webnovel

00.00

Menceritakan seorang gadis yang begitu tertekan. Teka-teki prihal kematian seseorang yang berperan penting dalam sebuah keluarga menjadi tanda tanya besar, ayahnya yang memilih menikah dengan janda anak satu tanpa persetujuannya, kakak tiri yang tak bosan memfitnahnya serta salah seorang asisten rumah tangga baik hati yang mencurigakan.

Silvergoals · Fantasy
Not enough ratings
221 Chs

BAB 8 - ARLES || FAREL & ALEA

Sore ini, Alea tampak kembali sendiri. Memandangi setiap sudut kamar yang tampak kembali berbeda dari kamar sebelumnya. Tempat tidur berlapis emas itu hanya terdapat satu di ruang ini, sofa dan meja rias hingga barang-barang lainnya yang tampak sangat mahal dan berkilauan. Sendirian? Ya, Alea hanya sendiri, mengingat Farel tengah menemui sang raja membuat Alea mau tak mau tinggal seorang diri disini. Sebenarnya Farel sudah memaksa Alea untuk ikut dengannya, hanya saja Alea tampak belum siap, Alea tak ingin terus mencampuri urusan mereka.

Tak! Tak!

Sontak Alea mengalihkan arah pandangnya ke sebuah jendela. Ia tersontak kala menemukan seekor burung hantu—

Apa? Burung hantu? Ya, burung itu hampir tak sama sekali Alea lihat, mengingat di kota, burung semacam itu hampir tak terlihat walau hanya batang hidungnya saja.

Dengan memberanikan diri karena tampak asing, Alea berjalan, mengulurkan tangannya untuk membuka jendela.

Sebuah undangan minum teh bersama yang mulia ratu Arles pukul empat sore. Ia melirik jam yang terpampang sempurna tak jauh darinya berada. Pukul sebelas siang, masih ada beberapa jam untuknya bersiap. Ia kembali melirik ke arah dimana burung hantu itu berada, sayang sudah hilang.

Titik permasalahan kali ini adalah— Alea tak tau apapun akan segala hal yang bersangkutan dengan teh sore. Apa akan terjadi kesalahan yang fatal? Tidak! Alea jelas tak akan membiarkan itu terjadi.

Alea berlari ke arah dimana pintu berada, membukanya perlahan. Saat itu juga ia dapat melihat seluruh maid yang berjejeran di sekitar ruangannya. Saat mereka menyadari wanita cantik itu keluar dari dalam ruangan, salah satu dari mereka menghampiri Alea, membungkuk hormat, bahkan begitu rendah membuat Alea lagi dan lagi harus merasa terbiasa.

"Ada yang bisa kami bantu, Nona?" tanyanya dengan senyum manis serta penuh hormat. Wanita paruh baya dengan berpakaian hitam putih bahkan serempak semuanya mengenakan pakaian yang sama membuat Alea lagi dan lagi merasa ini berlebihan.

"Aku hanya ingin mempelajari aturan minum teh sore bersama ratu," kata Alea menatap mereka satu persatu.

Maid itu tampak mengaggukan kepalanya sopan, "Baik Nona."

Setelah itu, satu diantara mereka maju melangkah. Membungkukkan badannya, lantas menyapa Alea dengan penuh hormat pula, "Mari, Nona."

Alea mengagguk antusias, lantas berjalan mendahului wanita itu masuk ke dalam kamar. Alea tak tau apa yang akan wanita itu ajarkan padanya, hanya saja Alea sangat ingin mengetahui berbagai aturan dan larangan apa saja dalam acara minum teh bersama ratu. Mau bagaimana pun juga Alea harus memberikan kesan yang baik bukan?

"Baiklah, pakaian apa yang harus aku kenakan?" tanya Alea mulai memasuki walk in closet. Menatap dengan binar di matanya kala pandangannya terpaku pada banyaknya gaun, sepatu, tas dan barang-barang lainnya.

"Semua kebutuhanmu sudah ada di dalam." Itulah yang Farel katakan sebelum pria itu pergi.

"Apa aku boleh mengenakan ini?" tanyanya sembari menunjukan dress mini dengan warna mencolok tanpa lengan.

Wanita itu tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya, "Tidak, Nona. Saya sarankan untuk mengenakan kasual cerdas seperti sepasang pantofel dan gaun yang menutupi lutut, karena Ratu mungkin akan menganggap itu tak sopan jika mengenakan dress mini."

Lagi dan lagi Alea mengagguk, sembari meraih sebuah dress yang tampak lebih sopan untuk ia kenakan. Dengan sepasang pantofel warna senada pula.

"Lalu, bagaimana cara ku menyapa Ratu?"

"Tidak— lebih baik aku memperagakannya padamu," sambungnya sebelum wanita itu buka suara.

Alea memposisikan dirinya dengan menghadap wanita paruh baya itu. Jangan tanyakan bagaimana ekspresi wanita yang ada dihadapannya. Wanita itu bahkan tak tau harus bagaimana dan harus melakukan apa, mengingat gadis dihadapannya itu calon istri dari pangeran Arles— sang penerus Raja.

"Apa kabar Ratu," kata Alea memperagakan.

Wanita itu tampak menggelengkan kepalanya, "Maaf, Nona. Tapi itu salah. Seharusnya, 'Selamat Sore Yang Mulia Ratu.' Seperti itu."

"Baiklah, lalu apa lagi?"

"Setelah Yang Mulia Ratu duduk, Nona bisa ikut duduk lalu letakan serbet dipangkuan, Nona.." jawabnya dengan nada yang ramah dan penuh hormat.

"Apa setelah itu aku bisa langsung minum teh?"

"Tidak Nona. Nona masih harus memasukan gula, jika Nona butuh. Mengisi cangkir 3/4 menggunakan saringan setelah itu Nona dapat menuangkan susunya," terangnya.

Sedikit sulit, namun Alea yakin ini akan mudah jika dirinya bersungguh-sungguh.

"Bukankah lebih mudah mengunakan kantong teh? Aku lebih suka menggunakannya karena sangat mudah tanpa harus menggunakan saringan," cerocos Alea.

Namun harapan Alea pupus kala wanita itu menggelengkan kepalanya, "Ratu, Raja dan Pangeran. Tak suka kantong teh, Nona. Jadi tak akan hal semacam itu di istana."

Baiklah, Alena mengalah.

"Huft— semuanya tak sesuai harapanku!"

"Jelaskan saja semuanya, aku akan mendengarkan," sambungnya sembari duduk.

"Baik, Nona," jawabnya mulai mengambil ancang-ancang, "Setelah itu, Nona dapat mengaduk teh dengan gerakan dari depan ke belakang, tentu jangan memutar. Dan jangan pula menimbulkan suara."

"Kemudian, saat cangkir di atas meja pastikan telinga cangkirnya menunjuk ke arah jam 3. Saat minum teh, fokuslah pada cangkir teh, jangan mengintip ruangan sekeliling cangkir karena itu bisa dianggap tidak sopan. Barulah Nona bisa mulai menikmati tehnya. Sesap sekali, jangan menyeruput dan meneguknya."

Shit! Mengapa ada banyak aturan?

"Kupikir tak akan serumit ini," cicitnya.

"Apa yang mengganggu pikiran mu sayang." Tiba-tiba saja Farel masuk, menghampiri Alea yang tengah bersama dengan seorang wanita.

Alea menatap Farel dengan pandangan lesu, kemudian dirinya mengalihkan arah pandangnya pada wanita itu, "Kau bisa pergi dan terimakasih."

Wanita itu mengagguk hormat lalu pergi dari ruangan itu hingga menyisakan Alea dan Farel berdua.

Farel merentangkan kedua tangannya seolah memberi isyarat untuk Alea masuk ke dalam pelukannya. Alea bangkit dari duduknya, menarik dirinya sendiri ke dalam pelukan Farel, hangat dan— nyaman. Sial! Sejak kapan Alea begini?

"Kenapa, hm?"

"Ibu mu mengundangku untuk minum teh sore," jawabnya pelan masih setia dalam pelukan Farel.

Pria itu mengernyitkan dahinya bingung, "Lalu?"

"Ada banyak peraturan yang harus aku ingat. Aku hanya takut membuat kesalahan."

Tiba-tiba saja pelukan itu terlepas ulah Farel tentunya, namun tentu saja kedua lengan kekar itu masih setia berada di pinggang Alea.

"Lakukan apapun yang kau mau sayang, peraturan itu hanya berlaku untuk orang-orang asing saja. Dan kau bukan orang asing—

"Kau calon istriku," sambungnya.

Ya, Alea pun nyatanya harus mulai terbiasa dengan ini. Semakin lama Alea berada di samping Farel, semakin sering pula Farel menyatakan kepemilikannya terhadap dirinya sendiri. Alea pun tak menolak, siapa yang akan menolak pria tampan seperti Farel? Tentu hanya orang bodoh.