webnovel

Diabetes Aku

Jumat pagi, Oky sudah berangkat sekolah sedari tadi dengan mas Arman, suami Zora. Zora baru saja selesai jogging di sekitar kompleks perumahannya dan masuk rumah. 

"Ibu udah beres larinya, Bu?" sambut si mbak di pintu depan.

"Udah, mbak, mau belanja sayur ya?"

"Iya, Bu, saya pergi ke abang sayurnya dulu ya Bu"

"Iya, mbak, catatannya udah dibawa?"

"Udah, Bu, ini," kata si mbak sambil menunjukkan secarik kertas kecil berisi daftar apa saja yang harus dibelinya dari tukang sayur langganan.

Si mbak pun meninggalkan halaman rumah dan berjalan pergi meninggalkan Zora yang lalu duduk di bangku taman kecil di teras rumahnya. Angin pagi yang sejuk  membelai lembut tubuhnya yang separuh basah oleh sisa tetesan keringat.

Ini hari Jumat, biasanya setiap hari Jumat si mbak pulang ke rumahnya yang berjarak sekitar satu jam dengan angkutan umum dan kembali lagi hari Senin berikutnya. Tugas si mbak di hari Jumat hanya sedikit sekali, belanja stok isi kulkas untuk selama weekend lalu menyiapkan bahan untuk dimasak nanti siang oleh Zora sendiri, lalu si mbak diperbolehkan pulang. 

"Misi, Bu," sapa si mbak kembali dari berbelanja sayur-mayur, ketika dia melewati Zora yang masih asik menikmati siraman matahari pagi di bangku kecil tadi.  

"Ada semua mbak?" 

"Ada, Bu. Saya ijin ke dalam ya Bu, mau beresin ini semua ke dalam kulkas terus saya mau kemas-kemas pulang."

"Iya, mbak. Eh mbak, sambil masuk tolong ambilkan handphone saya di meja ruang tengah ya?"

"Iya, Bu. Permisi saya masuk dulu."

Zora kembali menutup matanya menikmati hangatnya matahari pagi itu. Kalau sudah keburu siang mana mau dia berjemur di bawah matahari seperti ini, "takut gosong yey".

Ping!!

Handphone Zora berdenting menerima pesan masuk begitu si mbak menyerahkannya ke tangan Zora dan meletakkan segelas besar juice jambu merah di meja kecil di depan Zora. Tapi bukan nada dering yang dipasang Zora khusus untuk pesan dari Tirta, jadi diabaikannya.

Ping!!

Sekali lagi, dan tetap bukan nada dering dari pesan Tirta. Zora diam tak bergeming dari posisi PEWEnya 

Ping!!

Ping!!

Ping!!

Ping!!

Ping!!

Ping!!

Ping!!

Ping!!

Ping!!

"Aaarrgghh!! Bisa gila, siapa sih?!!" Zora memekik sambil memegangi telinga dengan kedua tangannya. "Awas aja kalau si kurcaci itu, liat aja." celotehnya lagi.

Zora bangkit dengan malas, mengambil handphone dari meja dan menyalakan layarnya.

"Argh!! Beneran orang gila itu ah kesel!!" Zora meletakkan kembali handphonenya saat bunyinya berubah menjadi nada dering telepon. Tetap dari Anya. Zora menjawabnya dengan malas

"Paan?? Pagi-pagi gini udah ganggu?"

"Ra, aku gabisa jemput Abel deh siang ini, ada perlu, boleh titip jemputin Abel gak,Ra? Kan kamu baiiiikkk…." Nada Anya membujuk terdengar sangat berlebihan membuat Zora mendengus sebal.

"Ya udah, nanti siang aku anterin Abel pulang deh. Emang kamu ada perlu apa kemana ngapain sama siapa?" Pertanyaan Zora membombardir Anya yang wajahnya berubah sinis di ujung telepon sana.

"Aku mau beli bahan-bahan buat bikin pesenan kue dari sepupu aku. Kamu tau kan kak Berbi orangnya agak ajaib."

Tawa Zora membuncah membahana seketika, " bhahahhaha!! berbi berbi apaan sih, norak!"

"Yaaa… Kamu kan tau sendiri dandanan kak Litha… Macam iiittuu," bibir Anya mengerucut antara memang niatnya meledek  sepupunya itu atau sebenarnya merasa tidak enak tapi geli.

"Ya, ya, ya… Pesen kue apaan emangnya kaka Litha?" Zora menahan tawa sedikit demi Anya.

"Banyak, Ra… Dia pesen kue kering beberapa toples dengan preferensi masing-masing, terus dia pesen cake yang desainnya adubileh ah. Gak tau aku bisa apa nggak ya bikin sesuai request dia…"

Tut..

"... aku uda bilang sih kalau…"

Tut…

"... modelnya agak rumit dan aku kan bukan pro banget…" ceramah Anya terputus beberapa kali oleh nada sela dari panggilan masuk, Zora menjauhkan handphone dan menangkap nama Tirta di layar, senyumnya mengembang lebar.

"Woy stop! Ada telepon masuk nih, pacar," potong Zora

"Dih! Najis! Ya udah deh ah. Aku juga harus siap-siap hunting dari sekarang nih."

"Oke kalo gitu nti kukabarin ya," jawab Zora mengakhiri pembicaraan mereka dan langsung menjawab panggilan dari Tirta.

"Iyaaahhh…" jawab Zora manja.

"Lagi apa sayang?" suara berat Tirta membuat Zora gugup seketika.

"Barusan pulang jogging aku, kak."

Si mbak lewat dan hanya pamit dengan menganggukkan kepala karena melihat Zora sibuk di telepon sejak dari sebelumnya, Zora membalas anggukan pamit si mbak dengan anggukan dan senyum manis, lalu dilambaikannya tangannya menyuruh si mbak berhenti sebentar dan menghampirinnya. 

"Kak Tirta lagi apa?" tanya Zora lembut ketika Si mbak mendekati Zora. Zora mengambil dua lembar uang seratus ribuan dari saku celananya lalu diberikannya untuk ongkos pulang. 

"Ibu negara baru aja berangkat kerja barusan belum lama, sayang, terus aku nyeduh kopi, mau ngerjain orderan desain hari ini," jawab Tirta santai. 

Si mbak mengangguk sambil cengar cengir senang menerima uang itu lalu berangkat meninggalkan rumah Zora. Zora melangkah masuk setelah melihat si mbak mengunci pagar. 

Zora menjatuhkan tubuhnya ke sofa tanpa melepaskan handphone dari telinganya.

"Ah enaknya rebahan gini…" kata Zora sambil melepaskan jaket parasut yang tadi dipakainya untuk jogging.

"Mau donk aku rebahan sama kamu, yang…" goda Tirta.

Zora tertawa kecil sambil tersipu malu.

"Ah kak Tirta ini, suka bikin aku baper loh. Kak Tirta mau kerjain desain apa sih?"

"Temenku mau buat acara gathering besar gitu di perusahaannya, nah, ini desain untuk acara gatheringnya itu. Soalnya ngumpulin beberapa cabang kan se-Jawa Barat."

"Wah keren tuh temen kak Tirta, dia owner langsung nya? Bidang apa, kak? Ada berapa cabang emangnya?"

"Iya, temenku ini owner langsung, dia bikin custom furnitur gitu,uda buka 5 cabang sih di Jabar."

Pembicaraan mereka berlangsung lama dan seru, segala sesuatu dalam hidup mereka dibahas, Zora berpindah tempat dari ruang tamu ke ruang tengah, mengenakan headset, pergi ke dapur untuk mengambil sarapan, lalu dia makan semangkuk kecil oatmeal yang barusan diseduhnya, menyimpan mangkuk kotor ke bak cuci piring, semua dilakukan sambil bertelepon dengan Tirta. Sampai di titik Zora melamun, menatap kosong sambil merebahkan tubuhnya di sofa menggenggam cangkir kecil berisi kopi.

"Kak Tirta, kita ini apa sih…" tanya  Zora tanpa nada bertanya, seolah tidak mengharapkan jawaban karena takut kalau jawaban yang dia harapkan tidak didengarnya dari Tirta.

Tirta terdiam sejenak di ujung sambungan telepon.

"Apa ya…" jawabnya ragu.

"Buat kak Tirta aku ini apa?"

"Aku suka banget sama kamu, aku sayang sama kamu, kalau memungkinkan jujur aku kepingin  bisa ketemu langsung sama kamu, bahkan beberapa kali terkadang aku ngebayangin kamu kalau aku lagi berhubungan sama istri aku." Tirta menjawab dengan tenang, pandangan matanya menerawang jauh di ujung telepon sana, memang merindukan Zora yang detik ini begitu jauh darinya.

Zora menghela napas dalam dan menurunkan pandangan matanya, seketika merasa sesak dan berat sekali.

"Kamu sendiri? Buat kamu, aku ini apa?" Tirta bertanya balik.

"Aku juga nyaman banget sama kak Tirta, belum pernah rasanya aku senyaman ini sama lelaki. Tapi ini jadi bikin aku bingung, kak…"

"Bingung kenapa? Enjoy aja, sayang…" bujuknya

"Sebagai seorang manusia tentunya aku ngerasa seneng banget bisa kenal sama kamu. Aku seneng ada yang merhatiin aku, tiap hari nanya kondisi aku, hari aku gimana, kadang cerewetin aku suruh jangan banyak minum air dingin lah, brenti ngerokok lah."

Zora tertawa kecil menyadari betapa dia kadang sangat rewel.

Tirta melanjutkan, "tujuan kita sama, untuk saling membahagiakan, ya kan?"

Zora mengangguk pelan, raut wajahnya lembut membenarkan pernyataan Tirta.

"Tapi, sayang, kamu jangan lupa kalau kamu udah bersuami dan aku juga punya istri. Mereka itu lah prioritas utama kita, keluarga kita masing-masing, jangan lupa itu ya sayang…"

Wajah Zora makin menunduk seolah diingatkan pada realitas yang ada bahwa mereka berdua punya pemilik masing-masing dan Zora harus memahami kondisinya.

"Kamu gak boleh ngambekan kalau aku bilang aku lagi pergi berdua sama istri, atau lagi berhubungan sama istri, atau aku milih ngeduluin istri aku dan menomor-duakan kamu," sambungnya lagi, membuat mata Zora berkaca-kaca.

"Aku juga akan selalu paham sama situasi kamu kalau lagi ada suami kamu di rumah," Zora mendengus pelan

"Kita ini ibarat es krim buat satu sama lain, makanan penutup, cemilan manis-manis untuk bikin mood jadi baik, jadi happy. Dan namanya dessert itu gak boleh terlalu banyak sayang, nanti diabetes…" Tirta berhasil menghibur Zora yang sedikit melow, tawa kecilnya pecah mendengar kata diabetes.