Lauren merasakan lambungnya perih. Mual. Dan pusing. Kakinya keram. Dan rasa lapar menggerogoti perutnya. Mungkin sebentar lagi dia bakalan kena asam lambung.
Bukan bakal lagi. Lauren rasa asam lambungnya naik sudah sedari tadi. Beberapa kali dia meminta bantuan temannya yang baru Lauren kenal. Tapi mereka juga sama sibuknya.
Tumpukan piring makin meninggi dan Lauren semakin pusing. Dia memeluk perutnya. Opsi mengabaikan makanan buatan Mina ternyata punya dampak buruk untuk dirinya.
"Lauren? Kamu baik-baik aja?" tanya sang kawan dengan muka panik.
"Gak. Gak baik. Asam lambungku naik!" kata Lauren sambil meringis. Dia memandang sang kawan.
"Padahal itu ada yang nyariin kamu!" kata kawannya.
"Siapa?"
"Gak tahu. Cowok. Pakaiannya bagus. Pacar kamu?" tanya kawannya memandang Lauren yang kini berdiri dan berlari keluar.
Adam memandang muka pucat Lauren. "Kakak!"
***
Bukan ini maksud kedatangan Adam menemui Lauren di kafe tempatnya bekerja.
Demi Tuhan. Cuma Lauren yang membuat harkat dan martabatnya jadi CEO, hancur luluh lantah di depan wastafel pencucian piring.
Gadis itu merengek minta tolong. Ya, minta tolong digantikan sementara untuk mencuci tumpukan piring kotor di dapur.
"Kakak, nanti aku kasih hadiah deh."
"Cium aku nanti!" kata Adam membuat Lauren yang sedang duduk melahap makanannya melotot tajam.
"Hei. Aku lari ke sini bukan karena mau cuci piring Lauren. Aku ke sini mau nengok keadaanmu." Adam meraih sarung tangan dan menatap jijik.
"Sebentar aja. Aku sedang makan."
Lauren melirik teman-temannya yang curi pandang sama Adam. Ada sedikit kebanggaan juga memiliki pria itu. Sayangnya, Lauren tak mau bilang siapa Adam sebenarnya pada mereka.
Dan mungkin mereka berasumsi kalau Adam itu pacar Lauren. Terserah saja sih. Itu gak penting.
Adam merogoh saku celananya. Mengangkat telepon dari Dani. "Halo, Dan. Tolong handle dulu. Aku sedang sibuk," ucap Adam menatap piring kotor di depannya.
"Ya, tolong ya. Aku akan kembali satu jam lagi."
Adam mengalihkan tatapan pada para gadis di samping Lauren.
"Pacar lo, Lau?" tanya si kuncir kuda yang bertugas memasak di dapur itu. Namanya, Lauren juga belum kenalan.
"Kenapa? Mau minta nomornya? Gak bakalan gue kasih!" kata Lauren membuat Adam mengatupkan bibir menahan senyum.
Lauren juga punya sifat posesif ini, pikir Adam lalu mulai membasuh piring kotor dengan telaten. Ada senyum di bibirnya yang menandakan kalau hatinya lapang melakukan ini, sekalipun setelah ini dia harus kembali berurusan dengan klien di kantornya.
Melihat Adam yang cekatan dan bekerja kerja, Lauren berhenti makan. Memandang pria itu dengan muka terharu. Sejak dulu dia tidak pernah diperlakukan istimewa oleh siapapun.
Dani hanya mengistimewakannya ketika hari ulang tahun atau atas perintah Adam dulu.
Sekarang, mengetahui Adam melakukan ini untuknya di tengah kesibukan yang menghantuinya. Lauren mendadak bersimpati.
Sakit perutnya mereda. Meski tetap ada rasa mengganjal yang membuatnya begah. "Kakak bisa pulang sekarang. Biar aku yang urus sisanya."
"Gak. Ini nanggung. Dikit lagi." Lauren mengambil alih. Membuat tangan keduanya bersentuhan. Adam terdiam. Merasakan sesuatu yang aneh ketika berpandangan dengan Lauren.
"Kenapa?" tanya Adam penasaran kenapa Lauren melihatnya dengan mata berkaca-kaca seperti itu.
"Gak ada apa-apa. Kakak bisa pergi sekarang." Adam mengangguk kemudian mencondongkan kepalanya ke telinga Lauren.
"Bilang kalau bosmu itu galak ya. Biar aku urus." Lauren mendelik.
Dia menyikut pinggang Adam. Membuat pria itu mengaduh dan menabrak wadah peniris piring.
Lauren dan yang lain menganga. Terkejut melihat puluhan piring yang baru saja Adam cuci jatuh.
"Hah...," desah Lauren dengan muka lelah sembari menatap Adam yang sama tercengangnya.
***
Beruntung kalau Adam terlahir kaya dan bisa melakukan hal dengan kekuasaannya. Termasuk mengganti puluhan piring keramik yang dia pecahkan setelah mendapat ultimatum dari pemilik kafe.
"Kenapa juga kamu betah kerja di bawah bos kejam begitu?" tanya Adam pada Lauren yang kini duduk manis di depan meja makan.
Kakinya naik sebelah di atas kursi. "Namanya juga kerja."
"Kamu punya suami kaya. Kenapa masih bersusah payah?" tanya Adam melihat ekspresi kesal Lauren yang begitu kentara.
Dia berhenti melahap mie goreng di piring. "Aku sudah bilangkan! Aku bahkan belum mau menerima pernikahan ini. Kakaksaja yang ngebet!" kata Lauren lalu kembali menyuap mienya.
Adam menelan ludahnya. "Oke, gak masalah. Kalau ada apa-apa, bilang saja padaku."
Terlihat muka pasrah Adam yang membuat Lauren mendengkus. Dia meletakkan garpu dengan tidak santai. Cepat dia memutar tubuh. "Kak! Aku mau kamar di atas."
"Bukannya aku udah tegasin. Kamar kamu cuma di lantai bawah." Lauren memutar bola matanya.
Dan Adam menatap nyalang ke arah Lauren. "Kamu masuk ke kamar atas?"
"Hm, kamarnya bagus. Pemandangannya oke. Kenapa mesti kamar di bawah yang dipakai?" keluhnya.
Adam menyapu wajah dan pergi begitu saja tanpa penjelasan. Dia masuk ke dalam kamar dan duduk di bibir kasur.
Lauren masuk dan berjalan menuju kamar mandi. "Aneh! Kamar itu gak ada hantunya kan? Atau jangan-jangan kamar itu tempat pesugihan?"
Adam terhenyak. Dia memandang Lauren dengan tatapan bingung. Memang, kamar itu baik-baik saja.
Tapi Adam sudah bertekad akan membuat Lauren dekat dengannya. Dan berbagi dalam satu kamar begini, merupakan caranya.
"Kamar atas kecil Lauren. Itu gak akan cukup buat kita." Lauren memiringkan kepalanya.
"Buatku itu cukup."
"Aku bilang apa. Kita harus satu kamar. Aku gak mau kita pisah kamar." Lauren mendecih sebal.
Pintu kamar mandi digebrak olehnya. Membuat tubuh Adam terkesiap. Pria itu menghela napas.
"Apa boleh buatlah!"
Sedangkan di dalam kamar mandi, Lauren melimpahkan kekesalannya lewat berendam air hangat.
Tubuhnya rileks setelah seharian bekerja. Dia menyandarkan punggung di pinggiran bathub. Sebelum akhirnya memejamkan mata dan tertidur.
***
Adam melirik pintu kamar mandi kesekian kalinya. Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Tapi Lauren belum kunjung keluar. Dia mandi nyaris dua jam.
"Dia ngapain sih sebenarnya?" pikir Adam lalu beranjak dari ranjang menuju kamar mandi.
Melihat bagaimana kondisi Lauren di sana. Pintu dengan mudah terbuka. Adam mengernyit. Heran.
"Lauren, kamu baik-baik saja?" tanya Adam mulai cemas. Takut-takut Lauren jatuh dari kamar mandi atau pingsan karena melihat kecoa terbang.
Ketika dia menyibak tirai. Adam menganga tak percaya melihat Lauren tertidur di dalam bathub dengan busa yang sudah menghilang.
Mata Adam tak bisa berbohong untuk tidak menikmati pemandangan di depannya. Tubuh ranum gadis belia di hadapannya terlalu memikat.
Sejenak dia ingin menikmati itu lebih lama. Tapi dia yakin Lauren sudah kedinginan di dalam air. Perlahan dia menguras air di dalam. Memandang tubuh polos di depannya dengan hasrat yang ditahan.
"Sebagai suami, wajarlah ya kalau aku lihat dikit."
Adam mencoba berkoordinasi dengan akal sehatnya. Menekan kuat-kuat segala desakan.
Saat dia merebahkan Lauren ke atas kasur. Adam tak dapat menampik dirinya untuk tidak menjamah Lauren.
"Lauren, sedikit saja ya." Adam mendekat dan menciumnya dengan cepat.
***
Bersambung