bingung melanda. Bukannya Circi bersuara untuk memberi jawaban justru suara ketukan di pintu yang berhasil ditangkap. Sejenak kedua mata mengerjab-ngerjab, pertanda tak memahami keadaan.

Ttukk

Pintu di hadapan kembali terketuk dari dalam. Di dalam kamar batin Circi berteriak meraung-raung, meneriakkan sebuah permainan tempo dulu. Di luar kamar pikiran Mr. Khai melayang, terlintas sebuah adegan yang pernah berlalu.

"Apa kita sedang bermain sebuah sandi?" Bingung Mr. Khai dengan ingatan berkelana pada masa silam. Mencoba mencari-cari dan mengumpulkan hal-hal penting yang memiliki keterkaitan dengan permainan sandi ini, itupun jika memang benar ini adalah permainan sandi, yang sepertinya pernah Mr. Khai mainkan dengan Circi, dahulu.

Ttukk Ttukk

"Ow, oke, seperti masa silam ya?" Tanya Mr. Khai, meyakinkan spekulasi diri agar tidak salah mengerti.

Ttukk Ttukk

"Baiklah, mm, kita harus memulai darimana?" Gumam Mr. Khai, tangan kanan mengelus-ngelus rambut tipis di dagu. Mencoba menggali ingatan. Karena permainan ini sudah hampir tidak Mr. Khai mainkan setelah lebih dari 5 tahun.

Mendengar itu, karena merasa Mr. Khai telah mengerti pola permainan, reflek Circi beranjak dari belakang pintu ke atas meja belajar. Menyobek selembar kertas, meraih pulpen di ujung meja lalu menuliskan sesuatu secara terburu-buru. Entah tulisan di atas kertas dapat dibaca atau tidak. Yang paling terpenting Circi perlu mengatakan sesuatu. Setelahnya cepat-cepat diselipkan di bawah pintu. Dahi Mr. Khai mengernyit, tak disangka sebuah senyum terbit bersamaan dengan lembaran kertas yang terlipat menjadi 2 bagian meluncur begitu mulus dari celah kecil antara daun pinth kamar dan lantai. Badan tegap itu membungkuk untuk meraih kertas, Ketika kedua mata elang bergerak kekanan-kekiri, disitu Mr. Khai mulai paham sesuatu.

"Ow, oke. Tidak apa-apa, walau aku sangat terkejut dengan apa yang kamu lakukan tapi, tidak masalah. Bagian ini masih aku maafkan, lain kali, mungkin, tidak akan."Maklum Mr. Khai. Kedua bahu terangkat lalu pergi dari depan pintu. Selepas beranjak dari depan pintu, ketika Mr. Khai mulai menurunj tangga, tangan kiri teracung ke atas memperlihatkan selembar kertas yang terlipat, dijepit oleh jari telunjuk dan jari tengah, ke arah Papa dan Bunda yang menunggu harap-harap cemas di sofa ruang tamu. Smirk karena merasa bangga, menganggap ini salah satu kemajuan paling cepat yang pernah Mr. Khai dapatkan selama melewati proses untuk mengembalikan keadaan, tempo dulu. Melihat itu, sontak terdengar tawa tanpa suara meledak serentak. Ya, Papa, Bunda serta Mr. Khai, begitu bahagia.

Setelah memperkirakan di depan pintu kamar tidak ada orang lagi, dengan seribu langkah Circi berjingkat-jingkat keluar dari kamar, nyaris tidak menimbulkan suara langkah kaki atau apapun. Kepalanya menyembul ke arah bawah di sela-sela pagar yang menjadi pembatas tangga, sedang memantau keadaan. Dirasa aman, hembusan nafas lega keluar dari bibir tebal.

Fiuh,

Tubuh berisi Circi duduk dan bersandar pada dinding samping pintu kamar. Seluruh tubuh melemas seolah baru saja menyelesaikan tantangan berlari. Kepala terangkat, kedua mata bulat menatap langit-langit kamar. Membayangkan dan memprediksi hal-hal buruk atau baik yang akan terjadi setelah hari ini. Ditengah hanyut dalam lamunan, samar-samar terdengar suara Papa dari lantai bawah,

"Bapak dokter, kau perlu tahu sesuatu, Circi sudah menunggumu sejak semalam sampai tidak tidur." Goda Papa, sengaja berteriak agar dapat terdengar sampai pada telinga sang anak di lantai atas. Mr. Khai sendiri hanya tersenyum, senyuman menyimpan arti lain.

Mendengar itu, seketika Circi membelalakkan kedua mata bulat.

"Papa, tahu darimana . . . " belum selesai terucap, reflek Circi berdiri, kembali masuk ke dalam kamar, otak memerintah untuk meneliti secara rinci setiap sisi dinding dan letak furniture di kamar. Hanya dalam hitungan detik, kedua mata bulat itu melotot.

"Ini benar-benar di luar nalar" Batin Circi, panik.

"Cctv? Papa masih mengintaiku melalui cctv? Aku sudah besar, Pa, tidak akan terjadi hal gila seperti ketakutanmu selama ini, aku masih waras." Rengek Circi, nada suaranya naik satu oktav. Otaknya menyadari banyak kamera kecil dipasang secara tersembunyi, sehingga nampak samar untuk disadari sejak awal. Dari relung hati terdalam timbul rasa gemas pada lelaki paruhbaya yang tetap bersikap posesif padanya.

"Tidak pernah berubah." Batin Circi.

"Tidak peduli, berapapun usiamu saat ini. Bagi Papa, kamu tetaplah gadis kecil yang perlu dijaga ketat. Usia tidak menjamin seseorang memiliki pemikiran dewasa dan mandiri nak. Papa berusaha menjaga itu agar kamu berkembang lebih baik daripada cerminan mu selama ini." Gurau Papa berteriak kembali, menyelipkan siratan nasehat untuk Circi.

Sedang Mr. Khai terkekeh gemas. Entah sudah berapa lama tidak mendengar rengekan khas Circi, lelaki muda ini begitu merindukan semua yang ada pada Circi. Putri dari kakak sepupu sekaligus pasiennya dari zaman Mr. Khai masih skripsi ini telah menempati tahta tersendiri di sisi hati yang sudah lama sengaja dikosongi.

" . . . "

"Nak? Tidak mau turun, bergabung bersama kami?" Goda Papa lagi. Tidak pernah ada habisnya jika sudah menyangkut Circi. Sedang yang digoda sejak tadi hanya mendengus kesal di dalam kamar. Jengah pada apa yang sedang terjadi.

"Nak, setidaknya beri salam dengan sopan. Ayo, turun, bapak dokter mau pamit pulang." Goda Papa, seakan tidak ada rasa lelah. Bunda hanya menggeleng-gelengkan kepala. Sedang Mr. Khai berdiri di dekat pintu rumah. Kedua mata elang itu terpaku pada satu arah, yaitu pintu kamar Circi. Memiliki harapan, akan terbuka menampakkan sepasang mata bulat, lalu bersitatap, bahkan canda tawa, tapi ia sadar, perlu kesabaran ekstra seperti, bagaimana dulu melewati proses yang tidak mudah dan butuh waktu sedikit lebih lama.

" . . . "

Tak ada jawaban apapun. Circi tidak mau menanggapi lagi. Bibir tebal itu mengatup rapat. Membiarkan Papa melempar godaan demi godaan. Bagi circi, 'Biarlah, Papa mau melakukan apa. Yang penting senang.'

Ttukk : Sebuah panggilan atau salah satu cara untuk menarik perhatian orang yang berada di balik dinding, pintu, dsb.

Ttukk Ttukk : Iya

Ttukk Ttukk Ttukk : Tidak

whatsappmailcreators' thoughts