"Woah!!" Alea menatap takjub pada sebuah kastil yang ada di depan matanya itu. Seluruh pengawal yang tengah berjaga disana tampak membungkuk hormat.
"Apa kastil ini milik Rey?" tanya Alea.
"Semua yang ada di wilayah ini tentu milik keluarga Arles," jawabnya.
Alea melongo tak percaya, "Milik mu?"
Tak ada jawaban membuat Alea pasrah dan lebih memilih menatap bangunan tua namun terlihat memanjakan mata.
"Ayo."
Alea mengagguk, ikut berjalan menyesuaikan langkahnya dengan Farel. Mengingat sebelah tangannya yang masih berada di genggaman Farel. Seluruh wanita maupun pria dengan jas yang melekat ditubuhnya tampak berlalu lalang di dalam kastil tanpa menimbulkan suara, mereka tak saling bicara seolah merupakan peraturan keras yang tak boleh dilanggar.
"Disinilah tempat Rey diciptakan," tuturnya. Alea mengagguk, semakin lama dirinya bersama dengan Farel semakin dirinya mengerti pula apa yang ada di dunia Arles ini.
Mereka berdua terus berjalan, dengan Alea yang tak henti-hentinya mengagumi sekeliling kastil.
"Jadi, mereka semua robot?"
"Bukan, mereka manusia terpilih yang beruntung karena bisa masuk ke dimensi Arles."
Tiba-tiba saja Alea menghentikan langkahnya, membalikan tubuhnya hingga berhadapan langsung dengan Farel, "Katakan! Apa aku juga termasuk dari mereka yang beruntung."
Farel melangkah maju, mengikis jarak antara Alea dan dirinya, "Mereka hanya beruntung sedangkan kau berkali-kali lipat lebih beruntung karena sebelum kau lahir pun aku sudah memutuskan untuk menjadikan ku milik mu."
"Farel, aku tak mengerti maksudmu," cicit Alea sangat pelan. Alea bahkan mencoba menahan nafasnya, detak jantungnya pun kini tak beraturan.
Tangan Farel terulur, mengusap bibir milik Alea, semakin mendekatkan wajahnya hingga hidung keduanya saling bergesekan, satu hal yang tak dapat Alea terima, mereka dapat merasakan nafas mereka satu sama lain, shit!
"Aku menunggumu," bisik Farel nyaris tak terdengar. Keduanya seakan mengacuhkan orang-orang yang tengah berlalu lalang. Tak hanya Farel, begitu pula dengan Alea. Dalam hitungan detik, bibir keduanya menyatu sempurna, Farel mengecupnya singkat, sedikit melumatnya, sedikit demi sedikit hingga ciuman panas itu terjadi. Alea tak sempat memberi penolakan, sebelah tangan kekar milik Farel sudah melingkar manis di pinggangnya, satu tangannya lagi menahan tengkuk Alea agar tak memutuskan pautan bibir keduanya.
Tampak Alea mengalungkan tangannya, ia terhanyut dalam ciuman panas yang baru ia rasakan sepanjang hidupnya.
Setelah beberapa menit, Alea memukul dada bidang Farel, ia merasa pasokan oksigennya semakin menipis. Alhasil, Farel melepaskan ciuman pertama mereka dengan perasaan sedikit kesal, bagaimana bisa Alea mengacaukan ini semua? Tidak kah Alea berpikir jika Farel sangat menikmatinya?
"Alea, aku akan hidup bersamamu di dunia mu," bisik Farel dengan kedua hidung mereka yang masih menyatu.
Tak ada yang dapat Alea katakan, ia hanya fokus menetralkan detak jantungnya yang sedari tadi berdetak lebih cepat dari seharusnya. Ingin rasanya Alea melarikan diri dari pria tampan dengan seluruh kata-kata manisnya itu. Bukan karena tak suka, melainkan rasa malu yang menjalari tubuhnya.
"Malam ini kita akan tidur di atas tempat tidur yang sama," sambungnya.
Alea menggelengkan kepalanya, menjauhkan tubuhnya dari Farel, "Apa maksudmu? Aku tak ingin melakukan itu."
Pria itu terkekeh, sembari kembali meraih pinggang Alea, melingkarkan tangannya posesif, "Kita tak akan melakukan itu sekarang, tapi nanti—
Cup!
"Setelah kita menikah," sambungnya setelah mencuri kecupan singkat di bibir Alea.
Cup
"Farel, ada banyak orang disini," cicitnya kala Farel lagi dan lagi mencuri kecupan di bibirnya.
Farel menghentikan langkahnya, menarik Alea ke dalam pelukannya, "Itu berarti kau tak akan keberatan jika kita melakukannya di tempat yang sepi?"
"Bukan begitu–
"Tenanglah, tak akan ada yang berani mengusik kita disini," tukasnya sembari melepaskan rengkuhannya.
"Aku tau itu, tapi tetap saja!"
"Itu beda, sayang..."
Sesaat Alea terdiam ulah kalimat yang terlontar begitu manis di depannya. Apa yang ia dapatkan ini? Seorang pria, dengan iris mata biru, tatapan bak elang, tampan, seorang pangeran bahkan memiliki nilai plus karena selalu berkata manis padanya. Apa Alea tengah bermimpi? Jika memang iya, tolong jangan bangunkan Alea.
***
"Apa pewaris mu itu sudah menemukan takdirnya?" tanya seorang pria yang tengah duduk santai dengan ditemani secangkir kopi dihadapannya itu. Seluruh maid tampak mengelilingi mereka, siap sedia jika tuannya membutuhkan sesuatu. Apapun itu!
Raja Garden Arles itu tampak memandang lurus ke depan, senyum misterius tercetak jelas di wajahnya, "Ya, seperti dugaanku."
Melihat raut wajah bahagia yang Raja lontarkan membuat pria itu mengernyitkan dahinya bingung, "Kau terlihat begitu senang, padahal kau tau akan kehilangannya."
Ya, Raja Garden tau seluruh resiko yang dia dapat jika anak tunggalnya yang akan menjadi pewaris pergi meninggalkan dimensi Arles dengan cinta sejatinya. Namun apa boleh buat? Sepanjang kehidupannya, sang anak tak pernah meminta apapun, bahkan hal sekecil apapun. Hidup dengan kepatuhan membuat Raja merasa inilah satu-satunya kesempatan mengabulkan permintaan sang anak.
"Apapun demi membuatnya bahagia, kau tau anak ku tak akan mendengarkan masukan dari pihak manapun," jawabnya mutlak seolah tak ingin ada seseorang yang ikut andil dalam keputusannya itu.
Namun tampaknya pria yang menjadi lawan bicaranya kali ini, tak puas dengan apa yang raja katakan, "Ya! Cinta membuatnya buta akan segalanya. Seperti kau dulu."
"Aku anggap kau tengah melontarkan lelucon," sahutnya. Tatapannya begitu tajam, mengisyaratkan jika dirinya merasa terusik dengan apa yang lawan bicaranya lontarkan.
"Bagaimana jika ini bukan lelucon?"
"Kau tau aku yang memegang kekuasaan di wilayah Arles. Aku bisa menyingkirkan mu kapan saja selagi aku mau." Tatapannya semakin menajam, raut wajahnya begitu dingin. Seluruh maid yang tengah menunduk semakin merasa aura dingin yang mencengkram. Mereka dapat merasakan ada alarm bahaya disekitarnya, berdoa saja semoga Dewi Fortuna berpihak pada mereka dengan menjadikan Raja pribadi yang pemaaf.
"... Seperti yang kau tau, aku hanya akan mempertahankan mereka yang tak mengusik kehidupan ku, istriku dan anak ku," sambungnya.
"Baiklah, kau menang. Aku hanya bergurau teman!" finalnya kala keadaan sudah semakin mencengkram. Percayalah, para maid yang berbaris rapi disekitar mereka dapat bernafas dengan lega. Mereka tak tau apa yang akan terjadi jika Raja benar-benar marah.
"Aku akan pergi, istriku pasti sudah menunggu. Titipkan salam ku pada anak mu," ucap Raja sembari bangkit dari duduknya. Seketika dua orang pria bertubuh kekar dengan stelan jas menghampiri Raja. Memakaikan jas itu dengan hati-hati pada tubuh raja lalu berjalan mengekori.
Pria yang sedari tadi memancing amarah raja pun akhirnya dapat bernafas lega, pria itu tampak mengusap dadanya berkali-kali. Mereka teman, sering bergurau namun entahlah tak pernah ada lelucon yang berhasil mencairkan suasana. Seperti beberapa saat yang lalu, hampir saja pria itu lenyap.