Nona merasa tubuh Franz tiba-tiba saja menjauh darinya. Kedua matanya masih terpejam. Nona masih belum berani membuka matanya walau kini tubuh pria kekar itu tidak lagi menyentuh tubuhnya. Namun, suara pecahan kaca membuat Nona terperanjat kaget. Kedua matanya melebar saat melihat kepala Franz terbentur meja kaca hingga membuat meja tersebut retak. Di belakang tubuh pria itu berdiri Leon dengan tangan terkepal kuat dan wajah memerah.
"Beraninya kau menyentuhnya!" teriak Leon dengan wajah tidak terima. Pria itu menarik baju yang di kenakan oleh Franz. Ia ingin melayangkan sebuah pukulan keras lagi di wajah Franz. Bagi Leon, hanya cedera kepala seperti itu saja belum ada apa-apanya.
Tetapi, kali ini Franz tidak mau kalah. Ia segera menangkis tangan Leon dan memelintirnya. Aksi yang dilakukan Franz berhasil membuat Leon memekik kesakitan. Pria itu bahkan tidak lagi waspada saat lutut Franz mendarat di perutnya.
"Hentikan! Apa yang kalian lakukan? Kenapa kalian berkelahi di rumahku?" teriak Nona dengan wajah panik. Wanita itu beranjak dari sofa dan berjalan cepat mendekati Leon dan Franz. Ia berharap besar kalau Franz dan Leon bisa segera menghentikan perkelahian dua pria yang ada di hadapannya.
Bruak
Sekali lagi Franz mendaratkan pukulan di wajah Leon. Kali ini posisinya Leon yang kalah. Pria itu harus merasakan perih di bagian wajahnya. Bahkan sudut bibirnya mengeluarkan darah segar.
"Mas Leon," teriak Nona histeris. Wanita itu berlari kencang mendekati Leon. Ia ingin melidungi Leon dari pukulan Franz yang terkesan membunuh. "Hentikan! Aku akan menghubungi security jika kau tidak mau berhenti!" ancam Nona dengan sorot mata yang tajam.
Waren yang baru saja tiba di dalam apartemen itu segera mendekati Franz. Ia juga tidak ingin atasannya mengalami masalah. Waren merasa sudah sangat ceroboh meninggalkan Franz sendiri hingga beberapa jam seperti ini.
"Tuan, Anda harus mengontrol emosi Anda," ucap Waren sambil memegang lengan Franz. Waren menatap wajah Leon yang sudah babak belur.
Leon bukan orang yang biasa. Bukan hanya di Indonesia saja, di luar negeri sana pria itu juga selalu menjadi pria yang berbahaya. Waren tidak ingin bendera perang antara Leon dan Franz kembali berkibar.
Sudah cukup beberapa tahun yang lalu saja mereka mempertaruhkan nyawa saat bertarung dengan Leon dan timnya.
"Lepaskan!" ketus Franz tidak terima. Pria itu menatap wajah Nona dengan tatapan cemburu. Ia tidak suka Nona ada di dekat Leon. Bahkan memeluknya seperti itu. Terlihat jelas di wajah Nona kalau wanita itu merasa sedih ketika Leon terluka.
Nona membalas tatapan Franz. Kali ini wanita itu tidak lagi mau diam dan terlihat lemah. Ia berdiri dan memandang wajah Franz dengan napas yang tidak karuan. "Pergi dari rumahku!" usir Nona sambil menunjuk ke arah pintu keluar.
Namun, Franz adalah pria arogan yang selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Pria itu berjalan cepat mendekati posisi Nona berdiri dan mencengkram pergelangan tangannya.
"Aku akan pergi, tapi tidak sendiri. Kau harus ikut denganku," ucap Franz dengan tatapan penuh arti.
Leon tidak terima. Pria itu segera mengambil tindakan untuk mencegah Franz membawa Nona. Tangannya juga segera menggenggam tangan Nona dan menatap wajah Franz dengan tatapan yang sangat tajam. "Kau tidak akan bisa membawanya pergi selama aku masih ada di sini!" ujar Leon dengan wajah yang sangat serius. Kedua pria itu saling melempar pandang dan berusaha menarik tangan Nona agar berada di pihak mereka.
Nona yang saat itu ada di tengah-tengah, mulai merasa bingung. Ia tidak tahu harus bagaimana. Baik Leon maupun Franz, bukan pria baik yang layak untuk ia pilih. "Apa yang kalian lakukan? Lepaskan tanganku. Ini sangat sakit," ucap Nona sambil berusaha melepas genggaman pria yang kini mencengkram pergelangan tangannya.
"Kau harus memilih. Aku atau dia!" ketus Franz sambil menatap wajah Nona. Ada penekanan di dalam kalimatnya. Seolah-olah, jika Nona tidak memilihnya malam itu. Maka nyawa Nona tidak akan selamat.
"Dia akan tetap bersamaku. Wanita baik seperti Nona, tidak pantas berada di samping pria brengsek seperti dirimu!" umpat Leon dengan tatapan yang tidak kalah mengerikan dari Franz.
Nona memandang dua pria itu secara bergantian. Pilihan yang sangat sulit memang. Karena pilihan yang menurutnya terbaik kini tidak di tawarkan kepadanya. Nona harus memilih antara dua pria yang kedua-duanya ia benci.
"Aku tidak bisa memilih Franz. Bagaimanapun juga, aku tidak mengenalnya. Dia pria kasar yang memiliki pemikiran mesum. Aku takut berada di dekatnya. Sebaiknya aku memilih Mas Leon saja. Setelah Franz pergi, aku akan mengusir Mas Leon agar pergi meninggalkan apartemenku. Aku sangat yakin, kalau Mas Leon pasti mau meninggalkanku sendiri di sini. Tapi ... jika aku memilihnya, dia akan tahu kalau aku hanya berpura-pura dengan Franz. Ini juga membuat dia menjadi besar kepala nanti. Dia pasti akan mengejar-ngejarku lagi," gumam Anna di dalam hati. Masih dengan kedua tangan terangkat ke samping karena di tarik Franz dan Leon di segala sisi.
Waren menghela napas. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia sangat paham sifat Franz Jika malam itu Nona memilih Leon, maka bukan hanya dirinya saja yang mendapat masalah. Projek kerja sama, pekerjaan Nona, bahkan segala sesuatu yang berhubungan dengan Nona akan menjadi perhatian utama Franz mulai besok. Franz tidak suka penolakan. Pria itu merupakan pria yang suka memaksa dan sangat kasar.
"Leon," jawab Nona mantap. Wanita itu memandang ke depan beberapa detik sebelum ia menatap wajah Franz dengan senyuman kecil. "Pergi dari rumahku dan jangan pernah temui aku lagi."
Waren memejamkan matanya sambil mengatur napasnya yang terhenti secara tiba-tiba. "Habislah sudah," gumamnya di daam hati.
Franz melepas genggaman tangannya begitu saja. Ia memutar tubuhnya tanpa mau mengatakan apa-apa lagi. Nona merasa ada yang salah dengan debaran jantungnya.
Seharusnya ia senang dan bahagia saat melihat Franz meninggalkannya pergi seperti itu. Tapi, tidak tahu kenapa. Nona merasa ada sesuatu yang seolah pergi dari hatinya.
Waren menunduk hormat di hadapan Nona sebelum mengikuti langkah kaki Franz dari belakang. Pria itu juga tidak tahu harus berkata apa lagi. Kini yang ada di dalam pikirannya hanya membujuk Franz agar tidak melakukan hal nekad yang membuat mereka dalam masalah selama ada di Indonesia.
Leon mengukir senyuman kecil. Pria itu memandang punggung Franz yang sudah menjauh pergi dari hadapannya. Rasa perih yang berasal dari luka yang ada di wajahnya tidak lagi terasa. Pembelaan Nona malam itu, seperti sebuah obat yang menyembuhkan rasa sakitnya secara ajaib. Leon menarik tangan Nona yang masih ada di genggamannya.
"Sayang, kau memilihku?" bisik Leon mesra. Pria itu melingkarkan kedua tangannya di perut rata milik Nona. "Aku tahu, kau masih mencintaiku dan tidak peduli padanya. Terima kasih," ucap Leon lagi dengan wajah penuh kemenangan.