webnovel

16. Harapan

Tak salahkan berharap Lauren akan luluh suatu hari nanti?

Tak ada salahnya. Bahkan semua orang berhak berharap. Dan Adam menaruh harapan itu terus menerus dalam setiap doanya. Pria itu berbalik badan ke arah pintu kamar mereka yang terbuka.

Menatap Lauren yang baru bangun dari tidurnya. Gadis itu mengucek matanya.

"Tumben telat bangunnya?" tanya Adam pada Lauren yang menguap lebar tanpa malu sedikitpun.

"Artinya aku tidur nyenyak." Lauren menyahut dengan muka ketus. Membuat ART mereka yang berada di konter dapur melirik sinis ke arahnya.

Seakan tidak senang dengan sikap acuh Lauren pada Adam. Ya, sikap Lauren memang terlalu kurang ajar. Dia lebih cocok disebut musuh ketimbang istri.

"Tadi malam kakak yang nonton tv?" tanya Lauren sembari berjalan menuju dispenser.

Adam mengangguk saja. Dia asik menenggak jus jeruk buatannya sendiri sambil menunggu roti bakar buatan ART-nya matang.

Semalam Adam memilih tidur di sofa ruang tamu dengan serial netflix yang terus menyala. Menontonnya tidur.

Dan pagi ini tubuhnya berhasil bertransformasi jadi pria jompo. Pinggang dan lehernya kaku serta pegal.

"Kakak kenapa jalan begitu? Habis main solo ya?" tanya Lauren asal ceplos saja. Adam menggeleng.

"Solo apaan? Lagu?" tanya Adam polos. Lauren yang mendengar pertanyaan Adam hanya memutar bola matanya dengan muka sebal.

Dia langsung memperagakan apa yang dia maksud sampai air yang Adam minum muncrat.

"Astaga. Aku ketiduran di sofa. Dan sekarang pinggangku sakit. Itu aja, bukan seperti yang kamu maksud!" sergah Adam panik.

Lauren mengulum senyum. Senang menjahili Adam. Dia menuju meja makan dan melihat asisten rumah tangga Adam sudah muncul lebih awal. Bahkan dia selesai menyiapkan sarapan tepat di jam delapan pagi.

Adam menerima piring berisi roti bakar permintaannya. Menyantap dengan lahap tanpa perduli dengan Lauren.

"Kak," panggil Lauren membuat wanita yang berdiri di sebelah Adam menoleh.

"Kakak? Pak Adam sekarang dipanggil kakak sama Nyonya?" tanyanya terlihat sekali kalau dia tidak suka.

Lauren menggigit pipi dalamnya dan memandang sebal ke arah asisten rumah tangga yang belum dia ketahui namanya itu. "Memangnya kenapa? Suka-suka aku."

'Ya ampun, Lauren!' batin Adam sambil terus menguyah makanannya.

"Harusnya Nyonya panggil Pak Adam dengan sebutan lebih mesra dong. Ini suami Nyonya, bukan saudara." Kalimat itu mengandung teguran keras.

Dan bagi Lauren yang memang masih belum dewasa betul, menanggapinya dengan emosi. Dia berdiri dari kursinya. Menatap geram. "Apaan sih? Kok kamu nyolot begitu? Memang salah? Adam aja agak masalah."

Adam masih diam dan tak mau ikut pertengkaran itu. Hingga rotinya habis. Pria itu bertepuk tangan. Memutus rantai kontak mata keduanya.

"Pembantu aja nyolot! Sok!"

"Nyonya gak tahu perasaan Pak Adam, apa? Oh astaga, harusnya Pak Adam menikah dengan Nona Sharon saja!" katanya.

Lauren mengerutkan alisnya. "Makin lama kok kamu makin bikin gemas ya. Kak! Pecat gak!" perintah Lauren.

"Bi Mina, gak apa-apa kok."

Mina yang mendengar hal itu. Hanya bisa mendengus sebal. Dia menatap garang ke arah Lauren. "Nyonya Lauren, saya memang pembantu ya. Tapi, saya diberi hak istimewa di penthouse ini oleh Tuan Eister."

Mina melepas celemeknya. Pamit pada Adam yang hanya mengusak rambutnya asambil tertawa geli.

"Kenapa? Senang ada yang belain  kamu hah?" sergah Lauren. Adam menutup mulutnya dengan kepalan tangan. Lalu mengangguk. Dia berjalan ke arah tangga melingkar yang mengarahkan Adam pada lorong kamar serta ruang kerjanya.

"Kamu lucu banget kalau marah, Lauren."

"Dih? Itu pujian apa cibiran?" gerutu Lauren lalu melangkah menuju kamarnya yang ada di bawah sambil menghentakkan kaki. "Gak napsu gue!"

***

Lauren mendadak kesepian lagi setelah Adam memutuskan pergi ke kantornya. Gadis itu menatap penthouse Adam yang mewah.

"Percuma rumah gede, tapi orangnya gak ada." Lauren menyandarkan tubuhnya ke sofa. Uring-uringan.

Dia belum pergi ke kafe tempatnya bekerja karena pemilik di sana menempatnya di jam kerja malam, jadi masih ada waktu untuk Lauren tidur agar matanya tetap terjaga hingga tengah malam nanti.

Tapi tidur terus bisa membuat punggung Lauren kaku. Dia bangun dan menatap ke lantai dua. Tempat di mana kamar utama sebenarnya. Tapi Adam malah membuat kamar di bawah sebagai kamar utama mereka.

Lauren bangun. "Gue udah beberapa hari di sini. Dan gue belom tahu isi kamar atas. Intip ah," kata Lauren lalu menaiki tangga melingkar yang di atasnya dihiasi lampu-lampu gantung kecil yang mengikuti alur tangga.

Sampai di lantai dua. Dia masuk ke salah satu kamar dan melihat kasur kingsize. Jendela besar berada tepat di depannya. Menunjukkan pemandangan kota yang besar.

Lauren masuk dan duduk di bibir kasur. "Tumben dia gak kunci kamarnya? Apa sengaja ya? Kemarin kan di kunci semua."

Dia merebahkan tubuh di sana. Memejamkan mata hingga tak sadar benar-benar tertidur.

Menjelang siang baru Lauren sadar ketika tubuhnya berguling ke samping dan jatuh ke lantai. Gadis itu mengaduh kesakitan.

Dia bangun. Mengusap pinggangnya yang sakit. "Astaga, aku ketiduran berapa jam?" tanya Lauren lalu melirik ke arah jam dinding.

Matanya melotot. Melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah 12, Lauren lantas berdiri. Berlari menuruni tangga.

Mina yang sedang memasak melirik ke arah Lauren. "Nyonya mau makan dulu?"

Lauren menggeleng cepat. Masa bodoh dengan perutnya yang kosong. Dia masih bisa makan makanan kafe. Itupun kalau sempat.

Mina tak berusaha memaksa. Toh artinya dia tak perlu memasak banyak jika Adam balik siang ini.

Selesai memasak. Mina melihat Lauren berlari dari kamarnya, berlalu pergi tanpa sedikitpun melirik ke arah makanan yang sudah dia sediakan.

"Pingsan pas kerja, baru tahu rasa. Sok-sokan banget!" keluh Mina.

Lauren berlari menuju lift dan menekan lantai yang dituju. Sampai di lobby, dia berlari menuju ojol yang sudah menunggunya di bawah.

"Mas, kafe Angkasa ya."

Ojol itu mengangguk. Melesat pergi membelah jalan raya Jakarta yang mulai padat.

Lauren tahu, kalau dia minta antar Dani sama saja cari mati dengan atasannya yang killer itu.

Sesekali Lauren mengamati jam tangannya. Berharap datang tepat waktu. Dia menepuk pundak si pengemudi ojol. "Mas, bisa ngebut gak?"

"Oke, Valentino Rossie mode on diaktifkan!" katanya membuat Lauren tertawa.

Motor bebek itu melaju kencang. Menyalip sana sini dengan lincah. Sedangkan Lauren berusaha tenang di jok belakang.

Sampai di kafe, Lauren telat lima menit yang artinya dia bakalan dapat hukuman ringan dari atasannya.

Baru sampai depan pintu kafe. Beberapa kawanannya yang sesama orang baru menatap iba pada Lauren.

"Hari ini kamu di dapur."

Lauren mengangguk saja. Dengan cepat memasang celemek dan berjalan riang menuju konter dapur. Dia menatap sang atasan yang menahannya.

"Bukan memasak. Siapa yang percaya dnegan masakanmu? Maksudku di sana."

Lauren mengikuti arah pandangan sang atasan. Melotot tajam melihat tumpukan piring kotor.

"Astaga!" kata Lauren kesal. Melihat  setumpuk piring dan mangkuk kotor. Dia mendesah. "Mending gini aku pilih kerja lain aja."

***

Bersambung