webnovel

Ai No Koe (Suara Cinta)

Ai No Koe "Voice of Love" Okino Kaito, remaja yang kehilangan seseorang yang sangat berharga baginya. Ame (hujan) gadis yang ia temui di musim panas hari itu lenyap dari dunia ini. Walau hanya satu bulan mereka bersama, tapi cinta bisa tumbuh kapan saja. Sampai saat Ame meninggalkan dunia ini. Kaito seakan kehilangan hujan semangat nya. Dua tahun kemudian ia bertemu dengan gadis misterius yang tak mau berbicara sama sekali. Entah kenapa takdir membuat Kaito tertarik pada gadis itu. Hari demi hari Kaito lalui, mimpi mimpi aneh mulai menghantui nya. Potongan potongan mimpi itu memberi sebuah petunjuk pada Kaito. Kenapa Kaito selalu bermimpi aneh?

OkinoKazura · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
114 Chs

Chapter 4

Kaito

Kejadian 3 tahun lalu ...

     Sore ini, aroma musim panas yang menusuk hidung. Bunyi para serangga seakan menjerit karena panas nya hari ini. Aku yang masih memakai seragam SMP ini melangkah menuju jalan pulang membawa rasa lelah di hatiku.

     Hatiku serasa hancur berantakan. Hari ini adalah pengumuman lomba menulis novel, dan aku ada di peringkat terbawah.

"Kaito! Kau itu tidak berbakat dalam menulis novel!"

Hanya teriakan ayah ku yang terngiang di kepalaku.

Bruk ...

"Aduh!"

Suara gadis yang ku tabrak menyadarkan ku dari lamunan ku. Saat aku melihat wajah nya yang familiar aku pun bertanya.

"Maaf ... apa kita pernah bertemu?"

"Hmm ... oh kakak yang ada di lomba novel itu juga kan?", jawab gadis itu sembari memegang dagu nya.

"Oh iya ... apa kau mendapat peringkat tinggi?", tanya ku penasaran.

"Sayang nya enggak kak", senyum gadis itu perlahan menghilang ketika menjawab pertanyaanku

    

"Maaf gak sopan ...  ano ... namaku Kaito kelas dua SMP", ucapku sembari merundukan kan kepala ku sedikit.

"Oh iya ... perkenalkan nama ku Ame ... salam kenal senpai", kata gadis itu dengan senyum manis nya. -senpai(senior)-

"Senpai? memang kau kelas berapa?", tanyaku sembari menggaruk kepala.

"Oh aku baru kelas satu kok senpai", jelas Ame.

     Itu adalah pertemuan pertamaku dengan hujan yang membekas pada hatiku. Sejak saat itu kami sering bertemu di perpustakaan kota untuk berlatih menulis cerita bersama.

     Sore ini, aku kembali bertemu dengan nya di perpustakaan kota. Seperti biasa kami duduk berdampingan di bangku perpustakaan yang panjang itu. Saat mataku fokus tertuju pada novel yang aku baca, Ame menepuk pundak ku.

"Senpai ... ayo kita ikut lomba ini", kata Ame sembari menunjukan poster ke wajahku.

"Hee?! kan baru satu minggu yang lalu kita lomba ... lagi pula pasti aku kalah", jawab ku dengan wajah malas.

"Ini lomba nya boleh pasangan senpai ... ayo ayoo", pintanya sembari menarik lengan seragam ku berkali kali.

"Kalau kalah?", tanya ku.

"Senpai tau gak warna rambut ku apa?", tanya Ame sembari menunjukan ujung rambut sebahu nya.

"Eh ... kok gak nyambung", tanyaku sembari menggaruk kepalaku.

"Udah jawab aja", kata Ame dengan wajah marah.

"Pirang keemasan memang kenapa?", tanya ku dengan wajah bingung.

"Emas adalah warna medali juara pertama kan? percaya aja sama warna rambut ku ini", kata Ame dengan senyum manisnya.

"Hahaha ... mana mungkin ... kau pikir rambut mu jimat ...", kata ku sembari menutupi wajah ku dengan novel yang ku bawa.

"Malah ketawa ... ku pukul loh", kata Ame bersiap memukulku.

"Aku malah lebih percaya pada nama mu", ucapku sembari mengusap kepalanya.

"Eh, kok ... malah na ... ma", kata Ame dengan rona merah yang terpancar di pipi nya.

"Ame ... artinya hujan kan? nulis novel itu sama kayak nanam pohon. Kita butuh hujan untuk membuat pohon itu besar dan berbuah dengan baik."

     Mulai saat itu kami menulis novel bersama. Hari demi hari hanya ku lewati dengan menulis novel bersama nya. Aku tak lagi peduli dengan pelajaran di sekolah. Setiap sore kami mencari inspirasi dan mencurahkanya pada novel kami di perpustakaan kota yang penuh dengan kenangan.

     Tak terasa sudah setengah bagian novel yang kami tulis. Sore ini aku kembali bersama nya di perpustakaan. Saat aku menulis kalimat di naskah novel kami, Ame tiba tiba jatuh dan tak sadarkan diri. Penjaga perpustakaan pun menelepon ambulans dan Ame pun dibawa dan dirawat di rumah sakit.

     Keesokan harinya aku menjenguk nya di rumah sakit. Saat masuk ke ruangan nya, aku melihat Ame yang sedang duduk di ranjang nya sembari memandang ke luar jendela.

"Kau lihat apa Ame?", tanyaku sembari melangkah mendekati ranjang nya.

"Senpai ya ... aku lihat langit ... warna nya bagus ya Senpai?", kata Ame tanpa mengubah arah pandang nya.

     Aku hanya diam tanpa sepatah kata apapun. Aku hanya bisa melihat warna emas yang terpancar dari rambut nya mulai memudar. Wajah nya pucat pasi, dia yang dulu seakan dimakan oleh waktu.

"Senpai ..."

Suaranya menyadarkan ku dari lamunan ku. Aku pun menjawab

"Kenapa?"

"Novel nya aku pasrah kan ke senpai aja ... aku mungkin sembuh nya pas pengumuman pemenang minggu depan", kata Ame menatapku dengan senyum nya.

"Tapi kalau ..."

"Jangan! Jangan! Jangan kalah!"

Kata nya menyela ku dengan tegas.

Mata Ame mulai berkaca kaca dan berkata.

"Aku ... aku pasti akan menghujani mu dengan semangat agar ... kau menang ... Senpai ... jangan sampai kalah!"

     Entah kenapa aku hanya ingin waktu berhenti di sana. Tapi waktu masih saja terus berjalan. Aku meneruskan novel itu sendirian. Walau Ame tak ada di sisi ku, tapi aku merasakan nya. Tetesan hujan semangat yang dia berikan padaku. Aku merasakan dia memberikan seluruh hidup nya untuk menghujani ku dengan semangat.

     Aku berhasil menyelesaikan novel itu dengan lancar. Aku pun mendaftarkan novel itu ke perlombaan. Sisanya tinggal menunggu pengumuman. Aku memberi tahu Mina dan Raku tentang semua yang ku alami sebulan ini. Mereka berdua pun berencana untuk pergi bersama ku melihat pengumuman pemenang.

     Hari yang kami tunggu pun tiba. Aku pun mengajak Mina dan Raku untuk menjenguk Ame terlebih dulu. Saat tiba di rumah sakit hatiku berdebar kencang. Saat membuka pintu ruangan Ame, ruangan itu telah kosong. Hanya ada suster yang membereskan ranjang yang tadinya ditempati Ame.

"Permisi sus ... temen saya yang dirawat di sini kemana ya?", tanya ku pada suster itu.

"Hah ... maaf dek kamu belum tau?", jawab suster itu dengan wajah khawatir.

Jantung ku berdegup kencang, keringat mulai keluar dari kulit ku. Aku pun menjawab

"Belum tau apa sus?"

"Ame sudah meninggal kemarin", kata suster itu.

      Bohong! Pasti aku salah ruangan. Dia bilang dia akan sembuh hari ini. Ame tak pernah membohongi ku. Aku merasa semangat yang menghujani ku seketika berhenti. Pohon yang aku tumbuhkan di hati ku seakan layu.

     Aku hanya bisa tersungkur dan meneteskan air mata ku. Aku hanya bisa menyadari kalau orang yang memberiku hujan semangat sudah tiada. Aku tak lagi berniat untuk melihat pengumuman lomba novel itu lagi.

     Aku pulang dan mengunci diriku di kamar. Mina dan Raku menberi tahu ku bahwa aku memenangkan lomba novel itu dari luar kamar. Aku hanya membisu dan menutup telinga ku dengan bantal. Air mata ku membasahi ranjang ku. Untuk apa aku memenangkan lomba tanpa nya.

     Lagipula sejak awal tujuan ku adalah membantu nya. Hadiah itu bukan milik ku. Novel ini juga bukan milik ku. Semua telah hilang begitu saja. Aku memutuskan untuk tidak menulis novel lagi. Agar tak ada lagi yang perlu menghilang dari hidup ku.