Beberapa hari setelah acara pernikahan mereka yang boleh di katakan mendadak, kini mereka telah kembali pada rutinitas semula. Bima menjadi seorang bos dan Sefia menjadi seorang sekertaris bos yang kini merangkap menjadi suaminya.
"Ok. Aku ikuti mau kamu, kita tetap professional. Kamu sekertaris dan aku bos kamu. Tapi…" Bima menjeda ucapannya.
"Tapi apa?"
"Tapi diluar jam kantor bertindaklah sebagai istriku." Lanjut Bima.
Sefia yang sedang mengikatkan dasi pada Bima, menatap penuh selidik. Sefia sangat mengerti tabiat suaminya ini apa lagi setelah beberapa hari mereka tinggal bersama dan hampir selalu melakukan aktifitas bersama.
"Hm." Hanya jawaban itu yang keluar dari bibir mungil Sefia.
Bima tersenyum kecil, sebenarnya Ia keberatan dengan keputusan Sefia yang masih ingin menunda resepsi pernikahan mereka di Jakarta sesuai dengan permintaan kedua orang tua Bima di tambah kini Sefia pun melarang suaminya mengumumkan pernikahan mereka.
Entah apa yang menyebabkan Sefia mengambil keputusan itu Bima sendiri kurang memahami jalan pikiran istrinya ini.
"Selesai, ayo kita sarapan." Ajak Sefia yang langsung membalikkan tubuhnya menuju ke pintu kamar.
Bima menatap pungung istrinya itu dengan tatapan yang sulit diartikan, beberapa hari menikah tak mampu membuat Ia berani untuk lebih berdekatan secara fisik dengan istrinya.
Hanya sekedar mencium kening atau pipi. Saat tidur pun Bima tak berani bertindak lebih walau itu hanya sekedar pelukan.
Sefia sendiri seolah memberi jarak pada mereka, lagi - lagi Bima tak mengerti dengan semua sikap Sefia, walau selama menikah Sefia selalu menjadi istri yang baik, yang selalu melayani setiap kebutuhannya.
bagaimana mereka akan memulai hubungan jika mereka masih menjaga jarak?
"Mana Bima?" Tanya Mama Sandra.
"Sebentar lagi turun mah.."
"Oya sudah."
Benar saja, tak lama kemudian Bima turun dengan wajah tampan dan segar. Sefia lalu mengambil kan nasi beserta lauk untuk suaminya itu.
"Sudah cukup, sayang." Ucap Bima sontak saja wajah Sefia memerah seketika. Sedangkan Bima sengaja memanggilnya sayang berharap ini sebuah awal untuk memulai hubungan yang baru.
"Perasaan tadi tomat ada di dalam mangkok sayur, kenapa sekarang pindah ya?" Celetuk Camel.
"Pindah kemana maksud kamu mel?" Tanya Mama Sandra yang tak mengerti maksud anak gadisnya yang hendak menggoda kakak ipar.
"Tuh! Pindah ke pipi nya kak Sefia.." Jawab Camel sambil tertawa.
Sontak semua orang menatap pada SEfia yang langsung menundukkan wajahnya.
"Kamu itu suka banget godain orang." Ucap Mama Sandra.
Camellia hanya tersenyum lebar, Ia memang terkenal jahil pada siapa pun.
Acara sarapan pagi yang di selingi obrolan ringan pun kini usai, semua kembali pada aktifitasnya masing – masing. Sefia berangkat ke kantor bersama Bima, Bratasena dan mama Sandra pergi ke Butik milik mama Sandra. Sedangkan Camelia pergi ke kampusnya.
"Selamat pagi, pak." Sapa sekuriti kantor sambil membukakan pintu mobil untuk Bima.
"Pagi…" jawab Bima singkat.
"Selamat pagi, mbak Sef…"
"Pagi Pak." Jawab Sefia ramah.
"Mbak Sef! Ada kiriman buat mbak Sef…" Kata Padmo sambil berlari kecil menuju ke arah Sefia.
Bima menatap Padmo yang berlari ke arah Sefia yang berdiri di belakangnya. Netra Bima beralih pada bungkusan besar yang ada ditangan Padmo.
"Dari siapa?" Tanya Sefia lembut.
Kini Bima menatap Sefia dengan dahi berkerut. Selama ini Bima tak pernah memperhatikan interaksi Sefia dengan karyawan yang lain. Bima tak menyangka ternyata Sefia bisa berkata selembut itu. Apa selama ini Ia judes hanya dengan dirinya?
Bima hendak menanyakan dari siapa kiriman tersebut namun tiba – tiba saja…
"Mas boosss…" suara Emon melengking dengan gaya nya yang khas mendekat kearah Bima sedangkan di sampingnya ada Andika yang memasang wajah cool.
Tiinngg
Bunyi lift terbuka, tanpa bicara apapun Bima beserta kedua asistennya masuk ke dalam lift meninggalkan Sefia yang masih bercakap dengan Padmo sang office boy.
"Ga nunggu istri lo?" Tanya Andika yang berdiri tepat di samping Bima.
"Tidak."
"Kenapa? Ga takut dia di ambil orang?" Andika sengaja memanas – manasi Bima yang kini menoleh menatap Andika tajam.
"Siapa yang berani mengambil istri di kantor suaminya sendiri?" Sergah Bima.
Andika tersenyum kecil, "Ingat! Di kantor ini belum ada yang tahu perihal pernikahan kalian."
Bima tak menjawab, namun di hati kecilnya terbersit rasa khawatir dan cemburu. Apa yang di katakan Andika memang benar adanya, apa lagi beberapa kali papanya sering memperingati Bima jika banyak koleganya yang tertarik pada Sefia yang selalu sopan dan bersikap lembut.
Bahkan dulu Bima tak percaya jika Sefia bisa bersikap dengan lembut.
Sementara itu Sefia sedang berada di dalam lift yang berbeda menuju ke lantai yang sama dengan Bima.
Sefia masuk ke ruangannya dengan membawa bungkusan yang tadi Ia terima dari Padmo.
Dengan rasa penasaran yang tinggi Ia langsung membukanya.
"Reza Fahlevi." Gumam Sefia sambil mengingat siapa gerangan sang pemilik nama itu, lalu Ia tersenyum.
"Masih saja dia mengejar ku…" Sefia menggelengkan kepalanya. Masih ingat betul kejadian beberapa bulan yang lalu saat Ia menemani Bratasena meeting di kantor Reza.
Dengan terang – terangan pengusaha muda itu mengatakan perasaannya di hadapan Bratasena .
"Kapan dia akan menyerah?"
"Saat ia tahu jika kau istriku."
Sefia mendongak. Suara dingin Bima mengagetkan Sefia yang sedang menunduk hendak menaruh bungkusan itu di kolong meja tanpa berniat melihat apa saja yang ada di dalam bungkusan itu.
"Berikan padaku!" kata Bima dengan nada dingin dan tatapan mata tajam.
Sefia susah payah menelan Salivanya, lalu menyodorkan bungkusan dengan ukuran cukup besar itu pada Bima.
Bima mengambil bungkusan itu dari Sefia lalu menyerahkannya pada Andika yang berdiri di belakangnya.
"Buang!"
"Baik Bos."
"Kok dibuang?" protes Sefia.
"Jadi kau ingin menyimpannya?"
Sefia tergagap,"Bukan begitu, tapi…"
Bima memicingkan matanya, "Lalu?"
"Sayang kan mubadzir…"
"Alasan! Katakan saja kalau kamu ingin menyimpannya."
Sefia hanya menarik nafas panjang, tanpa membalas ucapan Bima padanya.
"Aku tak suka kau menerima apapun selain dari diriku!" Ucap Bima lalu pergi menyusul Andika yang telah lebih dulu pergi dengan membawa bingkisan dari Reza.
"Selidiki siapa yang mengirimkan itu pada Sefia." Ucap Bima dingin, dan Andika hanya mengangguk paham namun hatinya bersorak, Andika yakin jika Bima mulai mencintai Sefia. Ini akan mempermudah Bima menghapus nama Laura dari hatinya.
"Kamu kenapa Sefi?" Tanya Emon yang baru saja keluar dari ruangannya dan melihat wajah Sefia yang murung.
"Ga apa – apa." Jawab Sefia dengan malas.
"Ga apa – apa kok wajah you kusut amat.."
Sefia menarik nafas panjang, "Lagi butuh kopi item tanpa gula."
Emon menggelengkan kepalanya, "Kopi item tanpa gula? Pahit ciiinnn…"
"Iya karena manisnya udah nemplok di wajahnya Sefia." Ucap Aditya, sepupu Bima yang menjawab sebagai direktur keuangan.
"Bisa aja ye ngerayu, denger Bima mampus ye…"
Aditya tersenyum lebar, "Memangnya kenapa kalau Bima tahu lagian dia udah nikah."
Aditya memang belum mengetahui siapa istri sepupunya itu, Aditya berada dibluar kota selama dua minggu dan pagi tadi baru tiba di Jakarta.
"Emang Ye ga tahu siapa istrinya Bima?"
"Enggak!" Jawab Aditya sambil menggeleng tegas.
"Dia!" Sahut Emon sambil menunjuk wajah Sefia dengan jari lentiknya.
"Hah!"