22 Sekelumit Kisah

"Kak, nanti kalau sudah besar apa kita akan menjadi pengantin sungguhan?" Tanya bocah kecil yang mengenakan kerudung berwarna putih dan duduk bersila di depan seorang laki – laki kecil yang sedang merapikan rambutnya dengan sisir.

"Tentu saja, kita akan menikah dan kau akan menjadi pengantinku." Jawab laki – laki kecil itu.

"Sungguh?"

"Kakak tidak bohong kan?"

"Tidak! Kapan aku pernah bohong padamu, sekarang tugasmu adalah berdiri tepat disisi ku dan genggam tanganku erat."

"Mengapa begitu?"

"Ya karena kau pengantinku."

"Baiklah."

"Hai Dika! Kau harus menjadi saksi ku."

"Saksi apa?" Tanya laki – laki kecil bernama Dika.

"Dasar kendi! Ya jadi saksi bahwa aku akan menikahi dia."

Andika terus terngiang dengan ingatan di masa kecil mereka yang bahkan tak diingat sedikitpun oleh Bima. Helaan nafas panjang seiring dengan jemarinya yang sedang memainkan sebatang rokok di balkon hotel.

"Andika."

Sontak Andika menoleh dan terlihat laki – laki paruh baya yang berjalan pelan ke arahnya.

"Om…"

"Kamu melamun?" Tanya Bratasena lalu duduk di bangku yang tersedia di sana.

"TIdak."

"Tapi sejak tadi kau tidak mendengar saat aku mengetuk dan memanggilmu."

Andika menunduk, lalu menoleh pada laki – laki yang dianggapnya sebagai ayah sejak kematian kedua orang tuanya.

Andika tersenyum kecil, lalu menyandarkan tubuhnya pada dinding balkon menghadap pada Bratasena.

"Sampai kapan Bima tak mengingat masa kecil kami, Om?" Andika menunduk dengan wajah sendu. Ingin sekali Ia kembali mengenang masa kecil mereka ketika masih berada di Yogyakarta. Masa kecil yang indah bersama Bima dan Sefia.

"Sefia pun tak mengingatku, apa mereka berdua hilang ingatan?" Ini bukan sebuah pertanyaan namun lebih mengarah pada keputus asaan karena tak mampu menggapai kedua sahabatnya dengan utuh seperti dulu.

"Sefia pasti sudah lupa dengan kenangan kecilnya, maklum lah saat itu usianya memang masih sangat kecil, dibangdingkan kalian berdua." Bratasena tampak menarik nafaspanjang lalu menghembuskannya perlahan.

"Sedangkan Bima, Om sendiri tidak tahu kapan Ia akan kembali megingat masa kecilnya. Benturan yang terjadi kala itu menimbulkan trauma yang sangat besar pada BIma, itu yang membuat dia seolah tak mau mengingat masa lalunya, dan menganggap itu hanya halusinasi saja."

Lagi – lagi helaan nafas yang terlihat dari tubuh renta itu, mungkin di dalam kepalanya kini sedang mengingat peristiwa yang membuat anaknya menjadi kehilangan separuh dari ingatannya.

"Kita harus bersabar, yang jelas kini mereka sudah menjadi sepasang pengantin sungguhan." Ucap Bratasena dengan terkekeh walau tersirat kesedihan disana.

"Lalu bagai mana dengan Laura, Om? apa yang om lakukan terhadap gadis itu?" Tanya Andika lalu menyesap rokok yang terselip diantara jemarinya.

"Om hanya menyuruhnya untuk pergi meninggalkan Bima, dan mengancamnya untuk tidak menampakkan wajahnya lagi di hadapan Bima."

"Bagai mana jika suatu saat Laura kembali? Dan bagai mana jika Bima tahu jika Om yang menjauhkan Laura darinya?"

Bratasena menatap Andika lekat – lekat, "Maka, tidak ada yang bisa kita perbuat kecuali mengatakan yang sebenarnya pada Bima."

"Justru itu yang saya takutkan, Om."

"Maksudmu?"

"Aku takut itu justru akan menjadi boomerang untuk kita dan akibatnya akan buruk juga untuk Sefia, jika Bima masih belum mengingat siapa Sefia."

Bratasena nampak berpikir, lalu beberapa menit kemudian, "Disaat itulah kau haruskembali membantu Om."

"Istirahatlah ini sudah malam, besok kita harus kembali ke Jakarta. Tugasmu telah menunggu." Ucap Bratasena seraya berdiri dari posisi duduknya dan melangkah masuk ke dalam kamar Andika sebelum membuka pintu menuju ke luar kamar.

Sepeninggal Bratasena, kembali Andika merenungi kehidupannya dan BIma. Selama ini Bima hnaya mengenalnya sebagai temannya selama bersekolah tifak lebih dari itu, karena memang Andika dan semua orang yang berada di samping Bima tak ingin mempersulit kinerja Otak Bima untuk mengingat siapa Andika, dan mengapa kedua orang tuanya sangat menyayangi Andika sama halnya dengan menyayangi dirinya.

"Aku harap kau segera mengingat kembali masa lalu mu, Bima. Aku tak ingin kamu terjebak dalam ilusi. Laura bukanlah Sefia."

Di sudut lain kota Jakarta, seorang gadis sedang juga sedang berdiri di teras kamarnya yang langsun menghadap ke kolam renang pribadi miliknya. Laura Anastasia.

"Bima, apa kabarmu sekarang? Salahkah bila hingga saat ini aku masih mencintaimu dan mengharapkanmu." Gumam Laura lalu meneguk minuman yang ada di tangannya.

"Hah…"

"Mama…!" teriakan sang bocah membuyarkannya dari lamunan. Senyum kecil yang selalu menjadi moodboosternya kini berdiri di ambang pintu kamar lalu segera berlari kecil menghampirinya saat laura melambaikan tangan.

"Hai Boy…" Laura begitu gemas dan langsung mencubit pipi gembul putranya itu.

"Apa kamu senang hari ini?" Tanya Laura dengan nada lembut dan anak itu hanya mengangguk seperti biasanya.

Ya, anak laki – lkai itu bukan tidak bisa berbicara tapi entah mengapa semenjak Ia masuk ke play group justru sang putra enggan bicara padanya.

Laura bukan tidak tahu sebab putranya itu tak mau mengatakan apapun padanya, namun Ia sendiri pun bingung harus mengatakan apa pada sang putra, jika setiap permasalahan yang mereka hadapi adalah tentang ayah biologis si 'Boy'.

"Mama, aku ingin bertemu papa." Bisik Boy dalam hati sedangkan matanya menatap lekat pada Laura. Dan seakan tahu apa yang sedang di pikirkan sang anak, Laura dengan seulas senyum lembut membelai pipi boy, "Kita akan bertemu dengan papa suatu saat nanti, mama janji." Ucap Laura seketika laki – laki kecil itu memeluk erat tubuh ramping Laura.

"Harusnya kau mengatakan pada papa, siapa laki – laki itu yang telah menghamilimu, pasti boy tidak akan merasakan seperti ini." Ucap laki – laki paruh baya yang tidak lain adalah papa Laura.

"Maaf…" hanya kata itu yang bisa Laura ucapkan, tak akan mungkin ia mengatakan siapa ayah biologis anaknya itu.

"Sampai kapan kau akan menyembunyikannya pada papa Laura?"

Lagi – lagi Laura hanya bisa diam, dan tak menjawab pertanyaan dari sang papa. Hatinya berkecamuk Ia takut akan terjadi hal buruk jika Ia memberi tahu siapa nama laki – laki yang telah menanamkan benih di rahimnya beberapa tahun lalu.

"Sudahlah! Besok kau tolong hadiri pertemuan dengan kolega papa, ini sangat penting untuk membahas kerjasama perusahaan kita dengan perusahaan beliau. Papa tidak bisa menemanimu, kau tahu sebabnya bukan?"

"Iya pa, besok Laura yang akan datang."

"Baiklah, istirahatlah ini sudah malam, biar boy bersama papa dan mamamu."

Laura hanya mengangguk pelan, beruntungnya Ia mempunyai keluarga yang masih menerimanya dan juga anaknya setelah apa yang Laura lakukan di masa lalu.

Laura hanya mendesah nafas berat berharap dapat sedikit meringankan rasa sesak di dadanya. Seandainya seandainya dan seandainya yang kini selalu terngiang di kepalanya sebagai rasa penyesalan yang mendalam.

"Bima…"

avataravatar
Next chapter