Satu bulan kemudian ...
Ayu menatap dua garis merah pada testpack di tangannya dengan tubuh gemetaran. Dia adalah gadis yang belum menikah dan tidak pernah melakukan hubungan berlebihan dengan Sonny yang telah menjadi tunangannya setelah berpacaran selama tujuh tahun.
“Aku harus gimana?” tubuh Ayu merosot ke lantai seiring dengan air matanya yang jatuh berderai membasahi pipinya. Ia terus mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga kesucian cintanya dengan baik. Rasa bersalah pada tunangannya, keluarganya dan sahabatnya ... kini telah menjadi selimut kelam yang akan mengawali penderitaan hidupnya.
Ayu berusaha untuk bangkit dari lantai kamar mandi setelah air matanya nyaris habis dan tidak bisa keluar lagi. Ia menyiram seluruh tubuhnya dengan air di kamar mandi. Membersihkan setiap inchi tubuhnya yang kini terasa sangat kotor. Ia terus menangis setiap kali menggosok tubuhnya yang begitu menjijikkan.
Ayu segera mengganti pakaiannya begitu ia sudah selesai mandi. Memoles wajahnya dengan make-up tipis dan bergegas keluar dari dalam kamarnya.
“Roro Ayu , mau ke mana malam-malam begini?” tanya Bunda Rindu yang melihat puterinya buru-buru melangkah keluar dari rumah.
“Eh!? Ada urusan, Bunda. Mau ketemu sama temen. Bahas kerjaan,” jawab Ayu berdalih. Ia segera berpamitan dan keluar dari dalam rumahnya.
Ayu mengendarai mobilnya perlahan menuju ke Virgina Regency. Ia langsung memarkirkan mobilnya begitu ia sampai di mansion milik keluarga Nanda.
“Malam, Tante ...!” sapa Ayu begitu seorang pelayan membukakan pintu untuknya. Ia langsung menghampiri Tante Nia, mama Nanda.
“Hei, Roro Ayu ...!? Gimana kabarnya? Sudah lama nggak main ke sini. Mau cari Nanda?”
Ayu mengangguk. “Ada hal penting yang mau aku bicarakan sama dia.”
“Nanda masih di atas. Jam segini, biasanya dia lagi siap-siap mau kencan sama pacarnya. Datengin aja ke kamarnya!”
“Tapi ...” Ayu menggigit bibir sambil menatap lantai dua rumah tersebut.
“Nggak papa. Keburu dia berangkat, nggak sempat bicara lagi sama Nanda. Dia suka marah kalau waktu kencannya diganggu.”
Ayu mengangguk. Ia melangkah perlahan menaiki anak tangga dan menghampiri pintu kamar Nanda. Nanda adalah sahabat baik Sonny. Berteman sejak kelas satu SMA hingga mereka bekerja, tentunya Ayu sudah sangat hafal dengan keadaan rumah pria itu karena sering berkumpul di sini setiap kali Sonny pulang dari Jakarta.
Tok ... tok ... tok ...!
KLEK!
Nanda tertegun saat melihat Ayu tiba-tiba sudah ada di depan kamarnya. Ia langsung tersenyum sambil melipat kedua tangan dengan tubuh bersandar di bibir pintu. “Tumben ke sini? Kangen sama aku? Pengen main lagi kayak malam itu? Ketagihan? Enak mana, punyaku atau punya Sonny?”
Ayu menatap kesal ke arah Nanda. “Sonny bukan cowok brengsek kayak kamu!”
Nanda manggut-manggut. “Iya. Aku percaya. Dia memang alim. Mau apa ke sini? Aku mau jalan sama Lita.” Ia menarik gagang pintu dan menutup pintu kamarnya dari luar.
Ayu memundurkan langkahnya agar Nanda tidak terlalu dekat dengannya. “Aku mau ngomong penting sama kamu.”
“Ngomong aja! Kamu punya waktu dua menit buat ngomong.” Ia menatap arloji di tangan kirinya.
“Nggak perlu selama itu. Aku cuma mau bilang kalau aku ... hamil.”
“Hahaha. Kamu hamil? Buat apa laporan ke aku? Emangnya aku dokter kandungan?” sahut Nanda sambil tertawa lebar.
“Ini anak kamu, Nan.”
Seketika, Nanda menghentikan tawanya. “Anakku?”
Ayu mengangguk.
Nanda menahan tawa sambil menatap wajah Ayu. “Udah banyak cewek yang ngaku-ngaku hamil anakku. Bisa aja, itu anak dari cowok lain. Kamu itu tunangannya Sonny. Mana ada yang bakal percaya kalau itu anakku. Kamu mau buat lelucon?”
“Aku nggak pernah ngelakuin hubungan seperti itu sama siapa pun selain kamu, Nan.”
“Kamu kira, aku percaya? Udahlah, nggak usah bikin lelucon di hadapanku. Nggak lucu, Ay! Kamu jangan pura-pura jadi cewek polos buat dapetin seorang Ananda Putera Perdanakusuma. Cowok paling ganteng, paling kaya dan paling populer di negeri ini. Siapa yang nggak mau jadi pasanganku, hah!? Jangan pakai trik bayi untuk mendapatkanku! Aku masih terlalu muda untuk jadi seorang ayah,” ucap Nanda penuh percaya diri. Ia langsung melangkah melewati tubuh Ayu begitu saja.
“Kamu nggak mau ngakuin anakmu sendiri, Nan?” seru Ayu .
Nanda memutar kepalanya menatap Ayu . “Aku ini masih muda. Nggak mungkin jadi ayah. Kalau memang dia anakku. Gugurkan aja! Toh, kita juga punya pasangan masing-masing,” sahutnya. Ia segera menuruni anak tangga dan bergegas keluar dari rumah karena sudah memiliki janji kencan dengan Arlita, kekasihnya yang juga sahabat baik Roro Ayu .
DEG!
Jantung Ayu berhenti berdetak begitu mendengar kalau Nanda justru memintanya menggugurkan kandungannya. Hatinya yang sudah luka, kini kembali dilukai oleh pria itu. Ia tidak tahu, apa yang harus ia lakukan saat ini. Bayi di dalam perutnya butuh seorang ayah, tapi ia tidak mungkin meminta pertanggungjawaban pada tunangan yang tidak pernah melakukan hubungan berlebihan dengannya.
Ayu kembali menitikan air mata sambil melangkah perlahan menuruni anak tangga rumah mewah tersebut.
“Ay, kamu kenapa?” tanya Tante Nia sambil menatap Ayu yang melangkah perlahan sambil menitikan air mata. “Nanda menyinggung kamu?”
“Eh!?” Ayu buru-buru mengusap air matanya. “Nggak papa, Tante. Ayu pamit pulang dulu!” Ia langsung berlari keluar dari dalam rumah tersebut dan masuk ke mobilnya.
Ayu menggenggam setir dan menjatuhkan kepalanya, kemudian terisak kembali karena Nanda tidak mau mengakui jika bayi yang ada di dalam perutnya adalah darah dagingnya. “Aku harus gimana?”
“Ayu , kamu kuat! Kamu kuat! Kalau Nanda nggak mau bertanggung jawab, nggak papa. Kamu punya pekerjaan, kamu nggak akan kesulitan menghidupi anakmu,” tutur Ayu mencoba menyemangati dirinya sendiri.
“Tapi gimana dengan keluargaku? Gimana kalau bunda dan ayah tahu kalau aku hamil? Aku harus gimana menghadapinya? Aku nggak mungkin bisa menyembunyikan kehamilanku ini terus-menerus,” gumam Ayu . Haruskah ia menggugurkan kandungannya sendiri?
Ayu menarik napas dalam-dalam dan menjalankan mobilnya perlahan tanpa arah hingga larut malam. Ia benar-benar menyesal telah pergi ke pesta ulang tahun Nanda malam itu. Jika waktu bisa diputar, ia ingin berdiam diri di rumah. Menghabiskan waktu untuk bercerita bersama Sonny meski hanya lewat panggilan video.
***
Satu minggu setelahnya ...
“Roro, bunda pinjam pemotong kuku kamu. Bunda lupa taruh punya bunda di mana.” Bunda Rindu masuk ke dalam kamar Ayu.
“Ambil aja di laci nakas!” sahut Ayu yang sedang bercermin sambil menyisir rambutnya.
Bunda Rindu langsung melangkah menghampiri meja nakas dan menarik laci tersebut. Ia mencari pemotong kuku di dalamnya. Namun, matanya tiba-tiba tertuju pada pregnancy test strips bergaris dua merah di sana. Ia meraih benda kecil itu dengan tangan gemetar.
Ayu melebarkan kelopak matanya saat ia teringat kalau ia juga meletakkan testpack ke dalam laci nakas. Ia buru-buru memutar tubuhnya dan berlari menuju ke sana untuk mencegah bundanya mendapatkan benda paling keramat yang ada di kamarnya saat ini.
DEG!
Terlambat. Bunda Rindu sudah memegang testpack itu di tangannya dengan tangan gemetar seperti terserang tremor.
“Bunda, aku ...”
“Kamu hamil?” tanya Bunda Rindu lirih.
“Bunda, aku bisa jelasin semuanya. Aku ...”
“KAMU HAMIL!?” Nada suara Bunda Rindu meninggi karena Ayu berusaha untuk berdalih dan tidak menjawab pertanyaannya.
Ayu terdiam dan menundukkan kepala. Ia meremas jemari tangannya sambil mengangguk kecil.
“Anak siapa? Sonny?” tanya Bunda Rindu.
Ayu tidak menjawab pertanyaan bundanya.
“Jawab, Ro! Kenapa kamu menyembunyikan kehamilan kamu? Kamu dan Sonny sudah bertunangan. Bukannya kalian sendiri yang sepakat untuk tidak menikah sebelum Sonny menyelesaikan koasnya?”
Ayu menundukkan kepala sambil menitikan air mata. Ia tidak sanggup mengungkapkan kebenaran di hadapan orang tuanya sendiri.
“Sonny tahu soal ini?”
Ayu menggeleng.
“Biar bunda yang ngomong langsung sama Sonny. Kalian harus menikah secepatnya!” tutur Bunda Rindu sambil melangkah keluar dari kamar Roro Ayu .
Ayu buru-buru mengejar langkah bundanya. Ia tidak ingin kalau bundanya meminta pertanggungjawaban pada Sonny dan membuat pria itu membencinya. “Bunda, tunggu ...!”
“Bunda, bunda ...! Dengerin Roro dulu! Ini bukan anaknya Sonny.”
“APA!?” Bunda Rindu menghentikan langkahnya. Tubuhnya seakan tersambar petir ribuan volt saat mendengar kalau bayi yang dikandung oleh Roro Ayu bukanlah anak dari tunangannya. Ia selalu berusaha menjadi orang tua yang baik untuk puterinya. Ia benar-benar merasa gagal saat mengetahui kalau puteri kebanggaannya telah melakukan perbuatan yang begitu hina. Sudah bertunangan, tapi malah hamil dengan pria lain.
“BUNDA ...!” seru Ayu saat tubuh Bunda Rindu tiba-tiba merosot ke lantai. Ia langsung menangkap tubuh bundanya sambil menangis. “Maafin Ay, Bunda ...!” bisiknya lirih sambil menitikan air mata.
“Tell me ...! Siapa ayah dari anak ini?” tanya Bunda Rindu di sisa-sisa tenaganya yang nyaris sirna karena pukulan yang begitu besar dari puteri semata wayangnya.
Ayu terisak sambil memeluk tubuh bundanya. Ia tidak sanggup mengatakan siapa ayah dari bayi yang sedang ia kandung saat ini karena Nanda pun sudah menolak kehadirannya. “Aku nggak tahu, Bunda ...!” lirihnya penuh luka.
((Bersambung...))