webnovel

Cachtice Castle : Blood Countess de Ecsed

Auteur: Risa Bluesaphier
Histoire
Terminé · 67.9K Affichage
  • 119 Shc
    Contenu
  • audimat
  • NO.200+
    SOUTIEN
Synopsis

Sinopsis Sebagai pria bangsawan dengan gelar ksatria pedang agung yang cukup disegani pada banyak medan pertempuran, Lorant sering menjadi bahan pembicaraan gadis-gadis bangsawan. Wajahnya yang memiliki tulang rahang tegas, dengan hidung bagaikan terpahat sempurna yang memisahkan kedua mata coklat setajam elang berbingkai alis berbentuk golok tebal, membuatnya sangat berkharisma. Tubuh atletisnya yang dipenuhi guratan luka akibat perang, justru semakin membuatnya terlihat gagah. Bahkan para gadis sering membual bahwa dia tahu berapa jumlah bekas luka yang ada di tubuh Lorant, untuk menimbulkan asumsi bahwa dirinya cukup intim dengan Lorant. Tetapi Lorant justru mencintai Benca, gadis biasa yang tinggal terisolir di tepi hutan selama delapanbelas tahun. Hubungan cinta mereka menghasilkan dua orang anak kembar, Lovisa dan Edvin. Lorant tidak menyangka kisah cintanya bersama Benca merupakan awal perjuangan panjang dan pertarungan mental yang kerap membuatnya frustasi. Selain harus menghadapi kecemburuan Ivett, wanita bangsawan yang telah dijodohkan dengannya dan berusaha mati-matian untuk melenyapkan Benca dengan cara apapun, Lorant juga harus menerima kenyataan, bahwa Benca adalah putri kandung dari bibinya sendiri, seorang wanita bangsawan kelas atas penganut satanisme yang sering melakukan ritual berupa mandi darah perawan, dan telah menculik Lovisa, untuk dijadikan korban ritual. Dengan segala kemampuannya, Lorant berusaha melindungi dua wanita yang paling dicintai dalam hidupnya dari cengkraman bibi sekaligus ibu mertuanya yang haus darah.

Chapter 11. Penggerebekan, 30 Desember 1610

Lorant menyerbu ke dalam kastil seperti kesetanan, dia mendobrak setiap pintu di ruang bawah tanah, di sana terdapat banyak korban dengan kondisi yang sangat mengenaskan.

Seorang gadis tubuhnya berkedut bersiap meregang nyawa dengan luka sayatan di nadi pergelangan tangan dan lehernya. Bau anyir menyeruak tajam membuat dirinya sesak. Tetapi yang membuatnya lebih sulit bernafas adalah keberadaan Lovisa dan Benca yang belum diketahui, mereka diduga berada diantara para korban.

"Zulu, cepat ambil air, beri wanita ini minum! Fredo cepat bawa tandunya ke mari, angkat wanita ini, dan berikan pertolongan, mungkin dia masih bisa diselamatkan. Hugo suruh yang lainnya memeriksa ruangan di sebelah, gadis ini bilang ada lebih banyak korban di sana!" Gyorgy sebagai orang yang diberi mandat oleh Raja Matyas untuk melakukan penyerbuan, memberikan perintah dengan kalap.

Sementara Lorant sudah tidak lagi bisa mendengar perintah Gyorgy. Dia memang sering dipilih sebagai pendamping bagi Gyorgy dalam banyak peperangan, namun dalam kasus ini, tanpa diminta sekalipun dia akan dengan senang hati melakukannya. Karena baginya, ini adalah perangnya.

"Arpad, apakah kamu menemukannya?" Lorant langsung berteriak saat dia melihat adik sepupu yang mirip dengan dirinya. Arpad berlari melintas dengan tidak kalah kalap dan khawatir seperti Lorant.

Yang ditegur hanya menatap sebentar, lalu menjawab sambil berlari, "Aku akan mencarinya ke arah sana, sebaiknya kamu ke arah berlawanan. Kita berpencar."

Lorant langsung berlari ke arah yang ditunjuk oleh Arpad, "Segera beritahu aku jika kamu menemukannya!" Lorant memberi perintah kepada Arpad.

"Lakukan hal yang sama jika kamu yang menemukannya lebih dulu, Kak!" suara Arpad semakin menghilang ditelan lorong-lorong gelap minim cahaya di ruang bawah tanah yang bagaikan labirin.

Lorant mendobrak paksa semua pintu, dan memerintahkan pengawal untuk mengeksekusi semua korban, memisahkan yang sudah meninggal dan yang masih bisa ditolong, untuk mendapatkan pengobatan segera dari tabib di ruang utama kastil. Tetapi dirinya terus saja mencari dan mencari, hingga akhirnya, sebuah ruangan dengan cahaya temaram membuatnya terpaku. Sesaat dirinya seperti kehilangan kesadaran, ketika melihat di sana terikat pada tiang pancang, orang yang sangat dikasihinya.

Bola mata hazel itu tidak tampak karena terpejam, rambut hitam yang menutupi warna pirang untuk menyembunyikan jati dirinya itu telah luntur. Kaki dan tangannya terikat erat, meneteskan darah segar, kepalanya tergolek tertutup rambut yang kusut masai. Bau anyir menyengat keras, karena ruangan yang tertutup tanpa sirkulasi udara memadai ini sangat lembab, bahkan dipenuhi ceceran darah di sana-sini. Di suatu sudut, terdapat meja panjang bersisian dengan bak mandi yang masih dipenuhi oleh darah, dan sebagian mulai mengering. Ada aroma nista yang belum sempat dibersihkan ikut menguar diantara bau anyir yang menusuk, bercampur dengan ramuan obat serta dupa.

Lorant hampir muntah, rasa mual di perutnya membuat kesadaran Lorant kembali, segera diserbunya tubuh lemah itu, lalu memeriksa detak jantung dan nafasnya. Setelah diyakini masih ada harapan hidup, dia segera melepaskan semua ikatan di tubuh kekasihnya dengan hati-hati dan penuh kelembutan, namun cekatan.

Lorant berbisik lembut di telinga wanita cantik yang tubuhnya dipenuhi luka sayatan di sana-sini, "Benca, sayang, ini aku Lorant. Aku datang untukmu, bertahanlah sayang. Di mana Lovisa? sayang, sadarlah... kita masih harus menemukan Lovisa."

Lorant terus berbicara sambil melepaskan ikatan di tubuh Benca yang lemah bagaikan jelly. Dia mencoba membuat Benca sadar, setelah semua ikatan terlepas, dia membawa Benca ke ruang utama untuk mendapatkan pertolongan dari tabib. Sepanjang lorong Lorant berteriak memanggil Arpad, yang entah berada di mana.

Arpad tergopoh-gopoh menghampiri Lorant setelah mendengar teriakan Lorant, "Apakah kamu menemukannya, Kak?"

"Segera bantu aku, dia masih hidup, tapi sekarat. Kita harus cepat!"

Arpad bergegas lari mendahului Lorant, "Aku akan siapkan tempat, dan memanggil tabib untuk segera memberi pertolongan padanya."

"Iya, cepatlah. Aku tidak mau semuanya terlambat." Arpad segera menghilang, sementara Lorant berlari agak tersendat karena menggendong Benca melewati lorong yang sempit. Tidak lama kemudian Arpad kembali dan membantu Lorant memandu jalan menuju tempat yang sudah disiapkan.

"Ke arah sini, Kak." Lorant mengikuti petunjuk Arpad, dan segera meletakkan Benca hati-hati dihadapan tabib. Tubuhnya dipenuhi keringat dan bau anyir darah. Namun dia tidak perduli, baginya, Benca adalah yang utama. Lorant tidak ingin meninggalkan Benca sampai dia merasa yakin bahwa Benca masih bisa diselamatkan.

"Arpad, tunggulah di sini, aku akan mencari Lovisa."

"Aku ikut denganmu, Kak."

"Tidak Arpad, mungkin tabib membutuhkan sesuatu, jadi kamu harus tinggal di sini. Biarkan aku yang mencari Lovisa."

Saat itu Gyorgy muncul, "Kalian tinggallah di sini, aku yang akan mencari Lovisa, semua ruangan sudah di eksekusi dan Lovisa belum ditemukan. Kemungkinan Lovisa berada bersama mereka."

"Tetapi..." Lorant berusaha menyanggah. Lovisa adalah putrinya, dia harus menjadi orang yang paling keras mencari Lovisa, karena dia adalah ayah kandung Lovisa.

"Lorant, berjagalah di sini sambil tetap waspada. Sebab cuma kamu dan Arpad yang paling mengenali wajah para tersangka. Aku tidak mau mereka kabur dengan menyamar." Lorant merasa apa yang Gyorgy katakan ada benarnya, maka dia mengangguk tanda setuju.

"Gyorgy, kumohon, temukan Lovisaku."

Gyorgy menepuk punggung Lorant, "Pasti!" kemudian Gyorgy langsung memerintahkan para prajurit untuk menyisir semua tempat, dan membagi tugas berjaga di setiap pintu dan jendela.

Tabib dengan cekatan memeriksa keadaan Benca, "Tolong ambilkan ramuan di dalam botol berwarna hijau" ujar tabib, sambil menunjuk ke arah kumpulan botol-botol obat, Arpad yang berada paling dekat dengan jangkauan obat-obatan tersebut langsung memberikannya.

"Bagaimana kondisinya, Inka?" Lorant bertanya hati-hati pada tabib penuh kekhawatiran.

"Kondisinya cukup parah, dia dehidrasi dan kehilangan banyak darah. Tetapi masih ada harapan, denyut nadinya masih berdetak meskipun sangat lemah." Lorant dan Arpad menghembuskan nafas lega bersamaan.

"Lakukan yang terbaik Inka. Aku akan memberimu banyak uang jika berhasil menyembuhkannya," ucap Arpad.

"Aku juga akan memberimu hadiah, hidupmu beserta anak-anakmu akan menjadi tanggung jawabku. Kamu tidak perlu bersusah payah mencari uang lagi, jika kamu berhasil memberinya kesembuhan." Lorant tidak mau kalah.

"Aku hanya bisa berusaha tuan-tuan, tetapi hidup dan mati bukan aku yang menentukan, sekarang tolong biarkan aku untuk mengobatinya. Beri aku air." Lorant dan Arpad berebut segera memberi Inka air, setelah itu mereka hanya berani menatap Inka yang sibuk mengobati Benca tanpa punya nyali untuk bertanya.

Saat itu, Gustav memasuki ruangan sambil berteriak, "Ellie, kamu di mana?" sesaat matanya beradu dengan Lorant dan Arpad, kemudian melihat tubuh Benca yang sedang tergeletak lemah dihadapan mereka, "Fia?" matanya menatap tajam ke arah Lorant dan Arpad, Gustav menghampiri mereka meminta penjelasan, "ada apa ini? kenapa anakku ada di sini dalam kondisi seperti ini? sebenarnya ada apa di sini? di mana Lovisa dan Ellie?"

Lorant menatap wajah Gustav yang khawatir dengan sendu, "Lovisa belum ditemukan... dan bibi Ellie..."

Lorant menggantung kata-katanya sambil memandang Arpad meminta pertimbangan, tidak tahu harus menjelaskan apa pada Gustav. Mereka tidak tega untuk memberitahu Gustav kondisi yang sesungguhnya, mereka tidak siap, dan tidak tahu harus mulai dari mana.

Disaat mereka saling tatap dengan pikiran masing-masing, Gyorgy masuk sambil menggendong seorang gadis. Di belakangnya, beberapa pengawal tampak sedang menggiring tawanan dengan lengan terikat di belakang punggung mereka, hanya dua orang wanita yang tidak diikat, namun masing-masing dipegang erat oleh dua orang pengawal.

Lorant dan Arpad langsung menghampiri Gyorgy, dugaan mereka tepat, gadis dalam gendongan Gyorgy adalah Lovisa. Dengan sigap mereka menyiapkan tempat di samping Benca, agar Lovisa segera mendapat pertolongan dari tabib. Hati mereka hancur melihat kondisi Lovisa yang bersimbah darah dan hanya ditutupi sehelai kain putih secara sembarangan.

Sementara Gustav yang masih belum sadar dari rasa kagetnya karena melihat putri juga cucunya dalam kondisi mengenaskan, masih harus menerima kejutan lain. Matanya menatap nanar ke arah tawanan wanita yang dikawal ketat. Bibirnya hanya mampu mengucap pelan menyebut nama wanita tersebut saat pandangan mereka saling bertemu, "Ellie...."

Ellie mentap Gustav sekilas dengan sedih, dia berusaha tersenyum, namun tidak mampu melihat luka menganga dalam bola mata orang yang paling dikasihi dan dicintainya.

Suasana menjadi seperti sebuah film slow motion saat Gustav mengantarkan kepergian Ellie dengan tatapannya yang dipenuhi tanda tanya besar.

Gustav sungguh tidak mengerti dengan semua yang dia lihat saat ini. Beribu tanda tanya besar berkelebat di kepalanya. Dia tidak menyangka akan melihat pemandangan seperti ini, tadinya dia mengira terjadi perampokan di kastil milik Ellie, kekasihnya.

Pengawal memberikan informasi padanya, bahwa tentara utusan Raja Matyas --yang sebenarnya masih ada hubungan darah dengan Ellie-- berdatangan ke kastil Ellie. Tetapi mengapa justru dia harus menyaksikan Ellie ditangkap? dan mengapa Fia dan Lovisa juga terluka? bahkan ada banyak gadis-gadis muda yang juga bergeletakan sedang dalam perawatan.

Ada apa sebenarnya?

Vous aimerez aussi
Table des matières
Volume 1 :1