webnovel

3. Iya Sayang

"Oky sayang sebelum bobo siang ganti bajunya dulu ya, terus simpen ke tempat baju kotor di belakang biar nanti langsung dicuci sama mbak," ujar Zora sambil meletakkan tasnya berbarengan dengan tas Oky di lantai dekat sofa saat mereka memasuki ruang tamu.

"Iya Ma," Oky menuruti perkataan ibunya dan dengan segera berjalan meninggalkan ruang tamu.

Zora merebahkan diri di sofa panjang sambil membuka beberapa kancing blusnya dan mengibas-ibaskan bajunya karena kegerahan. Hari itu memang panas sekali, padahal seharusnya sekarang masih musim hujan. Zora lalu teringat kalau dia berjanji untuk mengabari Tirta sesampainya di rumah. Zora pun mengambil tasnya dari lantai dan menggeledah mencari handphonenya.

Tuutt…

Tuu..

Belum selesai dua nada sambung,  suara berat Tirta langsung menyambut hangat, "iya, sayang, udah sampe rumah?"

Zora tertawa kecil mendengar panggilan 'sayang' yang sudah beberapa hari belakangan ini digunakan Tirta untuk memanjakannya.

"Iya, baru aja, ini aja masih di ruang tamu, ngerebah dulu, panas banget hari ini."

"Iya, bener panas banget loh. Aku aja tadi sampai ngembat es krim punya Deva."

"Loh loh, gimana ini, penyanyi koq makan es krim? Nanti suaranya serak donnkk.."

"Yaa, kan cuma kali-kali donk, sayang, lagian udahnya aku tadi minum air putih yang banyak, koq"

"Ih, kak Tirta kapan post duetan yang bareng aku itu? Yang bareng Dinar udah loh, tadi pagi sebelom jemput Oky, aku liat"

"Tapi kan hari kemarin aku post duetan bareng kamu, yang… Mainnya harus cantik donk, bahaya kalau keliatan ibu negara." 

"Tapi yang punya Dinar biar banyak pun kakak malah post terus loh, gapapa itu?"

"Ya justru gapapa karena aku sama Dinar beneran gada apa-apa. Makanya aku cuek. Istriku mau liat-liat profil dia pun aku gak masalah karena emang ga ada yang perlu aku sembunyiin. Kalau kamu kan beda, sayang…"

Zora mengiyakan ceramah Tirta dengan lemah dan wajah murung. Sebenarnya Zora paham maksud Tirta, tapi hati wanitanya sudah kepalang disulut api cemburu.

"Anakmu kemana?"

"Oky biasanya kalau pulang sekolah suka langsung ganti baju terus tidur siang, nanti bangun pas jam makan."

"Hahaha, lucu ya anak umur segitu, masih bisa diatur suru tidur siang segala."

"Iya, lumayan aku jadi bisa agak santai dulu kalau dia lagi tidur."

"Hmm… Bisa donk?" Tirta melontarkan pertanyaan dengan nada nakal.

"Bisa apaaa…" Zora menimpali tak kalah nakalnya, disambung tawa kecil malu-malu tapi mau

"Yu? Bentar aja… Aku kangen niihh…"

"Bentar aja ya, kan ada mbak…" Zora menjawab dengan malu-malu, memutar tubuhnya yang tadinya telentang sekarang merebah dengan perutnya menempel di sofa sementara tubuh bagian atasnya menanjak dengan disangga kedua sikunya. Rambutnya yang sedikit melewati bahu bertumpuk dengan manis menutupi sebagian leher dan tulang selangkanya. Zora lalu meletakkan handphonenya di sofa tempatnya sedang bersantai itu, disandarkannya handphonenya di seberang wajahnya, agak sedikit jauh supaya seluruh bagian wajahnya tertangkap kamera. Kemudian Zora menjawab permintaan panggilan video dari Tirta yang baru saja masuk.

Pipi Zora mendadak hangat ketika layar handphonenya menampakkan wajah Tirta; pipi tirusnya, sepasang alis tebal dan pekat, hidung yang lebih mancung dari kebanyakan orang yang dikenal Zora, dan rahang yang keras yang bagi Zora adalah salah satu ciri maskulinitas seorang laki-laki. Jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya melihat mata Tirta yang gelap menatap dalam ke arahnya. Tirta tidak jelek, tapi juga tidak bisa disebut tampan apalagi dibandingkan dengan suami Zora. Ahhh, Tirta ke laut ajaaa!!! Tapi bagi Zora, Tirta mempunyai aura yang berbeda yang belum pernah Zora temui sebelumnya. Bagi Zora, kelembutan, ketenangan, sifat bijak dan kebapakan yang selama beberapa bulan ini ditunjukkan Tirta dirasa sangat berbeda 180 derajat dari suaminya yang tempramental dan sering meletup-letup. Perasaan nyaman itulah yang memenangkan hati Zora dengan begitu mudahnya.

Zora berusaha tersenyum senatural mungkin walau sejujurnya dia masih sering gugup setiap kali Tirta memintanya untuk melakukan panggilan video. Padahal sudah lebih dari seminggu ini mereka sering melakukannya.

"Duuhh, cantik gini ya, maminya Oky, pantesan papinya Deva kepincut…" Tirta mulai menggoda, bola matanya bergulir nakal mendapati kulit putih mulus di bawah tulang selangka Zora terdesak ke atas oleh posisi rebah Zora dan terekspos sedikit dari blus putih yang terkuak 

"Ah apaan sih kamu"

"Posemu itu loohh… Bikin aku deg-degan tau gak."

Segera Zora bangkit  dari pose malasnya dan duduk bersandar pada punggung sofa.

"Ah kamu jangan gitu ah ngomongnya," Zora makin salah tingkah, bibirnya mengerut menunjukkan kegelisahannya.

"Hehe, iya deh nggak diulang lagi, maaf yaa…" Tirta membujuk Zora, "abisnyaaa…"

"Bu, maap, ganggu, tapi ayamnya mau dimasak apa hari ini Bu?" tiba-tiba mbak muncul dari arah dapur, untung saja Zora sudah memperbaiki letak posisi duduknya.

"Dibikin ayam suwir aja deh mbak. Soto nya udah?"

"Kalau soto udah, Bu, tinggal nunggu ngeresap aja bumbunya sebentar lagi."

"Oh ya udah. Nanti saya cek ke belakang sebentar lagi ya mbak."

"Iya, Bu, permisi kalau gitu."

Mata Tirta menggerayangi tubuh Zora yang sedikit bergerak ketika dia mengacuhkannya dan berbicara pada si mbak yang hanya terdengar suaranya saja oleh TIrta. Betapa Tirta menyukai perempuan ini, yang modis, luwes, dan sangat terawat. Otak lelakinya berpetualang ke balik blus putih gading itu.

"Hey, kak, kayanya udahan dulu ya video call nya," permintaan Zora memecah lamunan nakal Tirta dan membawanya kembali ke alam nyata.

"Yaahh, belum ada sepulu menit loh, sayang… Masih kangen," rengek Tirta membuat hati Zora klepek-klepek dan hanya bisa tersenyum dan tersipu.

"Tapi, yang, kamu manggil aku koq 'hey' sih? Ga ada manis-manisnya gitu."

"Iiihh, apaan sih kak Tirta, geli ah."

"Panggil aku 'sayang' dulu baru kamu boleh tutup video call nya"

"Ngga ah apaan sih!!" suara Zora naik karena panik.

"Cepetan sekali aja, kalo ngga mau nanti aku telepon lagi nih! Kugangguin pas kamu lagi masak sama si mbak, atau kalau suami kamu udah pulang. Hayo looo…"

"Ngga maauu!!" pekik Zora sambil menutup wajahnya yang memanas karena malu.

"Cepetan, sayaaanngg… Cuma 'iya sayang' sekali aja,, cepet donk sayang" Tirta membujuknya sambil tertawa kegirangan di ujung telepon

"Iya, udah ah sayang! Tuh udah!! Aku tutup nih!"

"YESS!!" Tirta menang.

Zora  langsung menutup telepon tanpa basa-basi dan melemparnya masuk ke dalam tas. Untuk sesaat dia terduduk dengan kedua tangan menutupi wajahnya yang rasanya seperti terbakar.

"Aduuuhhh!!!" jeritnya dalam hati.

Zora menghentakkan kakinya saat ia berdiri untuk kemudian berjalan ke arah dapur. Perasaannya campur aduk antara kesal, malu, tapi senang sekali.