Triiingg…
Bunyi pintu yang terbuka membuat seorang wanita yang sepertinya berumur kepala tiga itu menoleh. Ia sedang menata bunga di beberapa cawan.
“Cornflower. Kau sedang memperbarui bungamu lagi?” tanya kakek Pink selepas membuka pintu.
Kami yang berjalan dibelakang mengikutinya memasuki bangunan yang bergaya eropa dengan warna dinding yang tentu saja berwarna biru cornflower. Rumah tiga tingkat ini terlihat nyaman. Dengan taman di depan penginapan dan beberapa tanaman hias yang lagi-lagi adalah bunga cornflower. Tetapi bunga itu tidak hanya berwarna biru. Beberapa berwarna ungu, pink, bahkan putih.
Aku yang berjalan memasuki penginapan itu langsung saja jatuh cinta dengan warnanya. Tempat dan warnanya sangat membuat seorang pengunjung bisa saja mengatakan akan menginap disini selamanya.
“Paman Pink! Apa kabar?” serunya saat menoleh pada kakek Pink.
“Aku baik. Bagaimana kabarmu?”
“Sangat baik. Bungaku hari ini semuanya mekar! Tentu saja aku sangat semangat!” ucapnya ceria.
“Lalu mereka itu siapa paman?” lanjutnya.
“Ohh ini cucu-cucuku. Mereka ini Zeta cucuku, Agam, Rian, Ara, dan Mera. Anak-anak, ini Tante Cornflower.”
Kakek mengenalkan kami pada wanita itu. Dia seperti sudah mengenal kami sejak lama. Padahal rasanya sejam pun belum ada. Bahkan Kakek Pink mengetahui nama kami walaupun kami tidak memperkenalkan diri sebelumnya.
Aku rasa nama kami sudah terkenal di kerajaan ini sampai-sampai kami tidak perlu memperkenalkan diri lagi. Sungguh payah kerajaan kami, mereka bahkan mungkin tidak tahu bahwa kami ini dilahirkan enam belas tahun lalu. Atau bahkan mungkin tidak peduli.
“Hai tante!”
Sapa kami serempak. Zeta melambaikan tangannya pada wanita itu.
“Hai anak-anak. Dan Zeta. Ini cucumu? Wahh dia kini sudah besar yaa. Dulu kami hanya melihatmu melalui teknologi dari kerajaan kalian. Kamu dulu masih kecil sekali. Waktu memang berjalan cepat ya. Tahu-tahu dia datang dengan pasangan saja.”
Perkataan Tante Cornflower tentu membuat kami semua terkejut. Bahkan kakek Pink. Tapi sepertinya yang kami kejutkan berbeda.
“Pasangan apa? Zeta kamu sudah ada pasangan?” tanya Kakek Pink terkejut.
“E-eh tidak kek, maksudku belum. Aku belum ada pasangan.” jawab Zeta gugup. Lucu juga melihat seorang yang biasanya tenang menjadi gugup hanya karena membahas pasangan.
“Lalu yang disampingnya itu siapa?” tanya Tante Cornflower lagi.
Kami serempak menoleh pada seseorang yang berdiri di samping Zeta yang kini wajahnya terlihat memerah karena malu. Agam terkejut disangka dirinya adalah pasangan Zeta.
“E-eh bu-bukaann. Aku bukan pasangannya.” jawabnya gugup.
“Sudahlah Flower jangan kamu goda mereka. Mereka butuh istirahat untuk perjalanan besok.” Kakek Pink menghentikan Tante Cornflower itu menggoda mereka berdua.
“Maafkan aku, sungguh tidak bermaksud menggoda kalian. Habisnya kalian ini cocok sekali!” godanya lagi.
“Jadi, bolehkah kau membiarkan mereka menginap selama satu hari disini?” tanya Kakek Pink Mengalihkan topik.
Ia tidak mau melihat cucunya malu karena digoda untuk sesuatu yang tidak penting menurutnya.
“Tentu saja. Akan kusiapkan kamar untuk mereka. Dua kamar cukup bukan?” Jawab Tante Cornflower sembari berjalan menuju meja resepsionis untuk mengambil dua kunci kamar penginapannya.
“Lebih dari cukup.” jawab Kakek Pink sembari tersenyum.
“Baiklah ayo, kuantar kalian ke kamar kalian.”
Kami mengikuti Tante Cornflower menuju kamar yang disiapkan untuk kami menginap selama sehari.
“Oh iya, untuk barang kalian nanti akan diantarkan kemari, kalian jangan pikirkan itu.” kata Kakek Pink mengingatkan.
Sebenarnya aku malah melupakan barangku. Tapi sesaat setelah melihat ekspresi temanku yang lain rasanya aku tidak sendiri. Kami melanjutkan jalan menuju lantai dua tempat kamar kami berada untuk menginap.
“Yap, ini kamar kalian. Tante serahkan kuncinya pada kalian. Terserah kalian untuk pembagian kamarnya. Lalu Tante tinggal ke bawah tidak apa bukan. Tante harus menata bunga-bunga yang sedang bermekaran hari ini.” ucapnya seraya berbalik ke arah tangga untuk kembali turun.
“Cornflower, untuk uangnya,”
“Tidak apa Paman. Aku ikhlas. Mereka anak-anak yang baik.” kata Tante Cornflower seperti mengerti maksud Kakek Pink.
“Baiklah. Aku akan sangat berutang padamu untuk yang satu ini.”
“Tidak perlu Paman. Baiklah, kalau mereka menang, hutangmu ini akan lunas ya.” kata Tante Cornflower menenangkan kakek Pink.
“Kita ini seperti barang taruhan saja ya La.” Bisik Mera padaku.
Tante Cornflower lalu kembali melanjutkan jalannya menuju ke tempatnya tadi menata bunga. Kami lalu membagi kamar kami. Satu kamar untuk putri dan satu kamar untuk putra.
“Zeta, bisakah kita bicara berdua. Aku sungguh merindukanmu. Bagaimana kabar ayahmu disana? Juga kakakmu? Apa mereka baik-baik saja?”
Kakek Pink meminta Zeta untuk berbincang bersamanya sebagai kakek-cucu yang sudah lama terpisah. Zeta tentu saja langsung mengiyakan ajakan itu dan meninggalkan kami berdua. Ya anak laki-laki itu kini sudah memasuki kamar mereka. Kini Zeta dan Kakek Pink sudah berjalan bergandengan menuju ke lantai bawah. Sepertinya menuju sofa nyaman di pojok rungan di bawah yang tadi sempat kulihat setelah memasuki penginapan ini.
Hanya aku dan Mera kini. Kami memasuki kamar itu. Saat memasukinya sungguh diluar dugaan. Kami mengira kamar ini akan seperti kamar tanpa ranjang dan hanya kasur beralaskan karpet. Atau mungkin paling tidak terlihat seperti kamar anak panti yang berjejer. Tapi ternyata tidak. Ya, walaupun tidak seperti hotel bintang lima yang berada di kerajaan kami ataupun kamar bergaya eropa yang cocok dengan penampilan seperti diluar penginapan ini. Bisa dibilang ini lebih dari cukup.
Tidak. Sangat cukup bagiku.
“Waahh!” seru Mera tertahan. Dia sepertinya juga sangat menyukai kamar ini.
“Ini kamar yang sangat bagus.” lanjutnya.
“Kamu benar, bahkan lebih bagus dari kamarmu ya Ra.” kataku mengingat kamar Mera yang terlihat seperti sarang beruang.
“Tidak usah mengejek ya La.”
Jawabnya dengan raut muka yang sengaja ia datarkan. Tetapi ia melupakannya dan kembali mengagumi keindahan kamar ini.
Kamar dengan nuansa putih yang bersih dengan kasur tingkat yang sangat mengagumkan di salah satu sisi. Bagian dinding kamar yang lainnya menjadi perpustakaan yang berisi banyak sekali buku. Mulai dari buku novel hingga buku resep masakan. Aku tidak tahu apakah nuansa ini ada di setiap kamar atau tidak. Jika iya, tidak terbayangkan berapa banyak buku yang ada di penginapan ini.
Kamar mandi yang berada di dekat pintu juga bernuansa bersih. Dengan pancuran air yang tak henti-hentinya mengeluarkan air. Lantai berbatu dan dinding berkayu yang menambah kesan yang sangat alami. Di sisi lain kamar mandi terdapat lemari besar berwarna putih.
Mera yang melihat keindahan ini langsung saja menuju ke dinding buku-buku itu. Ia kini sudah sibuk memilih buku bacaannya. Aku teringat buku bacaanku dirumah yang sejak sebulan lalu belum selesai kubaca. Sepertinya hal itu menjadi alasan aku tidak akan mendekati rak buku itu. Takut saja aku akan kalap membaca buku baru. Aku yang termasuk orang ketika belum selesai membaca satu buku maka tidak akan menyentuh buku lainnya merasa sangat kesal melihat Mera yang kini sudah berbaring di salah satu tingkat kasur dan mulai membuka halaman pertama buku pilihannya. Ini seperti sebuah penyiksaan yang kejam.
“Mera, aku sepertinya keluar saja, melihat pesta ulang tahun nenek Muve, mungkin aku akan disuguhi kue bluberi yang enak.” ucapku pada Mera yang telah tenggelam dalam bacaannya.
Ia hanya berdehan mengiyakan. Lalu setelahnya tersadar melihatku berjalan keluar kamar dengan kesal.
“Ela, maaf.” katanya padaku setelah menutup bukunya.
“Tidak apa Ra. Baca saja.” kataku menoleh padanya dan tersenyum.
“Oh iya, ngomong-ngomong nama neneknya itu Mauve bukan Muve ya La. Aku takut nanti kamu salah sebut namanya saat meminta kue bluberi. Dan yang terjadi adalah kamu dilempari kuenya bukan diberi dengan baik-baik.” katanya mengingatkan.
“Baiklaaahhh.” kataku yang kembali melangkahkan kaki keluar kamar.
Aku berjalan seorang diri di koridor penginapan ini. Walaupun terlihat sepi tapi aku yakin pasti banyak orang yang menginap disini.
-*#*-
“Ara?”
Panggil seseorang dibelakangku.
Aku mengenal suaranya. Itu suara Rian. Saat membalikkan badanku, kulihat dia sudah membawa sepiring kue coklat dengan isian selai bluberi. Lalu di lehernya sudah melingkar syal beludru berwarna ungu.
“Kau sedang apa disini?” tanya kami berbarengan.
Kami tertawa setelahnya.
“Aku sedang melihat gantungan kunci. Mungkin bisa menjadi souvenir untuk dibawa pulang nanti.” kataku padanya.
“Kau ini masih saja berpikiran seperti itu. Kita ini sedang melaksanakan tugas Ra, bukan jalan-jalan menikmati pemandangan alam.” katanya yang kini kembali menyuapkan sesendok kue ke dalam mulutnya.
“Aku sedang makan kue, kamu mau?” katanya dengan mulut penuh.
Aku tertawa melihat tingkah lucunya. Dia seperti seorang anak lima tahun yang baru saja diberi kue kesukaannya. Lalu melahapnya sepotong bulat-bulat.
“Ini sangat enak Ra, kamu harus coba. Aku tidak bohong.” katanya yang kembali menyuapkan sesendok kue itu lagi.
“Apa itu kue bluberi?” tanyaku menghampirinya.
“Entahlah, tapi kue ini sangat enak. Mau mencobanya?”
Katanya dengan mulut yang kini sudah menelan kuenya. Tapi selai dan remah kue itu tetap saja berada di sekitar mulutnya. Ia menyodorkan sesendok kue itu padaku. Aku kembali tersenyum melihatnya bertingkah seperti anak kecil. Lalu mengangguk dan membuka mulut. Sesaat setelah aku disuapinya, aku terkejut.
Rasanya benar-benar enak. Ia tidak berbohong. Entah ini kue bluberi atau bukan tapi rasanya sangat enak.
“Dimana kamu mendapatkannya?” tanyaku kini dengan mulut penuh kue coklat.
“Disana.” tunjuknya pada sebuah stan kue coklat.
Aku hanya mengangguk. Lalu membuka mulutku kembali. Memintanya memberiku kue itu lagi. Rian tanpa menolaknya menyuapiku lagi.
Rasanya kami ini sudah seperti dua anak kecil yang berbagi makanan.
“Hei, nak! Kamu ini jadi membeli gantungan kunci itu tidak? Jangan malah berpacaran yaa!” kata seorang pria paruh baya dibelakangku.
Aku yang masih mengunyah sambil tertawa kaget mendengar seruan bapak itu. Juga Rian.
“Kita tidak berpacaran ya pak. Jangan sembarangan berbicara.” kata Rian sambil mengunyah sisa kue di mulutnya.
Lalu kulihat di tanganku gantungan kunci berwarna ungu itu kini sudah berubah warna menjadi biru.
Aku terkejut, lalu menunjukkannya pada Rian. Dia yang tidak mengerti maksudku hanya mengangkat bahunya. Lalu melanjutkan memakan kue enak itu.
“E-eh maaf pak. Tapi ini gantungannya berubah warna seperti ini pak?” tanyaku pada pria itu.
“Ya, itu memang bisa berubah warna, sesuai suasana hati pemegangnya.” kata bapak itu santai.
“Ooh kalau begitu harganya berapa pak?” tanyaku semangat mengetahui benda keren yang kupegang.
“Lima ribu rupiah saja untuk mbak cantik.” katanya kini dengan suara riang.
“Oke, saya beli lima ya Pak.”
Kataku sambil mengeluarkan dompet dari celana ku. Lalu memberikan sejumlah uang pada bapak itu.
Bapak itu membungkusnya, tetapi lucunya ia membungkusnya dengan balon berwarna transparan dan meniupnya hingga bisa terbang. Mengikatnya lalu menyerahkannya padaku.
“Apa cara membungkus belanjaan di desa ini seperti itu pak?” tanya Rian yang kini berada di belakangku.
“Tidak. Hanya di tempatku.” kata bapak itu.
“Maksudnya?” tanya Rian kembali yang belum paham.
“Ya hanya di lapakku ini lohh. Coba lihat di lapak lain tidak ada bukan. Sudah ini belanjaanmu. Terimakasih ya cantik.” kata bapak itu menjawab ketus pertanyaan Rian dan berkata manis saat memberikan balon berisi lima gantungan kunci padaku.
“Aish, sudahlah ayo Ra, pergi aja. Bapaknya ngeselin.” kata Rian sambil mendorongku.
“Terimakasih paakk.” kataku bersamaan dengan dorongan Rian padaku.
Aku senang sekali mendapatkan balon gratis, sementara Rian bermuka masam setelah berdebat kecil dengan penjual souvenir itu.
"Ngomong-ngomong, uang yang digunakan disini sama dengan yang digunakan di dunia kita ya Ra? Aku baru sadar."
"Ah, iya juga. Tapi kenapa rupiah, bukan dolar ataupun yang lainnya? Ah sudahah mungkin bank mereka sama." ucapku pusing.
"Bercandamu tidak lucu. Tapi aku juga tidak ingin pusing memikirkan masalah uang ini. Sudahlah biar saja." ucapnya sambil membuang sampah bekas makan kue coklat bluberi tadi.
"Aku juga tidak bercanda mengatakan pikiranku tadi." dan Rian hanya membalasnya dengan deham pasrahnya.
“Kau sendirian saja memutari pesta yang seperti karnaval ini Val?” tanyaku padanya setelah menyadari dirinya sejak tadi tidak bersama Agam.
“Enggak, aku dengan kamu kan?” jawabnya dengan senyum jahil.
Aku hanya menjawabnya dengan menunjukkan raut muka datar yang mengatakan tidak lucu leluconmu itu ya.
“Agam sudah sibuk dengan buku di kamar. Aku tidak suka membaca buku, jadi kuputuskan aku akan mencari kue bluberi saja.”
Jawabannya seperti menjawab pertanyaanku yang lain, apakah di semua kamar tersedia perpustakaan di dinding atau tidak.
“Kamu sendiri?”
“Zeta mengobrol bersama kakek Pink, Mera sudah tenggelam dalam bukunya. Tadinya aku ingin membaca buku tapi teringat buku dirumahku belum selesai dibaca.”
“Sebenarnya apa asiknya si membaca buku?”
Begitulah kami menghabiskan sore di kampung suku bayangan. Dengan memutari pesta yang mirip karnaval ini. Mencari kue bluberi terenak yang ternyata dimenangkan oleh Nenek Mauve itu sendiri. Yap, tadi kami diajak memasuki rumahnya dan disuguhi berbagai macam makanan, tentu saja kami diberi kue bluberi. Ternyata kue bluberinya sangat berbeda dengan yang berada di luar rumahnya. Kue itu berwarna putih dengan rasa mint dan isian selai bluberi. Sangat menyegarkan.
Lalu kami berjalan pulang saat matahari mulai tenggelam. Saat rumah-rumah mulai menyalakan lampu mereka. Saat orang-orang melepas penat setelah berpesta seharian.
Saat sampai di penginapan aku langsung tertidur pulas. Tidak peduli apakah barangku sudah ditaruh di dalam kamar atau belum. Begitu juga dengan Mera dan Zeta. Tapi entah mereka berdua yang berada di balik tembok. Apa mereka langsung terlelap atau memikirkan sesuatu sebelum tidur.
-*#*-
Esoknya kami sudah bangun pukul empat pagi. Bersiap melakukan latihan yang akan diajarkan oleh Kakek Pink.
Kini kami sudah berada di ruangan gelap tempat kandang banteng berada. Mungkin latihan kali ini adalah bagaimana cara yang baik dan benar untuk menendang semua banteng itu sampai mereka berlutut dan akhirnya mau dijadikan banteng bakar.
Kakek Pink sejak setengah jam lalu hanya berdiri di tengah kandang, begitu juga kami. Sejak sampai, kakek meminta kami untuk terus berdiri. Banteng-banteng itu tidak ada sejak kami datang kesini. Kami sejak tadi pula bertanya untuk apa kami dibawa kemari dan sampai kini belum diajarkan apapun oleh kakek Pink. Dan sejak tadi pula Kakek Pink hanya menjawab "tunggu sebentar".
“Kakek, kami sudah menunggu selama satu setengah jam sejak kakek membawa kami kemari. Dan selama itu kakek selalu menjawab tunggu sebentar. Kakiku sudah mulai bengkak kek. Apa tidak bisa kami duduk saja selagi menunggu sesuatu yang kakek tunggu?” tanya Mera menawar.
Kakek Pink hanya menggeleng. Mera yang melihat itu hanya bisa menghela napas, begitu juga kami.
Lima menit berlalu dan kami masih berdiri untuk menunggu sesuatu yang ditunggu Kakek Pink.
“Astaga, kakek itu sungguh egois sekali.” bisik Mera disampingku.
“Hush. Bagaimanapun juga itu kakek Zeta, Ra.” jawabku ikut berbisik.
“Bagaimanapun juga kakek itu egois La.” jawabnya sambil memutar bola matanya.
Lalu tempat ini menjadi hening. Entah apa alasannya. Bahkan suara nyamuk pun menghilang.
Sepi.
Rasanya aneh karena walaupun sejak tadi kami berada disini, suara-suara binatang kecil masih bisa terdengar.
“Gam, apa kamu merasa ini?” Rian di seberang sana bertanya pada Agam.
Sebenarnya ia berbisik, tetapi karena tanpa adanya suara lain, suaranya terdengar jelas hingga aku yang berada di ujung barisan lainnya bisa mendengar.
“Ya, aku rasa kita harus bersiap untuk segala kemungkinan.” katanya menjawab pertanyaan Rian.
Lalu terdengar dari jauh suara hentakan kaki. Suara itu berasal dari arah kanan. Yang berarti berasal dari pintu di samping kananku. Kami semua menoleh ke sumber suara. Begitu juga Kakek Pink.
“Sudah saatnya.” kata Kakek Pink lirih sambil tersenyum.
Ia lalu berjalan berbalik meninggalkan kami.
“Kakek, kakek mau kemana?”
Tanya Zeta pada kakeknya. Tetapi Kakek Pink hanya mengangkat tongkatnya. Ia mengarahkannya ke atas. Yang kemudian tanpa kami sadar telah membuat kami tidak bergerak.
Bayangan itu tiba-tiba saja datang ke arah kami, lalu mencengkeram kaki kami yang akan melangkahkan kaki.
“Kakek, apa yang kau lakukan?” tanya Zeta histeris.
“Aku akan mengambil air minum untuk kalian. Kalian tetap disini ya, tenangkan para banteng itu.” katanya. Suaranya itu menandakan dirinya tersenyum saat mengucapkan kalimat itu.
“T-tapi kek.”
Greek.
Pintu kandang ditutup. Lalu aku mendengar sepertinya pintu itu dikunci dari arah luar. Yang menandakan kakek sengaja mengurung kami disini. Lagi.
“Apa kubilang kakeknya itu sangat egois.” kata Mera kesal.
Kini bayangan yang mencengkeram kaki kami sudah mulai hilang. Kami sudah bisa menggerakannya kembali.
Suara hentakan kaki itu semakin dekat. Bahkan mungkin akan datang dalam waktu kurang dari lima menit.
“Teman-teman, apakah itu suara banteng?”
Tanya Rian. Kini dia berlari menuju pintu di sebelah kanan. Pintu itu menuju ke arah hutan. Ia lalu membukanya. Lalu benar saja saat ia membuka pintu itu banteng sudah berada di jarak 600 meter dari kandang. Ia menutupnya kembali dengan gugup.
“Dasar bodoh. Kenapa kamu tutup lagi? Kita bisa keluar dari kandang ini lewat pintu itu.” kata Mera memaki Rian.
“Tidak bisa. Kanan kiri jalan menuju kandang ini ditutup pagar tinggi. Pagar besi kau tahu. Kita tidak bisa memanjat pagar itu.” jawabnya sambil berlari menuju ke tengah kembali.
“Pintu disebelah kiri dikunci, aku tidak bisa membukanya. Pintu didepan itu juga dikunci dari arah luar.” kata Agam yang berlari kecil menuju ke tengah kandang.
Suara itu terasa semakin dekat. Sangat dekat hingga tanah yang kami pijak pun ikut bergetar.
“Astaga, lalu apa yang harus kita lakukan?” pekik Zeta.
“Kita harus melawan banteng-banteng itu.” kataku serius.
“Kita tidak perlu melawannya. Hanya perlu menenangkannya.” kata Mera sambil tertawa mendengar saranku.
Astaga! Disaat beginipun dia masih bisa tertawa. Aku tidak tahu lagi otaknya itu dibuat dari apa.
Braakkk…
Pintu disebelah kanan ditubruk oleh kawanan banteng yang terlihat sangat beringas.
“Sepertinya kamu benar La.” kata Mera setelah melihat kawanan banteng itu.
Jumlahnya belasan. Mungkin terkesan sedikit, tetapi ini banteng bukan ayam ternak. Dengan beringas kawanan itu masuk ke dalam kandang yang luas ini. Mereka tidak memelankan gerakan mereka. Bahkan sepertinya mereka mempercepat gerakan mereka.
Kami bersiap untuk segala kemungkinan.
“Raa, mereka mendekat.” kata Zeta yang kini telah memasang kuda-kuda.
Aku dan yang lainnya ikut memasang kuda-kuda. Seperti bersiap akan bertarung dengan banteng itu.
Lalu saat banteng itu menghampiri kami aku melompat setinggi mungkin, lalu mendarat di atas tubuh salah satu banteng itu. Banteng yang kududuki pun sepertinya mengamuk. Ia tidak suka dirinya ditunggangi oleh manusia. lalu badannya melompat-lompat berusaha melepaskanku dari atas tubuhnya. Aku tersentak beberapa kali hingga badanku tidak bisa menahan diri untuk terus berada di atas banteng itu. Lalu jatuh tersungkur.
Saat badanku siap untuk diinjak oleh salah satu banteng yang datang dari arah belakangku, tiba-tiba saja Zeta menarikku keluar dari jalur banteng itu berlari. Ia membantuku berdiri.
“Terima kasih.” kataku pada Zeta. Ia hanya mengangguk.
Kini kulihat temanku yang lain berusaha bersusah payah untuk menenangkan kawanan banteng itu. Aku bingung apa yang harus kulakukan sekarang. Jika saja mereka melihatku berdiri bingung mereka pasti akan mengataiku bodoh. Zeta kini sudah menuju ke arah salah satu banteng bersiap menaikinya. Aku hanya melihat sekitar. Yang tanpa terasa satu banteng berlari menuju ke arahku. Banteng itu ingin menubrukku hingga aku mengangkat tanganku ke depan. Menyilangkannya untuk menutupi badanku dari tubrukkan banteng ganas itu.
Tapi tanpa kutahu hembusan angin kencang malah keluar dari silangan tangan itu. Banteng yang ingin menubrukku terdorong hembusan angin kencang itu dan mundur dua langkah. Tetapi dia tidak menyerah. Banteng itu kembali berlari ke arahku dan aku kembali menepisnya dengan memberinya hembusan angin kencang dengan satu tangan. Aku tak percaya aku dapat melakukan ini.
Yang lain memperhatikanku dan mereka mulai menyorakiku.
“Gunakan kekuatan kalian!” teriak Rian dari arah belakang. Ia kini bersemangat melawan banteng-banteng itu.
Tangannya ia gerakkan ke atas membuat tanah di depannya bergulung dan mendorong banteng itu mundur. Kini Zeta menggunakan kekuatannya untuk menghilangkan pandangan beberapa banteng. Membuatnya bingung dan berlari tanpa arah sehingga saling menubruk satu sama lain. Beberapa banteng kini jatuh tersungkur. Zeta mengepalkan tangannya semangat.
Mera diujung kandang kini menyalakan api di tangannya, mendekatkannya pada banteng yang siap menerjangnya. Membuat beberapa banteng itu memutar balik arah larinya. Agam sudah sejak teriakan tadi menggunakan kekuatannya untuk membasahi kawanan banteng itu dan membuatnya mundur. Kami bergerak terus melawan banteng-banteng itu hingga satu dua mulai jatuh dan beberapa yang lain bergerak lebih lambat. Mereka ketakutan. Dengan mudah kami menundukkan banteng yang mengamuk itu. Membuatnya berjalan pelan dan bergerak menuju ke arah tempat makan mereka. Kami senang hanya dalam waktu setengah jam saja banteng itu bisa ditundukkan. Kami saling mengepalkan tangan dan tersenyum satu sama lain memberi penghargaan.
Lalu saat banteng-banteng itu sudah mulai tenang, tidak lebih tepatnya takut. Kakek Pink datang membuka pintu kandang lalu masuk membawa senampan gelas berisi air es. Kami yang melihatnya datang membawa minuman segar itu langsung saja berlari ke arah Kakek Pink.
“Zeta, kau tahu, kakekmu ini sangat kejam. Kamu seharusnya tidak lagi menganggapnya kakek.” ucap Mera berisik di depan Kakek Pink.
Kakek itu hanya tertawa mendengar perkataan Mera.
“Bagaimana permainannya? Asik bukan? Tapi sayangnya sepertinya permainan ini terlalu mudah untuk kalian. Atau mungkin banteng itu sudah terlalu tua untuk dilawan.” kata Kakek Pink setelah kami semua mengambil gelas kami dan meneguknya.
“Apanya yang permainan! Itu tadi pembunuhan!” kataku yang telah habis meneguk air es.
Kakek Pink hanya tertawa mendengarnya. Ia lalu mengajak kami keluar dari kandang untuk duduk di rerumputan depan kandang. Kakek Pink lalu menutup pintu dan menguncinya lagi. Tidak ingin membiarkan banteng itu kabur dengan mudah.
“Dia benar, ini pembunuhan bukan permainan.” kata Rian setelah mendengar pernyataanku.
Yang lain hanya mengangguk setuju. Lalu kami duduk meluruskan kaki dan menghilangkan keringat selepas pertarungan dengan banteng itu. Semilir angin rasanya sangat sejuk membelai rambut dan leher.
“Kamu yang melakukannya, El?” tanya Agam padaku tiba-tiba.
“Hah?!” tanyaku tak mengerti.
“Hembusan angin ini, kamu yang membuatnya?” Agam mengulang pertanyaannya.
Aku menggeleng.
“Ini si alam yang melakukannya.” jawabku.
“Si alam?” tanya Agam tak mengerti.
“Maksudnya alam, bukan dirinya yang melakukannya.” kata Zeta menjawab pertanyaannya.
Aku mengangguk.
Sejak tadi Mera dan Rian sudah kembali ke rutinitasnya, yakni berdebat, ditambah dengan Kakek Pink yang sejak tadi menengahi mereka.
“Sudahlah, perempuan tidak pernah mau mengalah.” kata Rian.
“Baguslah kalau kamu menyadari bahwa kamu memang kalah.” Kata Mera bangga. Sedangkan Rian menekuk wajahnya.
“Sudahlah, selepas ini kalian harus berangkat lagi bukan?” tanya Kakek Pink pada kami.
“Iya kek.”
“Aku akan sangat merindukan kalian berlima. Jaga diri baik-baik ya. Dan mungkin apa yang barusan kalian lakukan ini tidak akan kalian anggap penting, tapi mungkin suatu saat kalian akan menyadari apa maksudnya.” katanya dengan senyum.
Ia lalu berdiri. Dan meminta kami untuk ikut berdiri.
“Bolehkah aku memeluk kalian sebelum kalian pergi?”
Kami mengangguk serempak, lalu mendekatkan diri sambil merentangkan tangan.
“Berpelukaan.” Kata Mera riang.
Pelukan besar yang hangat. Yang pastinya akan sangat kami rindukan.