Mendapat pertanyaan itu Yoga kembali tersenyum, kemudian dia memandang Meta dengan seksama.
"Kenapa bisa kamu," kata Yoga ambigu. Yang berhasil membuat Meta semakin bingung dibuatnya. Tapi, Yoga tak peduli, apakah ucapannya membuat Meta mengerti, atau tidak. Yang dia inginkan hanyalah, mengatakan apa yang ingin ia katakan. Itu saja, sudah cukup.
"Kenapa?" tanya Meta lagi, agaknya dia sangat penasaran dengan apa yang dimaksud oleh Yoga.
"Tidak."
"Apaan deh," dengus Meta, wajah sumringahnya tiba-tiba berubah menjadi cemberutan karena sudah merasa benar-benar sebal. Andai saja dia berani, dia pasti akan menjitak Yoga. Hanya saja, siapa yang akan berani melakukan itu kepada bosnya? Tidak ada.
"Tidak ada."
"Nggak jelas,"
Yoga tak menjawab ucapan Meta, dia malah menyandarkan kepalanya di bahu Meta. Memejamkan matanya sesaat, mencoba menenangkan otaknya yang selama ini terasa panas. Jujur, dia sangat lelah. Bukan hanya otak, tapi semuanya. Dia ingin untuk sebentar saja, ingin melupakan pekerjaan, dan ingin melupakan segala beban yang membuatnya pengap.
Sementara Meta memilih diam dengan kaku, dia sungkan, tapi juga tahu jika mungkin bosnya sekarang ini sedang butuh waktu istirahat sejenak, dari peliknya dunia bisnis yang terlihat tampak benar-benar berat. Ditambah apa yang telah diucapkan oleh Pak Cipto, jika beberapa pemilik saham sedang melakukan ancang-ancang untuk menjatuhkannya. Pasti, bosnya ini benar-benar berada dalam situasi yang sangat rumit.
"Awalnya perusahaan ini adalah milik Kakek...," kata Yoga yang berhasil membuat Meta terjingkat. Karena setelah kediamannya yang cukup lama, tanpa aba-aba Yoga bersuara begitu saja. "Kemudian saat itu perusahaan mulai bangkrut, dan Kakek jatuh sakit. Kakek menyuruh Ayah untuk mengambil alih posisinya. Tapi Ayah tidak mau. Ayah lebih suka menjalani pekerjaannya sendiri, dan tidak mau terlibat dalam mengurus pekerjaan yang nantinya akan membuatnya pusing. Ayah adalah salah satu guru besar di Universitas negeri ternama di Indonesia...," kata Yoga, seolah tengah menyindir Meta.
Meta langsung memekik, jika benar Ayah dari bosnya adalah salah satu guru besar. Apa artinya jika Ayah dari bosnya ini dulu adalah dosennya? Tapi, saat dia memiliki pikiran macam itu, buru-buru Meta menepisnya. Dosen di Indonesia banyak, pasti Ayah bosnya adalah dosen yang mengajar kampus lain. Lagi, Meta kembali mencerna ucapan Yoga. Sangat jarang untuk seorang kaya memanggil orangtuanya dengan sebutan Ayah. Terutama, dia baru tahu jika Ayah bosnya adalah seorang dosen. Meta bisa mati kutu, jika benar apa yang ia pikirkan itu adalah kenyataan. Mau ditaruh mana mukanya setelah semua hal yang dia alami bersama Yoga. Kumpul kebo, melakukan hal tak seno-noh, dan yang penting adalah reputasinya sebagai mahasiswi paling berprestasi, paling memiliki karakter dan perilaku yang baik, akan lenyap hanya dengan sekejap mata.
"Karena Kakek memerlukan banyak dana untuk menutupi kebangkrutan, dan membayar karyawan akhirnya Ayah, dan Paman-Paman memberikan bantuan finansial. Dengan berbisnis membeli saham milik Kakek, dan beberapa saham yang dilepas oleh pemiliknya. Kebetulan Ayah memiliki dana lebih waktu itu, jadi secara tidak langsung bagian yang diberikan Kakek untuk Ayah ditambah beberapa saham yang telah dibeli Ayah membuat Ayah menjadi pemilik saham terbesar di sini. Dan karena aku sayang sama Kakek, juga penasaran dengan bisnis ini, pelan-pelan aku belajar dari Kakek untuk mengolah perusahaan ini. Perlahan perusahaan ini pun mulai bangkit, kemudian bisa berdiri kembali sampai seperti sekarang,"
Mendengar cerita Yoga membuat hati Meta bergetar. Bagaimana bisa orang-orang yang setelah perusahaan ini menjadi sukses lantas mereka berlomba-lomba untuk menyingkirkan Yoga. Orang yang sedari bawah membangkitkan lagi perusahaan ini dengan kerja kerasnya. Ini benar-benar sangat tidak adil untuk Yoga. Bagaimana bisa mereka seperti itu? Lagi, Meta melirik ke arah wajah Yoga, yang kini tampak memejamkan matanya. Sekarang dia agaknya tahu, sifat dingin, dan angkuhnya, sikap keras dan seolah dia adalah yang paling sempurna. Semuanya adalah kedok, semuanya adalah topeng. Atau malah, karakter itu tanpa sengaja terbentuk karena semua tekanan, dan beban hidup yang Yoga hadapi. Kini Meta agaknya tersenyum kecut, dia baru tahu jika ada anak manusia yang memiliki beban seberat itu. Jika dipikir-pikir, bebannya dibandingkan dengan beban hidup Yoga tidaklah ada apa-apanya. Tapi faktanya, hampir setiap waktu Meta selalu mengeluh, dan selalu berpikir seolah dirinya adalah makhluk yang paling menderita di seluruh dunia.
"Aku nggak ngerti, kenapa banyak sekali orang-orang yang membencimu?" kata Meta pada akhirnya.
"Mereka tidak membenciku. Hanya saja mereka ingin merasakan berada di posisiku. Kurasa sebagai manusia, rasa penasaran dan tidak pernah merasa puas adalah hal yang lumrah," terang Yoga. "Lagi pula, siapa yang tidak ingin sebuah jabatan tinggi, sebuah kehormatan, dan uang banyak? Semua orang pasti menginginkannya, kan? Bahkan semua orang bekerja banting tulang dari pagi sampai pagi untuk apa? Untuk itu,"
"Lalu kalau mereka bisa ngerebut posisimu sekarang gimana?" tanya Meta lagi, dengan hati yang semakin gusar. Terlebih mendengar jawaban Yoga yang tampak begitu santai menyikapi masalah ini.
"Aku tidak pernah melarang siapa pun mengambil posisiku. Tapi setidaknya, dengan cara yang baik dan benar. Bukan dengan melakukan fitnah-fitnah kotor seperti ini."
"Tapi aku nggak rela," celetuk Meta pada akhirnya.
"Kenapa? Apa aku tak keren lagi kalau tidak menjadi bos?" tanya Yoga dengan senyuman jahilnya.
"Ini adalah perusahaan keluargamu. Terlebih, kamulah yang merintisnya waktu perusahaan ini terpuruk dulu. Aku rasa bener-bener nggak adil kalau setelah perusahaan ini bangkit ada orang-orang picik yang mau merebut kedudukanmu begitu aja. Aku nggak rela,"
Lagi, Yoga kembali tersenyum. Dan itu benar-benar membuat Meta bingung. Melihat Yoga tersenyum seperti itu, Meta pun terdiam. Memerhatikan paras tampan bosnya, yang kini tampak terlihat semakin tampan.
"Pak Yoga, oh... maaf,"
Meta pun menoleh, melihat asal suara. Seorang cowok jangkung dengan setelan jas hitam masuk, sambil membawa beberapa dokumen di tangannya. Meta baru pertama kali melihat cowok ini. Dan dia tak tahu cowok ini siapa.
"Bagaimana?"
"Ini adalah data rahasia real perusahaan yang Bapak minta. Rupanya, ada beberapa informasi penting yang sengaja pihak lain ubah untuk mengelabui Bapak. Sudah tiga bulan terakhir perusahaan mengalami kerugian yang cukup besar. Ditambah ada beberapa karyawan kompeten di perusahaan ini yang mengundurkan diri secara tiba-tiba, Pak. Ditambah lagi...."
Yoga yang sedari tadi melihat isi dokumen itu pun mendongak, memandang Hardi yang tampak kebingungan mengutarakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Karena banyak berdedar berita buruk yang selalu menjatuhkan Bapak. Beberapa pemilik saham mulai memiliki rencana untuk menjual saham mereka, dan ingin menggeser posisi Bapak."
Yoga menghela napas panjang, kemudian dia menaruh dokumen itu di atas meja. Lagi, bagian dadanya tiba-tiba terasa sesak mendengar kabar ini.
"Kamu boleh keluar. Terimakasih sudah menjalankan tugas ini dengan baik."
"Iya, Pak."
Meta pun memandang kepergian cowok itu dalam diam, kemudian dia memandang Yoga dengan pandangan iba. Hanya seorang Yoga, dan semua orang seolah ingin memusuhinya.
"Namanya Hardi, dia salah satu kaki tanganku di perusahaan ini," kata Yoga pada akhirnya.
Setelah mengatakan itu dia kemudian kembali ke mejanya, mulai bekerja seperti biasa seolah semuanya tidak terjadi apa-apa.
Lagi, Meta hanya bisa terdiam. Dia tahu jika bosnya sedang sedih, dan dalam tekanan cukup berat. Tapi bosnya begitu sangat rapi menutupi perasaannya. Dan perasaan itu, coba bosnya tanggung seorang diri.
Meta kembali ke mejanya, entah kenapa melihat tingkah Yoga membuatnya menjadi sedih. Dia benar-benar ingin menemukan sebuah cara, bagaimana agar bisa menghibur bosnya. Ya, sepertinya dia harus menemukan cara itu. Bagaimana pun caranya.