“Rindu, kamu kenapa?” tanya Edi begitu melihat istrinya terbaring di sofa ruang tamu. Ia terpaksa pulang ke rumah setelah mengetahui kalau istrinya jatuh pingsan di rumahnya.
Rindu hanya mengerdip sekilas. Ia tidak memiliki tenaga untuk menjawab pertanyaan dari suaminya itu.
“Bundamu kenapa, Yu?” tanya Edi.
Ayu hanya menutup wajahnya sambil sesenggukkan.
“Kita ke rumah sakit, sekarang!” ajak Edi sambil mengangkat kepala Rindu.
Rindu menggelengkan kepala perlahan. “Nggak usah! Aku cuma perlu istirahat sebentar aja.”
“Kamu ini kenapa? Ada pikiran yang mengganggumu?” tanya Edi. Ia mengedarkan pandangannya. Menatap satu pembantu dan supir di rumahnya. “Ibu kenapa?”
Dua orang pekerja di rumah keluarga itu tidak berani menjawab pertanyaan dari tuan rumahnya itu. Mereka hanya melirik ke arah Roro Ayu yang terduduk di lantai, tepat di bawah kaki ibunya.
“Mas, tolong telepon si Sonny!” pinta Rindu lirih.
Edi mengangguk. Ia segera merogoh ponsel di saku jasnya dan mencari nomor telepon Sonny yang ada di ponselnya.
“Ayah, jangan! Jangan telepon Sonny!” pinta Ayu sambil meraih tangan ayahnya. Mencegahnya untuk menelepon Sonny. “Jangan, Yah! Aku mohon ...!”
“Sonny itu tunanganmu. Dia harus tahu, Ay!” sahut Rindu sambil berusaha mengumpulkan kekuatannya kembali.
“Ini ada apa?” tanya Edi kebingungan.
“Katakan pada ayahmu, Ayu!” pinta Rindu lirih.
Edi langsung menatap tajam ke arah puterinya yang tiba-tiba terisak begitu saja.
“Ada apa, Ay?” tanya Edi.
“Hiks ... hiks ... hiks ...” Ayu hanya bisa menangis. Ia tidak bisa mengatakan apa pun di depan ayah yang begitu menyayangi dan mencintainya. Selalu mendidiknya menjadi wanita yang baik dan begitu melindunginya.
“Ayu, katakan! Apa yang sudah kamu perbuat sampai bikin bundamu seperti ini?” tanya Edi meninggikan nada suaranya.
Ayu terisak mendengar suara ayahnya yang semakin meninggi.
“Cepat katakan, ini ada apa!?” seru Edi semakin tak sabar.
“Ayu hamil, Yah,” jawab Ayu lirih. Nyaris tak terdengar oleh suara orang-orang yang ada di sana.
“Apa!?” Edi menatap wajah Ayu yang masih terisak di bawahnya.
“Ayu hamil,” jawab Ayu sambil sesenggukan.
DEG!
Edi terpaku di tempatnya. Dadanya tiba-tiba terasa sangat sakit. Ia merasa, mendapat pukulan begitu besar dari puterinya sendiri.
Edi langsung menatap layar ponselnya dan segera menyambungkan ke nomor telepon Sonny.
“Ayah, tolong jangan bilang ke Sonny!” pinta Ayu.
“Dia harus bertanggung jawab!” sahut Edi penuh amarah dan segera melangkah pergi, menjauh dari puterinya agar ia bisa bicara pada Sonny dengan leluasa.
“Halo ...!” sapa Sonny begitu panggilan telepon dari Edi tersambung.
“Kamu bisa pulang ke Surabaya?” tanya Edi pelan.
“Masih banyak pekerjaan, Pa. Minggu depan baru bisa pulang ke Surabaya. Ada apa?” tanya Sonny.
“Papa mau, pernikahan kalian dipercepat. Minggu ini!” pinta Edi.
“Bukankah kita sudah sepakat untuk menikah dua tahun lagi? Aku masih belum menyelesaikan praktik dokter pertamaku, Pa. Masih harus ...”
“Nikah siri pun tidak apa-apa kalau memang status pernikahan akan menghalangi karirmu!” pinta Edi. Ia mencoba untuk tetap tenang meski dalam hatinya berkecamuk.
“Kenapa harus terburu-buru, Pa? Saya ...”
“Gimana nggak keburu-buru kalau kalian berdua saja sudah tidak bisa menahan diri?” sambar Edi.
“Maksud Papa?”
“Ayu hamil. Percepat pernikahan kalian! Papa tunggu kamu dua hari lagi. Papa akan siapkan semuanya di sini. Nggak bisa ditunda, Son. Perut Ayu lama-lama akan membesar," jawab Edi.
“Ha-hamil!?”
“Iya. Apa kamu sebagai tunangannya Ayu, tidak mau bertanggung jawab?” tanya Edi.
Hening.
“Sonny Pratama ...! Apa kamu dengar Papa?”
“Eh!? Dengar, Pa. Aku akan pulang ke Surabaya sore ini.”
“Baguslah.” Edi langsung mematikan panggilan teleponnya. Ia segera masuk kembali ke ruang tamu untuk menghampiri Rindu dan puterinya.
“Sonny akan segera pulang sore ini juga. Begitu dia sampai, langsung menikah saja! Papa akan persiapkan semuanya!” tutur Edi sambil menatap wajah Ayu.
Ayu masih terisak di tempatnya. Ia semakin merasa bersalah karena anak yang ia kandung bukanlah anak dari Sonny. Akankan Sonny menerima anak ini begitu saja? Ia sudah menghancurkan kesucian cinta yang selama ini mereka jaga. Ia tidak punya muka untuk bertemu dengan tunangannya itu.
“Pa, aku tidak mau menikah dengan Sonny,” tutur Ayu lirih.
Edi yang sedang menghubungi beberapa orang untuk membantu menikahkan puterinya, langsung memutar kepalanya menatap Ayu. “Apa? Kamu bilang apa? Dia sudah menghamili kamu dan kamu tidak mau menikah dengan dia, hah!?”
Ayu menarik napas dalam-dalam. “Ini bukan anak Sonny,” ucapnya lirih sambil mengumpulkan kekuatan untuk menerima hukuman dari ayahnya sendiri.
“APA!?” Edi semakin terpukul saat mengetahui jika puterinya hamil dengan pria lain. Ini benar-benar pukulan yang sangat besar baginya. Ia tidak menyangka jika puterinya yang ia anggap baik dengan segudang prestasi, ternyata terlibat dalam pergaulan bebas.
“Papa sudah sering bilang untuk menjauhi Arlita. Teman kamu yang satu itu, memang selalu memberikan pengaruh buruk. Tega sekali kamu melukai hati ayahmu seperti ini!” seru Edi.
“Pa, maafin Ayu ... ini semua nggak seperti yang ayah pikirkan.”
“Ayah dan bundamu ini kurang apa, Yu? Semua yang kamu minta, selalu kami berikan. Apa yang kurang? Materi, pendidikan, kasih sayang ... semuanya kami berikan untuk kamu. Kenapa kamu masih menjajakan diri di luar sana, hah!?” teriak Edi dengan mata memerah, penuh dengan kekecewaan terhadap puteri semata wayangnya itu.
Ayu semakin terisak mendengar kalimat terakhir yang terucap dari bibir ayahnya.
Edi menghela napas. Ia melangkah cepat ke arah dapur dan kembali ke hadapan Ayu dengan sebilah pisau di tangannya.
“Mas Edi ...! Tolong jangan lukai Ayu!” Rindu langsung bangkit dari sofa dan memeluk puterinya. Meski telah membuat orang tuanya terpukul, ia tetap sangat menyayangi puterinya itu. “Dia tetap anak kita, Mas. Jangan lukai dia!”
Edi menarik napas perlahan. Ia mengulurkan bagian tumpul pisau itu ke hadapan wajah Ayu. “Ayah tidak sanggup menahan semua aib keluarga ini, Yu. Ayah sangat malu. Keluarga kita begitu dihormati. Bagaimana jika semua orang tahu kalau puteri kesayangan ayah ini ternyata wanita jalang? Kamu sudah mencoreng nama baik keluarga. Tidak ada gunanya lagi ayahmu ini hidup karena sudah gagal. Daripada kamu berbuat seperti ini, lebih baik kamu bunuh Ayah!”
Ayu menengadahkan kepala sambil menggeleng. Ia terus menangis sambil menatap wajah papanya. Ia langsung menjatuhkan kepalanya tepat di punggung kaki ayahnya itu. “Maafin ayu, Yah! Ayu nggak mau kayak gini. Ayu nggak seperti yang ayah pikirkan. Ayu terpaksa melakukan ini karena orang itu lagi mabuk dan menodai Ayu. Ayu bukan wanita jalang seperti yang ayah bilang,” ucapnya sambil terisak.
Edi menarik napas dalam-dalam. “Kamu diperkosa oleh orang lain?”
Ayu mengangguk-anggukkan kepala.
“Kenapa nggak bilang dari awal? Kita bisa lapor ke polisi kalau kamu sudah mendapatkan pelecehan?”
“Ayu takut, Yah ...! Ayu malu ...!” lirih Ayu sambil terisak.
“Bilang ke Ayah. Siapa orang yang sudah berani melecehkan dan menghamili anak Ayah ini!”
Ayu masih terisak dan tak sanggup menyebut nama pria brengsek yang telah menodainya.
“Ayu, bilang ke kami! Kami pasti akan membantumu,” bisik Rindu sambil merengkuh pundak Ayu agar bangkit dari lantai.
Ayu menarik cairan di hidungnya sambil mengusap air mata. “Dia itu ... Nanda.”
“Nanda? Nanda anaknya Andre? Teman sekolah kamu yang bajingan itu?” tanya Edi.
Ayu hanya menitikan air mata mendengar pertanyaan dari Edi.
“Sudahlah. Kamu jangan nangis lagi! Aku akan temui Andre dan meminta pertanggungjawaban atas perbuatan puteranya itu!” Edi langsung melangkahkan kakinya keluar dari rumah. Ia menelepon seseorang sambil masuk ke dalam mobilnya.
((Bersambung...))