webnovel

11. PANDANGAN TAK TERBACA

Wanita dingin yang melempar laporan Iori ke atas meja itu langsung berdiri. Sementara, pelayan tua yang tau apa yang harus ia lakukan menghampiri lemari, matan hazelya yang tajam memilih pakaian yang langsung ia letakkan di atas kasur. Bahkan pakaian dalam sang majikan pun ia tata di tempat sama tanpa merasa risih.

Bunyi shower menyala, membuat Iori yang sudah merapikan informasi yang sudah ia kumpulkan berdiri lalu memberi hormat sebelum keluar. Ia tidak perduli sang majikan melihat ataupun tidak.

Ujung mata pelayan setia yang melihat berkas lain, tersenyum. Tahu sang majikan sudah mendapatkan apa yang ia mau meski hari belum genap satu minggu. Walaupun, dalam benaknya terpikir hal apa yang melandasi dua orang yang saling bertaruh itu mempercepat perjanjian.

Namun, ada saat dimana ia tak perlu mengetahui apa yang dilakukan sang majikan ataupun mencari tahu alasannya karena tugasnya hanya melayani dan mendengar. Selebih itu akan jadi masalah pribadi.

Iori menatap bocah kecil yang begitu suka berceloteh sedang bercengkrama dengan sang ayah. Pria muda yang memiliki ketertarikan pada sang majikan bahkan tak ditutupi Alan sama sekali dan mata awas itu tentu bisa melihat sudah setua apapun usianya.

"Apa kau tak pernah tidur, Iori?"

Iori hanya menjawab tanya Alan dengan senyum lalu mengusap kepala Joe yang mendongak.

Mata berbinar Joe membuat pelayan tua itu mengingat bocah lain yang duduk di pojokan ruang dalam bisu. Meskipun, sekarang Iori sedang tersenyum ramah pada bocah kecil yang mengernyitkan dahi, 'anak-anak dan isting mereka.'

Iori sekali lagi mengusap kepala Joe, "Apa kau akan pergi lagi, Iori?"

"Iya, Tuan Kecil."

Alan yang tau Iori sedang menunggu majikannya menatapi pintu tertutup, "nona ada urusan yang tak bisa diwakilkan, Tuan Silvan," seolah menjawab tanya Alan, Iori mengangguk lalu meninggalkan dua ayah dan anak yang saling menatap.

"Tidakkah ini waktunya kamu tidur siang?"

"Aku tidak ngantuk, Daddy."

"Ow, too bad, padahal Daddy juga ingin tidur."

Joe mandongak menatapi wajah Alan, "sungguh?"

Alan mengangguk semangat lalu menguap-tidak menguap sesungguhnya- dan entah kenapa anak kecil yang masih menatapinya ikut menguap begitu lebar dan tangan Alan langsung menutupi mulut merah yang rasanya bisa dimasuki potongan donat dalam satu gigitan--sayangnya Joe tak suka donat- ia suka cheesecake.

"Tapi -- tapi aku mau main sama onty Nara, Daddy."

Alan tersenyum lalu menangkup pipi gembil Joe, "kamu sudah main dengan onty seharian ini, onty Nara pasti juga capek dan butuh istirahat, no?"

Joe yang jadi diam, berpikir, ahirnya mengangguk menatapi pintu kamar Nara yang tertutup, "but, kita bisa mengucapkan selamat tidur pada onty, is that sound good?"

Mata Joe berbinar, kaki kecilnya langsung berlari membuka pintu diikuti Alan yang jadi diam melihat punggung berbalut handuk wanita dingin yang menoleh, "Onty...!"

Nara langsung membopong Joe yang mengulurkan tangan sambil berlari, ia langsung dijatuhi kecupan bibir kecil yang meninggalkan Saliva lengket, "Onty--Onty, aku sama daddy mau ngucapin selamat malam sama Onty."

Dahi Nara berkerut melihat seterang apa matahari di luar meski dingin merajai. Namun, wanita dingin yang mengangguk ini mengecup pipi Joe yang enak dipegang satu-satu, "have a sweet dream's, Joe."

Senyum Joe begitu lebar dengan anggukan "Ng!" lalu merosot berdiri di atas ubin setelah Nara meletakan tubuh kecilnya.

"Kamu ke kamar dulu, ya?" ucap Alan mengusap kepala kecil yang mengangguk lalu berlari dengan lambaian tangan yang dibalas Nara.

"Ngh..., apa yang kamu lakukan, Tuan Sulivan?"

Alan makin meremas dada Nara yang tersembunyi dibalik handuk tebal. Bibirnya mengecupi leher harum yang membuat kepalanya seakan dipenuhi kabut, "kamu mau kemana?"

Suara berat Alan membuat Nara membalikan badan lalu menahan bibir Alan yang sudah begitu dekat dengan bibirnya, "besok aku sudah kembali."

Alan memegang jemari Nara yang ia kecupi, "tak bisakah kamu menambah waktu untukku?"

"Dan kamu akan meminta hal sama dihari berikutnya."

Alan tertawa mendengar wanita dingin di hadapannya tetap memasang wajah tak berubah sampai bibirnya menyesapi ceruk dingin dan masih lembab milik Nara yang membiarkan Alan mengecupi apapun yang ingin lelaki ini sentuh.

"Joe akan merindukanmu." Nara menggeleng, "buat dia melupakanku, Alan."

Alan menatap manik mata hitam pekat yang rasanya lebih gelap dari kemarin, "bagaimana caranya? Dia anak nakal yang pintar dan akan terus ingat apapun yang ia sukai," Alan mengusap kelopak mata Nara, "anakku tak akan bisa memilih antara kamu dan cheesecake."

"Kamu ayahnya, Alan. No attachment, no string, no feeling. Remember?" ucapan Nara membuat pria yang masih memeluk tubuhnya ini diam, "let's meet again to have sex."

Nara, mengecup bibir Alan yang jadi lapar dan menyusupkan lidahnya pada mulut Nara. Alan seolah protes pada kalimat Nara. Namun, ia sendiri yang membuat pertaruhan seperti itu, bukan? Dan wanita dingin dalam pelukannya ini tak akan mundur ataupun maju, "ditinggalkan sendiri, kenapa rasanya setakenak ini?"

"Apa kamu jadi duda karena meninggalkan istrimu?"

Alan tertawa mendengar tanya Nara yang sungguh tanpa rasa, "Darling, apa kau sedang menggali luka lamaku?"

"Oh, sorry i didn't Mean that way."

Sekali lagi Alan mengecup bibir Nara. Entah kenapa tatapan pria yang jadi kurang menyebalkan ini, jadi melembut begitupun sentuhannya, "if you feel sorry, let's have dinner tonight," Nara hanya diam, "please, sebelum kamu benar-benar kembali pada apa yang kamu sukai."

Nara menarik nafasnya dalam lalu mengangguk, "you know what, Tuan Sulivan? Aku mulai berpikir kamu sungguh lalaki yang harus kujauhi."

"Karena aku pandai memanfaatkan situasi?"

"No, karena kamu licik."

Alan tertawa keras sampai Nara menyentuh garis tawanya dalam diam, "apa kau jadi menyesal mengataiku licik, Nona?" Nara menggeleng, "lalu?"

Nara menatap Alan ragu, sampai Alan mengangkatnya dan membaringkan tubuh berbalut sehelai handuk, ke atas ranjang, "katakan atau aku akan menyentuhmu sekarang juga."

Manik mata hitam pekat dengan pinggiran coklat Nara membesar, merasakan jemari Alan menyusupi pahanya begitu mudah bahkan jika mau, Alan hanya harus menyibak ikatan handuk di tubuh Nara untuk menyesapi payudaranya. Tapi, Alan yang memang hanya ingin menggoda, tersenyum saat Nara berucap, "kemarin aku bicara dengan Joe, ia bisa memanggilku mama asal ia mau bilang ya."

Mata Alan membulat mendengar kejujuran Nara, ia menggigit leher wanita dingin yang mengeluh antara sakit dan rasa lain, "well, aku dapat bayaranku so kita impas," Alan menjilati bekas giginya di pundak Nara. Wanita dingin yang tak mau ditandai itu mengusap kepala Alan yang jadi tersenyum, "apa kamu harus pergi?"

Nara menatap manik ash yang menatapinya lalu mengangguk, "karena itu jauhkan jarimu dari pahaku," Alan menatapi wanita dingin yang tampak berpikir, sorot mata Nara membuat Alan menunggu karena wanita di bawanya ini nampaknya belum selesai dengan ucapan--perintahnya, "please."

Alan yang menunggu jadi diam lalu tertawa geli bahkan sesuatu dalam perutnya tergelitik. Wanita di bawahnya memohon dengan tatapan tajam, wajah tanpa ekspresi, dan suara dingin.

Nara tidak tersinggung tapi, ia jadi membenarkan kalau dirinya memang tak bisa bermanja. Ia juga perempuan yang tak bisa bersikap manis sekalipun itu niatnya.

"Have a save trip, Nona Larson."

*

Iori melirik nona besarnya yang jadi diam.

Bukan hal biasa tapi, Nara benar-benar menutup rapat mulutnya. Bahkan tak mengajak Iori bicara di sepanjang jalan, matanya yang menatap keluar seolah melayang entah ke mana.

"Iori," pelayan setia yang sedang membelokan mobil itu, melihat sang majikan dari windowrear, "apa menurutmu aku bisa memanjakan seseorang, sementara bersikap manja saja aku tidak bisa?"

Manik mata Iori membesar meski hanya sesaat, "manusia bisa melakukan suatu hal karena belajar terlebih dahulu. Tapi aku, meski sudah berusaha tetap tidak bisa menunjukan sikap manis. Apa menurutmu orang sepertiku mampu merawat anak itu?"

"Nona, saya tak mengerti manja dan manis seperti apa yang sedang anda pikirkan? Tapi, bagi saya, Nona adalah anak paling manis yang saya kenal."

Wanita dingin yang bertukar pandang dengan pelayan tuanya itu memejamkan mata, tahu pria tua yang tampak tak berubah meski sudah sekian tahun ini selalu jujur padanya. Tingkatan manis Iori sungguh di level yang berbeda.

"Nona."

"Hmm?"

"Apa yang akan anda lakukan pada mereka?"

Wanita dingin yang matanya tetap terpejam itu bergetar, "aku hanya ingin tahu segalanya Iori, kenapa adikku memilih mati setelah membunuh suaminya."

"Jika anda sudah tahu, apa yang akan anda lakukan?"

Nara tetap menutup mata, "entahlah, tidakkah untuk melakukan sesuatu aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi?"

Pria tua yang memelankan laju mobil menoleh pada jalanan padat merayap dijalur berlawanan, "apa di kota kecil ini banyak turis dan pelancong?"

"Seperti kamu dan aku? Tapi kita akan kembali besok," Nara membuka matanya, "setidaknya kita keluar dari rumah Sulivan terlebih dulu."

"Saya akan merindukan celoteh Joe." Nara menatap pelayan setia yang mata dan bibirnya tersenyum, "apa yang kau harapkan, Iori?"

"Tidak ada, Nona Besar."

Nara menatap Iori beberapa lama sampai ia menatap berkas dalam pangkuan, "kenapa mereka hanya memberinya nama Rei?"

"Setidaknya anak nona Ais memiliki nama untuk dipanggil, Nona."

Nara menghembuskan nafasnya sedikit lebih keras, "bagaimana dengan wanita itu?"

Iori berpikir sejenak, "setelah mengganti nomer telepon, ia dan suaminya tetap mengurus liburan bulan madu mereka ke Asia."

"Masih wanita yang sama."

Iori mengangguk, "indeed, Ma'am."

Setelahnya, mobil kembali sepi sampai lajunya berhenti. Iori yang turun membuka pintu untuk sang majikan yang langkahnya bahkan begitu dingin. Kedatangan keduanya disambut sang direktur yang bahkan memberikan senyum ramah yang membuat beberapa pegawai rumah perawatan mental risih.

"Siapa?" Tanya Rima pada wanita tua berambut merah yang tak mengenali pria tua yang kemarin menabraknya.

"Tidakkah ia tampan?"

Mendengar itu Rima yang baru datang menatapi punggung sang direktur yang bahkan membungkuk-bungkuk pada perempuan yang punggungnya bahkan memancarkan hawa dingin, "jangan katakan wanita itu yang akan membawa bocah malang kita."

Roxanne melirik sahabatnya, "oh, ayolah, Rima. Kau tak lihat seberapa dalam bungkukan punggung direktur? Anak malang itu akan memiliki apa yang tak ia miliki selama ini."

Mendengar itu Rima mendengus kesal, "aku heran bagaimana kau menjadi perawat dengan atitude-mu ini."

"Aku pun heran, bagaimana aku bertahan selama ini, my friend," Roxanne menepuk bahu Rima yang masih menatapi punggung wanita dingin yang menunggu lift terbuka, "we just have to do what we paid for, Rima, setelah itu biarkan takdir yang menuntun."

Rima menarik nafasnya dalam, "jika uang saja cukup, tak akan ada anak yang lari dari rumah hanya karena merasa kesepian."

"Yeah, yeah, dan anak-anak itu akan berahir di sini karena mereka membutuhkan uang. Hidup memang adil sekali."

Rima tersenyum kecut mendengar ejekan dari nada Roxanne karena sahabatnya ini benar, 'what a fair life.'

Dokter Carter berdiri saat pintu dibuka sang direktur, matanya langsung memandangi wanita bermanik hitam yang bahkan lebih pekat dari malam, "mari, Nona Larson."

'Larson?' Carter yang memang baru tau siapa yang akan menjemput bocah lelaki yang duduk diam di sampingnya ini menatapi sang direktur. Matanya lalu jatuh pada lelaki tua yang membungkukkan badan, menyapanya.

"Rei," panggil sang direktur, dengan cepat tangan Carter menahan lengan sang direkturnya yang hendak menyentuh pundak Rei. Bocah yang badannya jadi tegang, "ah, aku lupa."

Carter melepas tangan sang direktur yang memberi senyum kaku pada wanita dingin yang memperhatikan dalam diam, "bisa kita bicara, Pak Direktur?"

Pria bertubuh tambun yang menatapi salah satu bawahnya itu mengangguk, lalu menileh lada Nara, "kami tinggal sebentar, Nona Larson," pamit sang direktur sementara Carter sudah berjalan terlebih dahulu.

Iori menunjukan senyum saat Carter membungkuk, mata awasnya masih bisa melihat tatapan Carter yang melihat sang majikan. Wanita dingin yang tak akan perduli dengan penilaian dari sang dokter muda pada dirinya.

Ruangan jadi sepi setelah pintu kembali ditutup. Bocah kecil bermata biru tanpa suara yang duduk diam menatapi lantai. Ia bisa mendengar langkah pelan dari sepatu warna merah yang berhenti di titik tatapannya. Sementara, pelayan setia mengawasi dari tempatnya berdiri.

Rasanya, seberapa lamapun Nara berdiri, Rei tak akan mengalihkan pandangannya dari heel yang ia pakai. Sampai ia memutuskan menjajarkan kepala dengan bocah kecil yang menutup rapat mulutnya.

Wajah Ais langsung terlintas saat ia menatapi Rei, seolah bocah kecil ini hanya split image sang adik. Bahkan, Nara tak menemukan jejak Hans sama sekali dalam wajah bisu yang ada di hadapannya ini.

Hidung kecil, mata lebar berwarna biru, bibir merah, rambut pirang, pipi yang--tirus.

Sementara Rei yang terus menutup mulutnya rapat, matanya memperhatikan wanita asing yang duduk di hadapan. Wanita itu tidak tersenyum atau mengatainya anak malang seperti wanita-wanita berseragam yang melihatnya dengan tatapan--entah apa namanya- tapi, bocah kecil ini tak suka ditatap seperti itu.

Namun, wanita dihadapannya ini hanya diam. Rei bahkan tak bisa menemukan kata apapun dalam wajah dan mata hitam pekat yang memandangnya.

"Apa kamu suka kereta, Rei?"

Manik mata biru yang kehilangan cahayanya ini, berkilat meski hanya sesaat saja. Namun, mata tua Iori yang terus mengawasi dari tempatnya berdiri bisa melihat dan senyum samar pun tercipta di bibirnya.