Vania berdiri dan tersenyum memandangi Raka yang sedang frustasi itu. Ia sangat mengerti bagaimana keadaan Raka saat ini. Sedang ada di titik terendah dan hanya perlu seseorang merangkulnya dengan penuh perhatian dan menyemangati dirinya.
"Udah selesai marah marahnya?" Pertanyaan Vania membuyarkan lamunan Raka.
Gadis itu memandang Raka yang sedang tidak karuan.
"Vania? Ngapain di sini?" sahut Raka menundukkan kepalanya tidak melihat Vania yang ada di sampingnya itu.
"Maaf, aku terlambat datang. Kamu kenapa kayak gini?" Tanya Vania ragu.
"Nggak apa-apa, cuma heran aja sama hidup gue. Kenapa bisa jadi kayak gini. Hancur aja udah semuanya. Stres gue," sahut Raka sambil mengacak rambutnya yang basah terguyur hujan.
"Raka.." lirih Vania.
"Jangan putus asa gitu dong. Kamu itu belum hancur, kamu sekarang hanya di uji. Aku yakin, kamu bisa ngelewatin ini semua dengan baik. Jangan pernah berfikir kayak gitu," tutur Vania mencoba membuat Raka sedikit lebih tenang dari emosi nya.
"Gue aja nggak tau harus gimana lagi. Gue malu, karna gue benar-benar nggak bisa ngelupain kenangan yang udah bikin gue hancur kayak gini Van," Ucap Raka sambil menatap wajah Vania.
"Kamu yang tenang dulu. Nggak harus kok kamu langsung bisa ngelupain semua kenangan kamu. Kamu itu perlu waktu. Semua itu juga butuh proses, nggak ada yang instant," Jelas Vania.
"Tapi sampai kapan?" Tanya Raka pada Vania.
Vania hanya diam tidak menjawab pertanyaan Raka. Sebenarnya, ia sangat ingin menjawab bahwa dia bisa bangkit kembali dan melupakan mantannya itu jika dia jatuh cinta lagi atau melakukan sesuatu yang lain nya yang tidak berkaitan dengan mantannya itu. Tapi, Vania tidak ada keberanian untuk mengatakannya.
Vania hanya bisa berusaha menjelaskan pada Raka bahwa semua orang itu pasti memiliki masalah, entah itu masalah biasa, rumit atau bahkan sangat rumit.
Gadis itu juga masih menemani Raka yang sedang dalam kekacauan itu sampai ia mulai tenang dan hujan berhenti. Padahal Raka sudah meminta agar Vania meninggalkan dirinya sendiri, tetapi Vania tetap kekeh ingin menemani Raka. Sebab Vania sadar, kalau dia tidak bisa melihat Raka dalam keadaan seperti itu.
Hujan telah berhenti dan langit semakin gelap menandakan malam telah tiba. Rakapun mengajak Vania untuk mampir ke rumahnya dulu, karena kebetulan taman itu dekat dengan rumahnya.
Kali ini Vania tidak bisa menolak, karena Pak Edy supir Vania juga sudah meninggalkan Vania untuk izin ada kepentingan pribadi. Vania pun ikut Raka pulang ke rumahnya, tapi dia takut di bonceng Raka menggunakan motor sport nya itu.
"Van? Ayo naik. Ngapain masih diem aja ngelihatin gue?" Raka meminta agar Vania segera naik ke motornya.
"Ka, aku sebelumnya belum pernah naik motor," Jawab Vania dengan raut wajah yang bingung antara malu dan takut.
"Apa? Belum pernah naik motor? Lo yang serius aja, Van" Raka mengernyitkan keningnya tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Vania.
"Aku serius. Dari kecil aku nggak pernah naik motor, Ka. Aku takut ih.." sahut Vania belum berani menaiki motor Raka.
"Udah, tenang aja. Ayo naik aja. Astaga... Ini aman, gue yang jamin. Gue kan profesional," Ucap Raka dengan serius,
"Profesional apaan? Dulu aja hampir nabrak aku," ketus Vania mengingatkan kejadian yang lampau.
"Itu kan dulu. Sekarang udah beda lagi. Ayo, naik cepetan!" Paksa Raka sudah tidak sabar lagi dengan tingkah Vania yang lugu itu.
"Iya iya, tapi hati hati. Pelan pelan aja. Aku nggak mau mati muda," sahut Vania sambil naik motor Raka dengan hati-hati.
"Dih, siapa juga yang mau mati muda. Tapi, kalo lo mati muda, di buku Yasin lo fotonya masih cantik dan keren, Van. Hahaha," tawa Raka meledak karena meledek Vania.
"Maksudnya ini kamu mau bunuh aku gitu? Biar mati muda? Biar di buku Yasin nya nanti keren? Astaga Raka!!" Decak Vania memukul mukul punggung Raka.
"Eh, sakit, Van. Astaga, ya ampun nih anak. Gue becanda kali, ya kali gue mau lo mati duluan. Gue nggak mau kehilangan, lo" Ucap Raka secara spontan.
Vania tersenyum mendengar ucapan Raka, walaupun mungkin Raka mengutarakannya dengan spontan dan tidak mau kehilangan dirinya sebagai seorang teman. Tapi, bagi Vania itu adalah hal yang luar biasa. Sekarang Vania pun juga sudah menyadari perasaannya kepada Raka yang memang tidak biasa.
Sebagai seorang perempuan, tidak mungkin bagi Vania untuk mengatakan jujur bahwa dia memiliki rasa kepada Raka. Ia bukan hanya merasa malu dan sungkan, tapi ia juga tidak mau hubungannya dengan Raka menjadi rusak hanya karena sebuah perasaan yang baru hadir.
Terlebih lagi Raka juga belum bisa sepenuhnya menghilangkan kenangan kenangan dari Arin sang mantannya itu.
***
Sesampainya di rumah Raka. Raka memberikan baju ganti milik mamanya. Dia juga menyuguhkan minuman hangat kepada Vania yang terlihat kedinginan karena kehujanan. Vania melihat lihat isi rumah Raka. Hingga dia melihat sebuah foto keluarga yang di dalamnya ada orang tua Raka dan seorang cowok yang umurnya berjarak sekitar 4 tahun dari Raka.
Karena Vania penasaran, tanpa sengaja ia langsung bertanya kepada Raka siapa cowok yang ada di dalam foto keluarga nya itu. Rakapun menjelaskan bahwa yang ada di foto itu adalah Arka kakak kandungnya yang sudah meninggal karena bunuh diri. Arka bunuh diri karena depresi, ia tidak tahan dengan perlakuan orang tua nya yang tidak memperbolehkan Arka menjadi seorang Musisi.
Bagi orang tua Raka, yang terpenting adalah pekerjaan dan pendidikan. Raka pun sebenarnya di karang keras untuk ikut balapan motor. Namun karena Raka terlanjur menyukai hoby nya itu, ia sama sekali tidak perduli dengan larangan kedua orangtuanya itu. Raka hanya berfikir, ia tidak akan seperti kakaknya yang tidak mau memperjuangkan keinginannya sendiri.
Vania mulai merasakan bahwa Raka adalah seseorang yang sangat kesepian tanpa adanya perhatian dari kedua orangtuanya. Vania bisa mengerti bagaimana pentingnya Arin bagi Raka. Mungkin selama ini, Arin lah yang selalu menemani Raka di setiap kesedihannya. Dan itu lah yang membuat Raka sangat sulit melupakan kenangan bersama Arin.
Tiba tiba terdengar suara ketukan pintu. Raka segera melihat siapa yang malam malam datang kerumahnya. Ternyata Dimas, yang ingin meminjam buku tugas fisika pada Raka. Ya itulah kebiasaan buruk teman temannya Raka. Hanya menebeng nilai dan mencontek pekerjaan rumah Raka. Dimas pun kaget ada Vania malam malam di rumah Raka.
"Vania? Kok lo ada di rumahnya Raka malem malem? Hayooo... Pacaran ya?" tukas Dimas menggoda Vania.
"Enggak, kok. Jangan aneh aneh deh kamu, Dim"sahut Vania sedikit kesal.
"Terus ngapain? Oh, Gue tau. Pasti lo juga mau minta contekan ya sama Raka? Ngaku!" Desak Dimas yang membuat Vania merasa semakin kelas.
Ya kali Vania yang pandai itu mencontek, walupun dia kurang ahli dalam menghitung, tapi dia tidak pernah sekalipun untu mencontek. Mungkin dia hanya akan meminta bantuan pemahaman saja, bukan meminta bantu jawaban.
"Terserah deh, Dim. Nggak ngerti aku harus jawab apa kalo ngomong sama kamu. Salah terus," gerutu Vania tak menghiraukan Dimas, dan Raka hanya tersenyum melihat tingkah Vania yang kesal pada Dimas itu.
Dimas pun mengutarakan maksud kedatangannya ke rumah Raka. Raka tak berfikir panjang segera mengambil bukunya meminjamkan nya pada Dimas dan segera menyuruhnya pulang karena dia juga akan mengantarkan Vania pulang. Dimas segera pergi meninggalkan rumah Raka setelah mendapat kan tujuan nya, yaitu buku fisika Raka. Setelah itu, Raka juga berangkat untuk mengantarkan Vania pulang.
"Makasih ya, udah di anterin pulang. Jadi ngerepotin kamu," ucap Vania berterimakasih kepada Raka.
"Gue yang harusnya makasih sama lo, karena lo udah nenangin diri gue..."
Vania hanya tersenyum dan mengangguk kecil.
"Thanks ya, Van. Lo emang temen gue yang paling baik," sambung Raka sambil tersenyum pada Vania.
"Iya, sama sama. Jangan khawatir, semuanya bakalan berlalu kok. Intinya kamu harus tetap semangat," Vania membalas senyuman Raka sambil mengepalkan tangannya memberi semangat.
Raka terkekeh kecil melihat tingkah Vania yang sangat menggemaskan.
"Iya. Ya udah, masuk sana. Gue balik dulu," pamit Raka.
"Iya, hati hati." Pungkas Vania, kemudian segera masuk kerumah.
Raka pun kembali pulang meninggalkan halaman rumah Vania.
***