Akhirnya Alea mampu bernafas dengan lega kala semuanya berjalan sesuai rencana. Apa yang dirinya ingat, peraturan yang ia dengar, semua yang ia pelajari. Mampu ia lakukan tanpa kesulitan apapun, meski ada satu hingga dua hal yang ia lupakan. Seperti memasang tatapan berbinar saat melihat piramida tiga tingkat berisi makanan yang berkualitas, sangat cantik! Sebenarnya apa yang Farel katakan tak dirinya hiraukan, bagaimana bisa dirinya bertingkah tanpa aturan jika melihat Ratu yang ternyata jauh dari kata berantakan.
Ratu Lyorden Arles— Alea akui, Ratu sangatlah cantik, tak heran Farel mendapatkan pahatan wajah yang begitu sempurna. Paduan antara Ratu dan Raja, tentu itu sangat istimewa.
"Sudah selesai, hm?" Farel datang dari arah berlawanan sembari melingkarkan lengan kekarnya pada pinggang Alea. Ya, Farel tak mengikuti pesta teh sore bersama dirinya dan ratu karena ada hal penting bersama Raja yang harus mereka bahas.
"Farel—
Farel menatap Alea dengan tatapan bertanya.
"Terimakasih," sambungnya.
"Untuk apa?"
"Untuk semua yang kau berikan padaku, aku suka."
Cukup lama mereka saling memandang, hingga akhirnya Alea menunduk. Iris biru itu seakan terus menghipnotisnya.
"Kita akan pulang, apa kau tak keberatan?" tanya Farel hati-hati.
Alea mengagguk, "Apapun. Apapun yang kau lakukan untuk ku, aku selalu tak masalah dan aku selalu suka itu."
Mendengar itu Farel tersenyum tipis, "Aku semakin mencintaimu."
Mereka terus berjalan, menuju kamar baru mereka, kamar yang berbeda dengan kamar sebelumnya.
"Malam ini, aku dan calon istriku tak membutuhkan kalian. Katakan pada yang lain untuk tidak memberi pengawalan sekitar kamar kita." Farel memandang seluruh maid berseragam hitam putih itu dengan tatapan tajam, dingin dan penuh peringatan membuat keadaan semakin mencengkram.
Alea pun tak berani menyela apapun, toh semua itu hak Farel— pangeran Arles yang memiliki wewenang atas segala hal disini. Dan lagi, prihal kata 'calon istri' yang Farel tuju padanya, Alea hanya bisa pasrah dan menerima itu dengan hati terbuka. Ayahnya sudah menjual dirinya pada Farel, setidaknya ia bersyukur karena Farel tak merenggut mahkotanya sebelum mereka menikah.
***
Alea membaringkan tubuhnya di samping Farel dengan lengan kekar pria itu yang menjadi bantalannya. Setelah mereka berganti pakaian menjadi kimono dengan warna yang senada, mereka akhirnya dapat tidur dengan damai. Namun Alea belum pula memejamkan matanya, ada segudang pertanyaan yang harus ia tanyakan pada Farel. Posisinya yang begitu intim membuat Alea berkali-kali menghembuskan nafasnya kasar.
"Kenapa, hm?" tanya Farel. Tangannya sudah terulur menyelipkan anak rambut Alea, mengusap sensual bibir tipis milik Alea yang sialnya semakin menjadi candu baginya.
Alea memberanikan diri menatap Farel, "Aku bingung, prihal apa yang kamu katakan padaku—
"... kamu sudah lama menungguku? Apa maksudmu?"
Tak ada jawaban...
Cup!
Melainkan kecupan di keningnya, kecupan penuh kasih sayang yang membuat hati Alea menghangat.
"Ku pikir kau sudah mengetahuinya dari ibu."
Alea menggelengkan kepalanya, "Ratu tidak mengatakan apapun, Farel. Dia hanya berbicara topik yang ringan."
"Kalo begitu tidurlah," titah Farel semakin menekan wajah Alea ke dada bidangnya. Alea dapat mencium harum yang menenangkan, dapat Alea katakan jika dirinya tak pernah mencium harum ini sepanjang hidupnya terkecuali saat kali pertama bertemu dengan Farel, wangi khas milik Farel selalu ia ingat.
Tak ingin membantah apa yang Farel katakan, Alea mulai memposisikan dirinya agar lebih nyaman. Memejamkan matanya, menikmati pelukan erat dari Farel seakan tak ingin membiarkannya lepas. Detak jantung Alea tak karuan, Alea pun dapat merasakan detak jantung Farel yang juga berdetak lebih cepat.
Alea rasa dirinya benar-benar jatuh cinta pada Farel.
***
Setelah memastikan Alea tertidur pulas, Farel memutuskan untuk pergi mengunjungi seseorang— seseorang yang akan ia temui untuk terakhir kalinya sebelum dirinya pergi ke dunia tempat dimana Alea tinggal. Tentu Farel tak dapat membiarkan Alea terus tinggal di dunia Arles, Itu akan sangat mustahil. Lagipula Farel memiliki segalanya yang ia mau, ia tak perlu kesulitan bekerja keras di dunia nantinya.
"Bagaimana?" tanya Farel pada seorang pria yang tengah duduk memandangi banyaknya foto-foto pernikahan yang terpampang di depan sana.
Farel ikut mendudukan diri di kursi yang ada, tatapan tajam bak elang itu tak pernah luput dari pria yang ada di hadapannya.
"Bagaimana apa? Lesti? Maria? Anna? Anastasia? Berlin? Dera? Atau para jalang yang selalu kau mainkan?" Bryan Robson— pria dengan iris mata berwarna hitam pekat itu dengan berani memancing emosi seorang Farel. Namun, jangan tanyakan bagaimana ekspresi Farel kali ini, benar-benar datar. Bahkan dengan santainya pria itu menuangkan wine ke dalam burgundy glass yang terletak didekatnya.
"Kau tau aku tak pernah berhubungan dengan mereka," sahunya.
Bryan terkekeh, "Karena gadis yang telah kau klaim bahkan sejak dalam kandungan?" Farel berdehem sebagai jawaban.
"Oh ayolah, dia bahkan melupakan ingatannya denganmu. Aku tau kau bersungguh-sungguh, tapi apa gadis itu—
"Aku tak butuh saranmu," tukasnya tenang.
Baiklah, Farel tak suka dengan topik kali ini.
"Apa kau sungguh mencintainya?"
Farel menatap Bryan dengan tatapan sulit diartikan, "Ya."
Ada kesungguhan yang Farel pancarkan membuat Bryan tak dapat berkata-kata lagi. Jika Farel sudah menentukan demikian, Bryan tau tak akan ada yang mampu menghentikan hal itu. Pria dingin, kejam dan terkesan sangat tampan.
"Baiklah, lebih baik kita menyenangkan pikiran kita malam ini. Rasanya sudah lama setelah Lesti, Maria, Anna, Anastasia, Berlin, Dera— oh Tuhan aku sampai mengingat nama mereka," kekeh Bryan.
Menyenangkan pikiran— senyum miring misterius tercetak di wajah tampan Farel, ia lantas bangkit dari duduknya, menatap Bryan sungguh-sungguh, "Tunggu apa lagi."
Detik itu juga keduanya berjalan meninggalkan ruangan, ada perasaan yang sulit diartikan oleh keduanya. Bryan— satu-satunya pria yang dapat berada di samping Farel tanpa ada rasa takut, marga mereka berbeda namun mereka masih tetap kerabat dekat. Tak heran jika keduanya pun terlihat sedikit akrab.
"Apa di dunia baru mu nanti kau akan tetap melakukan ini?" tanya Bryan. Pria itu sesekali melempar tatapan menggoda pada para gadis yang berpakaian ala maid tengah berbaris menyambut sang tuan, lebih tepatnya hanya pada Pangeran Arles saja.
Farel tampak berpikir, "Mungkin iya."
"... dan mungkin tidak," sambungnya.
Jangan tanya bagaimana respon yang Bryan berikan, dirinya memiliki feeling jika Farel benar-benar akan berhenti menyenangkan hatinya dan menyegarkan pikirannya.
"Akan ku lakukan dua kali lebih banyak jika kau berhenti melakukan ini," kekehnya mencoba mencairkan suasana namun selalu saja gagal karena Farel yang lagi dan lagi hanya memasang wajah datarnya.
Bryan menghembuskan nafasnya kasar, "Membosankan."
Hingga akhirnya, hanya keheningan yang tampak menemani kebersamaan mereka menuju sebuah ruangan yang sangat rahasia.