webnovel

Satu langkah lebih dekat

Hari demi hari, Raka dan Vania semakin dekat. Vania pun benar benar tidak menyangka kalau dia akan jatuh cinta pada Raka temannya sendiri. Vania hanya bisa diam tidak mengungkapkan perasaannya. Dia hanya berharap, kalau suatu saat Raka benar benar sudah melupakan Arin dan menyukai dirinya.

Dara dan Vivi mulai merasakan kalau Vania memang ada rasa pada Raka. Tapi Vania juga belum berani untuk menceritakan perasaannya kepada kedua temannya itu. Vania lebih memilih untuk diam memendap perasaannya sendiri yang tidak tau entah sampai kapan.

Sementara itu, Dimas juga berusaha untuk mendekati Dara. Dimas merasa kalau Dara itu cewek yang berbeda dari yang lainnya. Selain dia tomboy, Dara lah yang paling membenci Dimas. Dara tidak suka dengan cowok yang suka mengumbar kata-kata rayuan gombal pada banyak cewek.

"Hai, Dara..." Sapa Dimas ketika Dara dan teman Vania Vivi makan bakso di kantin.

Dengan santai, Dimas duduk di kursi kosong yang tepat di depan Dara.

Merasa tidak di perduli kan oleh Dara, Dimas pun mencebik kesal. "Cuek banget sih,"

"Lo nggak lihat gue lagi makan? Atau lo mau gue makan sekalia?" Jawab Dara dengan ketus nya.

"Dih, kasar amat ya jadi cewek. Jangan terlalu bar bar kenapa neng?" Sahut Dimas seraya menatap Dara yang sedang makan dan sama sekali tidak perduli dengannya.

"Ra.. Dimas ngajak ngobrol itu, jangan di cuekin kenapa. Kasihan dia," tutur Vania, lalu sedikit menyenggol lengan Dara.

"Apaan sih, Van? biarin aja. Tukang gombal kayak dia mah gausah di tanggap in,"

Dara tetap fokus dengan mangkuk bakso nya. Cewek tomboi satu ini memang sudah sekali di dapatkan hatinya.

"Ra... Dimas lagi berjuang tuh buat ngedeketin lo. PERJUANGIN BALIK KEK GITU!" Teriak Rizki dari belakang Dara yang berjarak sekitar 5 meter darinya.

"OGAH. GUE ALERGI SAMA COWOK YANG BISANYA CUMA NGE-BAPERIN TERUS NINGGALIN!!!," sahut Dara dengan suara yang cukup keras, membuat siswa siswi yang ada di kantin itu memandang kearah nya, namun dia tetap cuek.

"Emangnya lo nggak mau gue bahagia in?" Tanya Dimas pada Dara yang sudah hampir selesai makan baksonya.

"Buah jambu, buah apel. Di bahagia in elu? Hah... sorry nggak level!" Sahut Dara setelah meminum es teh manis dan langsung meninggalkan Dimas dan yang lain.

Spontan semua anak anak yang mendengar ucapan Dara menertawakan Dimas.

Lalu ada yang berteriak padanya. "Makanya jadi cowok jangan kebanyakan ngegombal in cewek!"

"Diam lo daki onta. Syirik aja!" Ketus Dimas kesal.

Dimas  tidak menyerah begitu saja dengan penolakan dari Dara. Ia tetap bertekad untuk mendapatkan cintanya Dara.

***

Selesai dari kantin, Vania dan Vivi menghampiri Dara yang sudah pergi ke kelas lebih dahulu. Kedua siswi itu tersenyum cengengesan sepanjang koridor mengingat kejadian lucu temannya tadi.

Sampai di kelas, Vania dan Vivi mendapati Dara yang sedang fokus pada ponselnya untuk bermain game cacing.

Vivi yang baru saja masuk kelas itu langsung menghampiri dan duduk di samping sahabatnya itu.

"Dih, gak elite banget main game nya cacing begitu," ejek Vivi.

"Gik ilit bingit miin gim cicing," cebik Dara dengan nada menyebalkan nya.

"Ngeselin banget sih jadi manusia!" Teriak Vivi kesal.

Dara terkekeh pelan karena melihat wajah Vivi yang berubah menjadi menggemaskan itu.

"Vi, gak boleh ngomong gitu tau..." Tutur Vania sambil tersenyum cengengesan juga.

Siswi cantik itu menarik kursi dan duduk di samping bangku Dara. Tangannya menyangga dagu dan sesaat kemudian ia tersenyum lebar.

"Memangnya kamu enggak tertarik sama Dimas?" Pertanyaan dari Vania membuyarkan konsentrasi Dara yang sedang fokus meraih Rank 1.

Sedetik kemudian, Dara membanting ponselnya di atas meja dan mendengus kasar.

"Kenapa sih pada nge-rusuhin urusan percintaan gue? Lo juga, Van. Ribet banget nanya-nanya begitu," ketus Dara kesal.

"Y-ya kan aku cuma nanya. Dia baik loh kelihatannya," sahut Vania.

"Cih, baik dari mana nya?"

"Emm, kelihatannya..." Lirih Vania yang sedikit ragu.

"Emang kenapa sih, Ra? Dia kan juga lumayan ganteng? Beneran nggak suka?" Tanya Vivi mengintimidasi.

Dara menggeleng kuat. "Sekali enggak tetap enggak!" Ucapnya tegas.

"Dan kalau kalian berani macam-macam buat bantu dia..." Dara menggantung perkataan nya.

Sementara Vania dan Vivi terdiam takut dan menelan ludah gugup.

"Jangan harap gue bakalan diam aja. Ngerti?" Sambung Dara penuh penekanan.

Kedua temannya itu mengangguk kuat. Mau tak mau harus mengiyakan daripada Dara marah. Itu kan membuat mereka lebih kerepotan.

***

Tak lama selesai berbincang tentang Dara dan Dimas. Raka datang menghampiri Vania sendirian. Entah dimana dengan keberadaan dua sahabatnya yang selalu menempel padanya itu.

Raka berdiri di samping Vania yang masih duduk menghalangi jalan itu. Cowok tinggi dengan rambut hitam lebat itu tersenyum manis.

"Van, nanti pulang bareng gue ya? Gue mau ajak lo ke suatu tempat," ajak Raka begitu saja tanpa basa-basi.

Tak hanya Vania yang terkejut. Tetapi juga Dara dan Vivi.

"Kamu mau ajak aku kemana?" Tanya Vania yang penasaran.

"Rahasia. Mau atau enggak?" Sahut Raka.

Vania mengangguk. "Iya. Tapi, pulangnya jangan terlalu malam ya?"

"Siap." Pungkas Raka sambil mengacungkan jempol nya.

Raka pun langsung duduk di bangkunya dan mengecek notifikasi ponselnya. Sementara Vania diam dan melihat Raka sekilas.

"Lo yakin nggak ada perasaan sama dia?" Ucap Dara yang membuyarkan lamunan Vania.

Vania menghela nafas dan tersenyum palsu. Kemudian mengangguk ragu.

"Kira-kira dia mau ngajak lo kemana ya?" Tanya Vivi penasaran.

"Mana aku tau? Bukannya kamu juga dengar kalau dia jawabnya rahasia?" Sahut Vania sambil berdiri dan beranjak kembali ke bangkunya.

Vivi hanya menyengir kuda. Seharusnya dia tidak bertanya sesuatu yang sudah jelas jawabannya bukan?

***

Sepulang sekolah, ternyata Raka hanya mengajak Vania untuk membeli buku di toko buku dekat sekolah mereka. Sedikit rasa kecewa di hati Vania, tapi dia juga merasa salah. Kenapa harus berharap lebih pada temannya itu?

"Kenapa diam aja? Nggak suka ya aku ajak ke sini? Lo bosan?" Tanya Raka bertubi-tubi yang menyadari sedari tadi Vania menekuk wajahnya bosan.

"Eng-enggak... Kamu santai aja pilih bukunya, aku nggak apa-apa kok," sahut Vania sambil tersenyum tipis.

"Seriusan? Kalau lo bosan, mending gue antar pulang dulu deh. Nggak enak gue sama lo,"

Vania diam tak merespon. Sebenarnya ia senang pergi bersama Raka, tapi apa dia mengacaukan hari ini?

"Nggak perlu, nanti kamu bolak-balik. Lebih baik aku nunggu di depan aja ya. Kamu terusin, aku mau telpon Papa aku dulu,"

Raka mengangguk dan kembali meneruskan aktivitas nya. Sedangkan Vania keluar dari toko sekedar mencari udara segar. Tidak untuk menelepon Papa nya. Ya, sebenarnya itu hanya alasan Vania agar dia tidak terlalu canggung dengan Raka di dalam toko.

Gadis cantik itu berdiri di depan toko sambil menyenderkan tubuhnya pada dinding samping toko buku tersebut. Dari kejauhan ada seorang siswa yang memakai seragam sama dengan nya, sedang memperhatikan Vania dari kejauhan.

"Dia siswi di SMA Harapan Bangsa juga? Kenapa gue nggak pernah lihat?" Gumam siswa itu dan berlalu begitu saja dengan rasa penasaran.

***

Next chapter