webnovel

10. ANAK YANG TIDAK DIINGINKAN

"Apa kamu sedang menghina dirimu sendiri?"

Alan jadi benar-benar diam menatapi wanita dingin yang mendongak. Ia berpikir bagian mana dari ucapannya yang bisa menjadi kesimpulan seperti itu?

Tapi, apa itu penting? Well, wanita dingin di hadapannya ini memang memiliki jawaban tersendiri atas segala hal yang kadang sulit masuk di akal.

Sampai, bibir Alan mengulum senyum samar, "aku tak menemukan letak hinaan dalam kalimatku, Nona Larson."

"Kamu tau aku hanya akan tinggal 3 hari dua malam lagi disini bukan?" Alan mengangguk, "dan aku hanya membutuhkan Joe mengatakan iya lalu aku akan pergi dengan berkas yang kamu tanda tangani."

Sekali lagi Alan mengangguk.

"Jadi, aku tidak perlu bertaruh lebih dari apa yang sudah aku pertaruhkan."

Nara berdiri wajah dinginya bahkan tak bergeming, "so, aku tak butuh pertaruhan bodoh lain karena aku akan dapat ya dari putramu sebelum dua malamku berahir."

"Apa kamu akan membuat putraku makin tertarik padamu?"

Nara menghentikan langkah lalu menatap tajam pria yang wajah santainya membuat Nara menutup mata sesaat. Saat matanya terbuka lagi, ia berjalan dan berhenti begitu dekat dengan Alan.

"Bukan aku yang membuat permainan ini, Tuan Sulivan," Nara menunjuk dada Alan, "tapi kamu."

"Apa menjadi kekasihku begitu buruk?"

Nara menatapi duda beranak satu yang bisa membuat rasanya-- entahlah, up side down?

"Aku tidak ingin menjalin hubungan apalagi menggunakan hati, Tuan Sulivan. Apa jawabanku cukup jelas untukmu?"

"Kalau begitu ayo berhubungan fisik saja, no attachment, no string, no feeling," Nara menarik dalam nafasnya tak percaya, "hanya menikmati tubuh."

Alan menyusuri lengan berbalut satin tipis Nara begitu hati-hati.

"Why?"

Alan yang hendak mencium pundak Nara menatap wanita dingin yang wajahnya sama sekali tak berubah.

"Karena kamu tak butuh keluarga dan Joe tak ingin aku membawa pulang wanita lagi."

"Kamu bisa membawa mereka ke hotel or something, so why are you so persistent?"

Alan menarik dalam nafasnya, bibirnya yang mendekat menjilat leher Nara yang lalu digigitnya pelan sampai Nara mengeluh.

"Karena mereka tidak mau meninggalkan putraku."

Nara jadi diam untuk jawaban Alan.

"Apa kini kau paham, Nona?" Alan menjilat lagi leher Nara, hembusan nafasnya membuat rambut-rambut halus Nara meremang.

"Kalau begitu, carilah seorang mommy untuk Joe ugh...,"

Alan mendekatkan bibirnya setelah menyesap dada Nara yang masih terbungkus gaun tidur, "Joe tidak ingin mommy, ia ingin mama."

"Bisakah kau berhenti?" ucap Nara menyentuh pundak Alan yang tangan dan bibirnya sudah melanglang buana kemanapun ia mau, "dan lagi, memang apa bedanya kedua kalimat itu? Kau tinggal meminta wanitamu tak mengganggu Joe dan suruh mereka menyebut dirinya mama-"

Nara memegang pundak pria yang mengangkatnya begitu mudah lalu menggeleng pada saat Alan melirik ranjang.

"lagipula aku tidak menemukan pertaruhan yang akan sulit kumenangkan, Tuan Sulivan, jadi-"

"Jadi ayo kita tidur bersama, Nona Larson."

Manik hitam pekat Nara melebar apalagi saat senyum penuh percaya diri Alan mengembang, "aku tidak mengajakmu taruhan untuk berkas bodoh yang harus kutanda tangani, Nona Larson. Tetapi pertaruhan untuk kelanjutan hubungan kita setelah aku menyentuhmu."

Nara yang tubuhnya dibaringkan bahkan tak mampu menjawab, sampai Alan membuka kaosnya, "apa tubuhku membuatmu tertarik?"

Alan tersenyum samar saat Nara mengalihkan pandangan matanya. Wanita dingin yang tampak berpikir ini, memejamkan matanya saat jemari Alan menyusuri perut lalu naik kebagian dada. Telapak tangan Alan rasanya begitu pas saat menangkup payudara yang masih tersimpan di bawah selembar kain tipis.

"Aku tidak bisa, Alan."

"Why?"

Nara menarik dalam nafasnya, "karena aku tak percaya pada diriku sendiri."

"And why is that, kau takut jatuh cinta padaku?" Alan menyentuh pipi Nara, memaksa Nara menatap dirinya, "Nara?"

"Aku hanya benci ditinggal sendiri. Ibuku, ayahku, adikku. Mereka meninggalkanku sendiri."

"Juga tunanganmu?" Nara mendengus tak menolak tapi juga tidak mengiyakan, "apa kau masih mencintainya?"

Nara menatap Alan tajam, matanya terluka, luka yang membuat Alan menyesal mengatakan apa yang ia ucapkan.

"Maaf," tulus ucapan Alan bahkan terdengar di telinga Nara, "but, you know what, Nona Larson? obat paling manjur karena patah hati adalah cinta baru."

"Yeah, new love. Dan apa kau merayu gadis-gadismu seperti ini? It's to cheap."

Alan tertawa mendengar ejekan yang begitu terang-terangan dilontarkan Nara, tapi ia sama sekali tak tersinggung.

"Well, mereka mendapat hadiah mahal," canda Alan.

"Dan aku bisa membeli sendiri semua yang biasa kau belikan untuk mereka."

"Aku tahu itu."

"Why are you so persistent anyway? aku tahu di luar sana banyak wanita yang mengantri untuk jadi mama bagi Joe."

"Karena hanya kamu wanita yang membuatku ingin menunggu, Nona Larson."

Alan mendekatkan tubuhnya, ia membuat Nara kaget merasakan satu bagian tubuh Alan yang terasa begitu keras bahkan di balik celananya itu dan itu bahkan lebih keras dibanding saat tangannya yang tak sengaja menyentuh beberapa saat lalu.

"Aku akan menyesali ini."

Alan tersenyum untuk ucapan jujur wanita dingin yang membiarkan dirinya mengecup apa yang ia ingin sentuh. Alan menjajarkan pandanganya dengan Nara,

"Katakan itu setelah aku menyentuhmu, Nona Larson."

Nara membiarkan ceruk lehernya disentuh bibir dan lidah Alan. Sampai tangan yang rasanya tak akan pernah melupakan jemari dingin nan kaku milik Ais menarik rambut tebal Alan yang tak lurus juga tidak ikal.

"Jangan meninggalkan tanda apapun, cukup di bawah sana."

"Itu akan membosankan, Nona Larson," jawab Alan menyesap puting keras Nara yang tak mampu menahan eluhan.

Kamar dingin yang penghangatnya menyala itu dipenuhi gairah juga eluhan, keringat bercucuran, lalu menyatu bahkan tak lagi bisa dibedakan milik siapa.

Alan berkali-kali menyentuh wanita dingin yang ternyata begitu liar di atas ranjang, ranjangnya.

Itu membuat Alan tak mampu berhenti. Ia tak mau berhenti, ia tidak ingin berhenti!

Alan terus menyentuh wanita yang tak mau Alan meninggalkan tanda apapun di badannya kecuali disatu-satunya tempat yang diijinkan Nara.

Meskipun, wanita dingin yang jadi liar itu meninggalkan banyak goresan kuku di punggung juga lengan Alan yang sesekali mengernyitkan mata. Tapi, lelaki dengan hasrat yang tersalurkan ini memilih tak perduli dan lebih fokus pada penyatuan mereka yang rasanya tak pernah cukup. Mengulangnya berkali-kali.

Lagi dan lagi dan lagi.

Jika tak ingat ada tubuh lain yang mungkin akan bangun, rasanya Alan tak akan setuju pada kata 'cukup' yang beberapa kali diucapkan Nara. Begitupun Nara yang rasanya mudah sekali menyerah pada sentuhan Alan.

Meski, eluhan juga erangan tak lagi terdengar dalam kamar Alan, nafas yang memburu masih terasa di udara. Sampai Alan menjauhkan selangkangannya dari tautan paha Nara yang rasanya masih bisa merasakan tubuhnya dimasuki benda asing.

Dua pasang mata yang saling menatap seolah tak menyangka dengan gejolak gila yang rasanya begitu sulit diredam dalam diam. Diakhiri dengan kecupan yang rasanya begitu lembut, menenangkan, dan terpuaskan namun kurang. Sampai, Alan mengangkat tubuhnya dari atas tubuh Nara lalu menarik tubuh Nara dalam dekapan.

"Come here," ucap Alan pada Nara yang menurut tanpa protes.

Meski tak ingin mengatakan, Nara sadar kehangatan tubuh Alan sama sekali tak terasa buruk, sampai Alan yang meraih dagunya mengecup bibir merah yang gairahnya masih begitu terasa.

"Masih ingin menolak tawaranku, Nona Larson?"

Nara hanya bisa memandangi wajah Alan yang-- jadi setakmenyebalkan sebelumnya. Apalagi saat mata ash itu seakan ingin menyimpan dirinya dengan senyum yang rasanya ingin Nara sentuh.

"Aku bersyukur Iori sedang pergi."

Ucapan penuh senyum Alan membuat tubuh Nara menegang, "apa aku mengatakan hal yang salah?"

Nara menggeleng lalu mengecup bibir Alan lalu menjauhkan tubuhnya dari rasa hangat apalagi saat ia turun, tak perduli pada tatapan lelaki yang melihat seluruh tubuhnya sedang mencari gaun tidur.

"Aku hanya tak ingin Joe melihatku di kamarmu."

Meski ingin protes, Alan mengangguk apalagi wanita dingin yang ternyata begitu liar di atas ranjang mencium bibirnya sekali lagi.

"Dan lihatlah, kamu yang meninggalkanku sendirian, Nona."

Nara mematung beberapa lama sampai Alan mengecup keningnya, "aku hanya bercanda, Darling," Alan mengusap pipi Nara lalu membiarkan wanita dingin itu pergi meninggalkan dirinya dalam kamar hangat yang jadi benar-benar terasa sepi.

"Ditinggal sendiri setelah bercinta ternyata sangat tak mengenakkan," ucap duda beranak satu yang menyusuri ranjang hangat di samping tubuhnya, senyum tercetak di bibir Alan saat mendapati aroma wanita dingin yang masih begitu terasa.

"Sebentar saja."

Alan memejamkan mata bukan karena tubuhnya lelah tapi karena aroma menenangkan yang membuat tubuhnya rileks. Seluruh ototnya tenang. Sementara wanita dingin yang rasanya tak mampu merasakan kakinya sendiri berjalan pelan sampai ia mendengar suara isak yang membuat kakinya melangkah cepat.

Di atas kasur, tubuh kecil Joe bergetar dengan isak yang entah sejak kapan didengar ranjang dan dinding bisu. Membuat wanita dingin yang membuka pintu, langsung menghampiri bocah cerewet yang matanya sembab, bahkan pipi tembem Joe yang enak dipegang warnanya begitu merah.

Tangan Joe langsung terjulur mengetahui siapa yang mendekat, bocah yang tampak begitu lega dalam pelukan Nara ini terus terisak bahkan saat jemari lembut Nara mengusapi punggungnya.

"Onty jangan pergi... Onty jangan tinggalin aku... Onty jangan pergi...."

Untaian kalimat yang bermakna sama, terus-terusan terdengar dari mulut kecil yang suka sekali berceloteh. Tapi, baru kali ini Nara melihat bocah nakal yang cerewet ini menangis sepenuh hatinya.

Biasanya Joe hanya akan menggembungkan pipi saat ia tak suka pada sesuatu, lalu mengatakan ia tak suka. Bocah kecil dalam gendongannya tak pernah sekalipun menangis. Pecinta cheesecake ini hanya menunjukkan kekesalan.

Namun sekarang, tangis Joe yang sepenuh hati diperlihatkannya bersama untaian kalimat yang membuat Nara mengingat anak kecil lain dari masa lalu yang selalu melakukan hal sama. Hanya saja anak itu tak pernah menangis dan Iori selalu jadi sandarannya. 

Rasanya Nara sudah menyesali apa yang baru saja ia lakukan bersama Alan.

"Onty jangan pergi... Jangan tinggalkan aku... Jangan pergi...."

Nara hanya bisa mengusapi punggung Joe tanpa mampu menjawab atau mengatakan apapun. Ia takut tak mampu memenuhi apapun yang mungkin akan membuat Joe berhenti menangis. Kepalanya pun tak mengangguk.

Satu-satunya jawaban Nara hanya usapan lembut di punggung Joe.

Sementara di tempat lain.

Pelayan tua yang tampilannya sama sekali tak menimbulkan kecurigaan, mencabut USB dari komputer setelah mengambil apapun yang ia inginkan.

Pelayan tua yang setia itu, membalas sapaan tiap orang yang melihatnya berjalan menjauhi kantor lalu menaiki lift untuk melihat bocah kecil yang duduk terdiam di pojok ruangan menatapi makanan di atas meja dalam bisu.

Sorot mata bocah lelaki yang begitu hidup saat pertama kali ia temui entah menghilang ke mana dan itu membuat rahang Iori semakin keras terlihat.

"Kau masih belum menemukan keluarga anak itu?"

"Keluarganya ada disini, Carter. Tapi tak ada yang mau mengambilnya."

"Bagaimana dengan nenek dari pihak ibu?"

"Huh...! Kau sedang bertanya apa mengejekku? Wanita kaya yang statusnya jelas itu terang-terangan mengatakan ia tak punya hubungan apapun dengan ibu dan anak malang itu! Bahkan ia mengganti nomer ponsel dan telepon rumahnya."

Iori hanya menganggukkan kepalanya pada petugas berseragam dan seorang dokter yang membalas, "siapa?"

"Entahlah, keluarga pasien mungkin," ucap dokter Carter tak menyadari di tong sampah ada jas dengan namanya meski dalam saku.

PING!

We found them. What should we do?

Send: Nothing. Itu bukan tugas kita untuk memutuskan.