webnovel

Wanita Sang Boss

Meta, seorang perempuan berusia 34 tahun yang masih lajang. Dia adalah lulusan terbaik di kampusnya, dengan segala predikat sempurna yang melekat pada dirinya. Namun, karena hal itulah membuatnya kesulitan mendapat jodoh. Hingga berkali-kali, tawaran perjodohan selalu gagal di tengah jalan. Rasa frustasi Meta akan jodoh, ditambah dengan keluarnya dari perusahaan, membuatnya semakin dilema. Hingga suatu hari, Kinan--teman satu kos Meta memberikan informasi jika di perusahaannya sedang membutuhkan seorang sekertaris kompeten. Tak butuh waktu lama, akhirnya Meta pun diterima kerja di sana. Dan siapa sangka, perusahaan maju, bergengsi itu dipimpin oleh seorang lelaki muda. Yoga, bos perusahaan itu, adalah jenis pria yang kolot dan selalu semua berjalan dengan sempurna. Kekolotannya sering membuat Meta keteteran dibuatnya. Hingga akhirnya, perdebatan-perdebatan kecil yang menjadikan mereka terbiasa, tak bisa lepas satu sama lain, dan menimbulkan getaran-getaran aneh di hati Meta.

PrincesAuntum · Ciencia y ficción
Sin suficientes valoraciones
1035 Chs

Bukan Homo

Yoga masih terdiam di kursinya, melihat Fabian berkali-kali menuang bir ke dalam minumannya kemudian meneguknya dengan sangat cepat. Sesekali, ia melihat Fabian tampak menahan napas, seolah-olah rasa terbakar itu tampak menyengat tenggorokannya. Untuk kemudian, Fabian berdecak, sambil terus menjejali mulutnya dengan minuman berakohol itu. Yoga meraih satu gelas bir yang sedari tadi ia abaikan, meneguknya kemudian kembali diam. Memerhatikan orang-orang di sekelilingnya yang sudah tampak sibuk dengan kegiatan mereka sendiri. Seperti halnya bartender yang ada di depannya ini, benar-benar sangat sibuk melayani pelanggan yang tampak begitu ramai.

"Lo seorang bos, gue lupa. Berada di tempat keramaian seperti ini pasti bikin lo harus jaga sikap. Hati-hati, agar nggak ada bahan gosip yang nantinya akan menjadi santapan lezat bagi pesaing bisnis lo," sindir Fabian. Tentu dengan senyumannya itu.

Yoga meletakkan kedua tangannya di atas meja, kemudian dia memiringkan wajahnya ke arah Fabian yang masih menikmati minumannya. Laki-laki di sampingnya ini jelas adalah peminum yang ulung, lihat saja sudah habis beberapa botol pun dia masih tampak dengan tenang menguasai dirinya.

"Tentunya kamu juga tahu, aku tidak suka minum...," ujar Yoga kemudian. "Jadi, apa yang akan kamu katakan? Jika tidak ada aku akan pulang," katanya kemudian.

"Lo udah kayak laki-laki yang ditunggu istrinya di rumah aja. Heboh banget pengen pulang," kata Fabian lagi. Yoga hanya tersenyum tipis, saat bayangan Meta melintas di benaknya.

"Tentang ciuman kemarin, gue nggak sepenuhnya nyalahin elo. Hanya saja gue heran, dari sekian laki-laki yang ada di pesta saat itu, kenapa Meta milihnya elo? Bukankah seharusnya itu gue? Gue yang paling dekat dengannya, kan? Dan gue yang berjasa pada pekerjaannya, kan? Kalau bukan karena gue, mana mungkin dia bisa jadi sekertaris lo sekarang. Lantas, kenapa dia malah nyium elo? Dia cukup pintar untuk mengambil keputusan sebesar itu, kan? Elo adalah pemilik perusahaan itu, elo adalah seorang bos. Bagaimana bisa seorang karyawan biasa nyium bosnya di depan umum?"

Mendengar serentetan ucapan Fabian, Yoga langsung menyambar lagi minumannya. Meneguknya dengan cepat kemudian menaruh gelas kristal yang telah kosong itu di meja.

"Masalah itu aku juga ingin mengatakan sesuatu kepadamu...," katanya kemudian, setelah bisa mentralkan rasa panas yang merajai tenggorokannya. "Aku tahu kamu suka sama Meta, tapi kurasa caramu mendapatkannya benar-benar salah,"

"Salah? Tahu apa lo ama cara mendapatkan cewek yang bener? Elo aja dari kecil sampai sekarang nggak pernah pacaran. Nggak usah menggurui gue, Ga,"

"Aku tidak mengguruimu. Hanya saja, dengan mengorbankan teman-temannya untuk mencapai ambisimu bukankah itu sesuatu yang picik?" kata Yoga lagi. Kini Fabian terdiam, kemudian dia tersenyum kecut. "Dan aku tahu, jika salah satu dari teman Meta bahkan adalah sahabat dekatmu, kan? Bagaimana perasaan kekasihnya jika tahu kamu perempuan itu ciuman dengan laki-laki lain? Meski itu menurutmu hanyalah sebuah... game."

Lagi Fabian tampak tersentak, untuk kemudian dia menundukkan wajahnya dalam-dalam. Menggenggam erat gelas kristal yang ada di tangannya seolah ingin ia remas sampai hancur berkeping-keping.

"Kamu tentunya juga tahu, baik Meta, dan teman-temannya bukanlah jenis perempuan murahan yang sering kamu goda-goda. Yang akan menyerahkan segalanya hanya karena kamu seorang Fabian. Laki-laki kaya raya, seorang direktur, dan memiliki wajah tampan. Mereka adalah perempuan-perempuan yang memiliki harga diri juga kehormatan. Dan kamu sudah melukai harga diri dan kehormatan mereka sampai di titik itu. Terlebih di depan banyak orang."

"Gue di sini ingin dapetin ketenangan. Malah lo ceramahin panjang lebar, Ga. Sejak kapan lo jadi cerewet kayak Eyang? Gue rasa lo salah minum obat sebelum datang ke sini," kilah Fabian.

Yoga kemudian bersedekap, dia diam, dan tak mengatakan apa pun lagi. Menikmati suasana bising dari bar yang menjadi tempat Fabian ingin menyelesaikan masalahnya.

"Gue pinjem ATM elo boleh?" tanya Fabian.

Tak menjawab, Yoga pun langsung merogoh saku celananya. Mengambil salah satu kartu dari dompetnya kemudian dia berikan kepada Fabian.

"Sandinya kamu tahu," katanya kemudian. Fabian pun mengangguk. "Mau kuantar pulang atau pulang sendiri?" tanya Yoga kemudian.

Fabian lantas menggeleng, seolah mengatakan jika dia masih ingin berada di sana lebih lama lagi. Membuat Yoga bangkit dari duduknya, setelah membayar minumannya beserta minuman Fabian.

"Oh, ya, Ga...," kata panggil Fabian saat Yoga hendak melangkah pergi. Yoga memiringkan badannya, menyipitkan matanya melihat ke arah Fabian. "Gue juga heran satu hal, malam itu Meta nyium elo. Lalu, kenapa lo bales ciuman Meta dengan begitu panas. Apa lo tertarik juga dengannya?" tanya Fabian dengan senyuman kecutnya.

Yoga lantas pergi, tak menjawab ucapan Fabian dengan sepatah kata pun. Dan entah kenapa, pertanyaan Fabian benar-benar mengusik ketenangannya.

*****

"Pak Yoga, ini ada beberapa berita tentang Bapak hari ini...," kata Pak Cipto setelah masuk ke dalam ruangan Yoga sambil membawa beberapa koran, juga majalah.

Sementara Meta hanya bisa melirik, dan mempertajam pendengarannya dengan apa yang dibahas oleh Pak Cipto.

Yoga mengambil beberapa dari koran, dan majalah itu, kemudian dia menaruhnya kembali. Sementara layar laptopnya menampilkan beberapa situs berita dengan judul serupa.

"Foto Bapak di toko perhiasan beberapa waktu yang lalu telah menjadi perbincangan hangat beberapa hari ini di media bisnis. Mereka menerika jika Bapak berkunjung ke sana adalah untuk membelikan perhiasan untuk kekasih Anda. Dan itu juga yang menjadi banyak tanda tanya di kolom komentar netizen. Mereka mulai bertanya-tanya apa benar jika kekasih Bapak adalah seorang pria. Sebab, yang menyukai perhiasan umumnya adalah kaum wanita," jelas Pak Cipto.

"Lalu?" tanya Yoga lagi, sambil mengelus dagunya.

"Lalu acara ulang tahun kemarin, rupanya ada beberapa karyawan yang mengambil foto Mbak Meta juga Pak Yoga, dan menyebarkannya di group chatting. Hingga foto tersebut lolos keluar, dan menjadi perbincangan lagi. Untung waktu itu suasana kurang pencahayaan, dan pengambilan foto pun sangat amatir, sehingga sosok Mbak Meta menjadi bahan perbincangan dan membikin para netizen penasaran."

"Tapi, apakah ada salah satu karyawan kita yang membocorkan tentang identitas Meta?" tanya Yoga pada akhirnya.

"Tidak, Pak."

Yoga kemudian tersenyum tipis, kemudian dia merebahkan punggungnya di kursi. Meraih dokumen-dokumen pekerjaannya, kemudian membacanya dengan seksama.

"Bapak tidak meminta saya untuk menarik berita ini, atau untuk melakukan tindakan hukum, Pak?" tanya Pak Cipto kebingunga. Ekspresi tenang Yoga dengan berita ini benar-benar berbeda dari biasanya.

"Kasihan mereka mencari nafkah. Lagi pula, berita itu tidak cukup buruk. Tak seburuk saat aku diberitakan sebagai seorang gay selama ini, kan?" ucapnya. "Kamu boleh pergi. Hari ini Hardi akan datang, suruh dia segera menemuiku saat sampai."

"Iya, Pak,"

Setelah mengatakan itu Pak Cipto langsung pergi, namun sebelumnya dia melirik ke arah Meta yang menundukkan kepalanya dalam-dalam karena malu. Lagi, Pak Cipto tersenyum, kemudian dia memandang bosnya itu dengan senyuman yang sama.

"Maafkan saya, ya, Pak. Karena saya, Bapak jadi bahan gosip," kata Meta setelah kepergian Pak Cipto.

Yoga langsung berdiri, duduk di sofa sambil melambaikan tangan kepada Meta. Memberi isyarat untuk Meta mendekat ke arahnya, dan duduk di sampingnya.

"Maaf saja tidak cukup," katanya kemudian.

"Lalu?" tanya Meta kebingungan.

"Aku ingin yang lain."

"Apa?"