webnovel

ZOMBIE AREA

Wabah zombie semakin meluas, kota-kota disekitar Seoul telah mati. Hal ini berawal dari para peneliti yang mengembangkan senjata biologis manusia. Mereka mengembangkan manusia-manusia mutan yang dapat bermutasi dan dapat meningkatkan kekuatan pada setiap keadaan. Zombie yang telah bermutasi mencipatakan dua golongan zombie, yakni zombie mutan dan zombie monster yang lebih ganas dan telah kehilangan kemanusiaan. Nenek Nam yang tinggal di sebuah Panti Jompo di pegunungan, mau tidak mau harus keluar dari Panti Jompo untuk mencari bantuan yang katanya, ''Pemerintah mengoperasikan Tim Evakuasi Udara.'' Mendengar sang cucu telah berada di gedung evakuasi, membuat nenek Nam membangun semangat untuk mempertahankan nyawanya. Ia bersama enam lansia, bergerak sembunyi-sembunyi di kota Zombi menuju perbatasan kota. Tetapi mereka tidak tahu, bahwa ada banyak misteri yang meliputi tiap mayat hidup di kota itu. Siapa yang mati? Siapa yang berkorban? Siapa yang selamat? Atau mungkin tidak ada! Semuanya tak dapat diramalkan, kecuali anda membaca seluruh ceritanya. Cerita ini dikemas dalam 5 vol. atau 5 season. Anda dapat memilih setiap season yang ingin dibaca, #Sekilas Daftar isi Novel. Season 1, perjuangan para lansia dan seorang ketua perawat menuju gedung isolasi. season 2, menceritakan cucu nenek Nam, Yeo Han dan para mahasiswa bergerak menuju gedung isolasi. Cerita nuansa anak muda in tidak kalah mendebarkan, karena mengikuti pola pikir anak muda untuk menemukan cara selamat. season 3, menceritakan seorang mutan zombie yang melawan mutan dalam dirinya. Zombie yang berusaha mempertahankan kesadaran kemanusiaannya. season 4 dan 5, menceritakan penelitian besar dan hasrat para mutan untuk membangun peradaban tersendiri di tengah manusia. [ akan ada perang besar antara manusia dan mutan zombie ].

Vince_Umino · Acción
Sin suficientes valoraciones
271 Chs

Dua Pemuda Pemberani

Malam masih berjalan tetapi lelap telah berakhir oleh terbukanya kelopak mata mereka. Mata yang setengah mengantuk itu mulai menjamah seisi ruang. Hingga bertemu dengan jam dinding yang telah sampai pada pukul 04.30 pagi. Jerry menarik tubuhnya lalu bersandar di tembok. Punggungnya meresapi suhu tembok yang dingin menusuk. Barulah saat itu, matanya segar bugar. Namun kepalanya berdenyut-denyut sakit, seakan-akan menyimpan satu jantung kecil yang terasa berdetak di dalam otak. Tubuhnya letih seperti orang sakit-sakitan.

Lee Han keadaannya tak jauh beda dengan Jerry, pemuda bertubuh kekar itu pergi ke kamar mandi. Tak berapa lama, terdengar suara deras air dari keran, Jerry pun menyusul.

Dalam suasana nan serius, mereka mengganti baju dengan berpakaian tebal. Menggunakan jaket dan kaos oblong, celana training hitam. Di punggung diselempangkan sebotol air dan juga pipa besi. Melingkar tali di pinggang beserta kabel listrik dan lampu tumblr. Sebelum meninggalkan lorong, mereka memastikan pintu kamar telah dikunci oleh para lansia.

Butuh beberapa waktu untuk menggembok kembali pintu lorong, dengan rantai yang bergemerincing. Baru saja selesai, Lee Han langsung menarik tubuh Jerry untuk berjongkok di lantai. Ia heran, karena perbuatan Lee Han sangat mendadak.

''Ada apa? Kau hampir menjatuhkan pipaku.'' Jerry melihat wajah temannya yang tampak sedang memperhatikan balkon atas. ''Sedang melihat apa?''

''SSsst, aku seperti melihat seseorang memperhatikan kita dari atas sana. Apa menurutmu, ada yang selamat?'' tanya Lee Han.

''Bodoh! Orang yang selamat akan langsung meminta tolong. Setidaknya memberikan sebuah tanda bahwa seseorang masih hidup di atas sana,'' pungkas Jerry. ''Yang kau lihat mungkin hantu gentayangan.''

Mereka berajak menuju tangga lantai tiga. Lee Han memimpin di depan, di tangan kanannya sebuah pipa besi menjadi tameg utama. Sedangkan Jerry yang membuntiti, berjaga dari belakang. Sekali-kali, ia memegangi teropong infrared yang bisa menangkap apapun dalam kondisi gelap. Teropong itu menjuntai di lehernya.

''Ada dua mayat di balkon seberang yang menuju kemari,'' ucap Jerry sambil menaiki anak tangga.

''Lebih cepat dari dugaan. Penciuman mereka luar biasa tajam.'' Lee Han berhenti berjalan ketika kakinya telah mencapai lantai tiga. Senter seukuran telunjuk dinyalakannya. Sinar putih berbentuk bundar itu diarahkan lurus ke depan. ''Ini jauh lebih buruk dari lantai dua, Jerry. Lihat!''

Bunyi langkah kaki satu demi satu terdengar dari bawah tangga. Secepat mungkin Jerry menarik Lee Han bersembunyi di toilet dekat tangga. Dari pintu yang sedikit renggang, mereka menyaksikan seorang lansia bungkuk berjalan tertatih-tatih. Dari penampilan memang terihat baik-baik saja, akan tetapi tercium bau tak sedap yang mengikuti lansia itu.

Saat sudah agak jauh jaraknya, dua pria itu nekat keluar dari toilet. Sinar sentar diacungkan ke depan, sejauh satu setengah meter. Sinar itu menangkap pemandangan yang mengerikan. Bak kain selimut, ternyata lansia bungkuk itu tengah menarik sepasang kaki, kulit, daging, serta organ masiih tersambung dalam satu badan, namun terburai hingga sepanjang dua meter, terseret di lantai meninggalkan jejak dan bau busuk darah yang sudah berusia 12 jam. Entah siapa mayat mengenaskan itu, tetapi kepalanya hampir terputus dari badan.

Amat mengerikan menangkap kejadian dengan mata telanjang. Isi-isi kulit mereka berdesir hebat, darah meluap dari bawah sampai ke ubun-ubun. Jantung seakan-akan tertimpa beban berat sehingga terasa sesak dan detaknya pun melambat.

Seketika itu, padam kembali cahaya dari sentar. Perut Lee Han bergejolak, seakan-akan diaduk-aduk dari dalam. Tanpa berkata-kata, ia pergi ke toilet memuntahkan isi perutnya beserta air liur nan pahit kekuningan, berbau amis dari lambung dalam.

''Ini belum setengah jalan. Di dalam sana, mungkin banyak hal yang seperti ini. Kurasa di sinilah nerakanya.'' Jerry bersandar di depan pintu sambil menahan pintu itu, menunggu sang teman untuk membuang semua perasaaan jijik.

Bibir tipis yang diselimuti air liur, lekas diseka. Lee Han meludah kemudian membasuh mulutnya. ''Sudah kuduga ini jauh lebih sulit,'' ia mengeluh, dan berpaling menatap Jerry dengan wajah lesu. ''Bisakah kita kembali saja.''

Jerry memutar bola matanya, menghindari tatapan Lee Han. Dua jam yang lalu, ia mengakui dirinya sempat kagum dengan keberanian Lee Han. Memukul kepala seseorang tidaklah mudah. Ia pun mengambil pelajaran dari bawahannya tersebut. Namun semuanya berbalik arah, rupanya keberanian Lee Han tergantung kondisi.

''Kau boleh memikirkan sesukamu, apakah kita kembali atau tidak.'' Jerry bersandar seraya menyedekapkan lengan. ''Keberhasilan dari rencana ini juga tergantung kepadamu. Aku tidak bisa melakukannya sendirian. Helikopter-helikopter itu hanya akan berlalu lalang di udara tanpa menghiraukan bangunan satu-satunya yang berdiri di tengah hutan seperti panti jompo inni. Dan selanjutnya, kau dapat menghayalkan apa yang terjadi pada semua orang di sini.'' ucapannya datar dan lugas.

Hal itu membuat Lee Han berpikir dengan berat hati. Ia mendengus kesal. rasa takutnya selalu membuat masalah dengan perutnya. Lee Han bericara lagi, ''Bagaimana denganmu. Apakah pemandangan mengerikan itu tidak membuat jantung seakan-akan ditarik?''

Jerry terdiam, ia melirik pisau belati yang dikeluarkan dari ikat pinggangnya. ''Aku sudah membunuh diriku sendiri sebelum datang ke mari,'' jawab Jerry dalam hati.

Mentalnya terpukul atas kematian Soo Hwan diperburuk rasa bersalah karena tak bisa diandalkan. Jerry yang berperangai dingin mulai tampak dari binar matanya yang tak senang bersua terlalu lama. Pria bernetra cokelat muda itu berpaling dan membuka pintu toilet. Sebelum punggungnya lenyap, sempat terdengar ia berkata, ''Kalau kau sudah agak baikan, temui aku di luar!''

Kening Lee Han mengerut sebelah, bibinya terbuka hingga giginya tampak sedikit, dari dagu bulatnya menetes bening sebulir air dari keran. Ia bingung dengan sikap Jerry. ''Apa dia sedang marah padaku? Sepertinya akibat ucapanku tadi, dia tersinggung lagi.''

...

Pada suatu ketika, mereka memasuki lorong nan cukup luas, cahaya dari lampu darurat menjadi penerangan utama. Hijau redup cahayanya sehingga terlihat suram sekali. Jerry dan Lee Han berdiri di ambang pintu yang memiliki celah sebesar telapak tangan berukiran bunga. Dari celah itu, mata mereka langsung bisa menembus ruang, melihat pemandangan dengan luas yang terbatas. Setelah meyakini ruang itu aman, Lee Han memutar kenop dan mendorong pelan satu daun pintu. Berderit suara engselnya, sehingga terdengar ke berbagai arah.

''Ku bilang pelan-pelan!'' usik Jerry sambil berbisik.

Tak suka diprotes, Lee Han tak mau kalah, ''Ini diluar kendaliku.'' Matanya menatap pertama kali pada ranjang-ranjang pasien yang tertutup setengah.

Ranjang-ranjang itu tampak kosong. Gorden-gorden nan berkibar mengganggu ketenangan batinnya. Jerry ikut masuk dan lekas menahan pintu dengan punggungnya. Matanya menjamah sekitar dengan hati-hati. Ruang itu hanya memiliki satu lampu darurat sehingga pencahayannya tidak bisa dikatakan terang. Bahkan dikalahkan oleh cahaya rembulan yang terpancar dan menembus jendela. Gorden-gorden jendela melambai membawa masuk udara luar. Udara dingin semakin terasa karena berada di ketinggian searah mata angin.

Tampaknya ada perawat yang lupa menutup beberapa jendela kamar. Keduanya terpikir hal yang sama, namun beberapa detik kemudian, hal itu menjadi janggal. Tak ada yang menutup jendela bisa menandakan tak ada orang yang memasuki ruang rawat itu. Mereka saling tukar pandang, menyembunyikan pikiran masing-masing.

Ruang rawat itu dalam keadaan bersih, porselennya putih mengkilat, aroma jeruk mendominasi ruangan, namun tercium sedikit aroma obat-obatan. Gorden beserta tirai yang menyekat brankar berwarna sama yakni hijau muda dengan campuran 60% putih.

Jerry menarik punggungnya dari daun pintu, lalu berjalan ke depan dan berhenti sejenak di antara dua sisi brankar yang berjejer rapi yang disekat satu persatu oleh gorden. Lee Han melangkah ke depan, sekali-kali membungkuk tajam ke lantai, menengok sisi bawah brankar. ''Perasaanku tidak enak, Jerry.''

''Terlalu lama kalau memeriksa bersama-sama, kita berpisah saja dari sini,'' ujar Jerry berbisik. Tanpa mendengar terlebih dahulu tanggapan Lee Han, ia langsung berbelok ke kanan dan menyalakan sentar.