webnovel

Bab 10

“Sudah siap semuanya?!”

“Sudaah!”

Paman John berteriak semangat. Dan kami serempak menjawab dengan semangat pula.

Kami melambaikan tangan pada Kakek Pink dan beberapa orang lainnya. Juga ada Mauve yang kemarin memberikan kue bluberi padaku dan Rian. tidak lupa beberapa orang yang kemarin menghadang kami pun berada disana ikut melambaikan tangan pada kami. Kami akan melanjutkan perjalanan panjang, mengembalikan kedamaian di kerajaan ini.

“Sebenarnya hal apa yang tidak damai Paman John? Bukankah Kampung Suku Bayangan itu terasa sangat damai?” tanyaku setelah kami berjalan keluar dari Kampung Suku Bayangan menuju ke Hutan Kegelapan.

“Kampung Suku Bayangan itu adalah kampung terjauh dari pusat kerajaan. Ditambah pasukan kerajaan tidak akan berani menampakkan diri mereka disana.” jawab Paman John.

“Maksudnya tidak menampakkan itu apa berarti mereka seperti mata-mata paman?” tanya Mera kini.

“Ya bisa dibilang begitu. Mungkin saja pasukan kerajaan kini sudah memberi tahu tentang kalian kepada sang raja.”

“Yang berarti kalian harus mempersiapkan diri sebaik mungkin.” lanjut Paman John.

“Oh baiklah, itu berarti tidak damai bagi kami.” kata Mera menanggapi.

Kami masih melakukan perjalanan dengan damai selama 15 menit ke depan. Sekitar kami masih hutan kegelapan. Aku tidak tahu seluas apa hutan ini.

Matahari berada di atas kepala. Tetapi karena rimbunnya pohon di hutan ini, menjadikan sinarnya tak dapat menembus hingga ke dasar hutan. Lumut dan tumbuhan paku bertebaran di mana-mana.

“Sebentar lagi kita akan keluar dari hutan gelap ini anak-anak.” kata Paman John memecah keheningan.

Mera sejak tadi tidur di sampingku, sedangkan Zeta memainkan kekuatannya. Ia membuat mainan dari bayangan. Seperti pemain balet yang ada di mainan musik. Tetapi kini permainan itu hanyalah balerina hitam yang berputar anggun tanpa iringan musik.

Rian di belakang kami sejak tadi diam. Memperhatikan hutan gelap. Entah apa yang dilihatnya di hutan ini. Bahkan hewan pun tak dapat terlihat dengan jelas. Hanya terkadang sesekali hewan itu melintas.

Agam di depan sejak tadi membaca koran yang ada di mobil van ini. Tapi aku yakin koran itu bukan koran baru. Mungkin dia membaca hanya untuk menghilangkan kebosanan.

“Setelah kita keluar dari hutan ini, kita kemana Paman?” tanyaku setelah melihat sinar matahari yang menyilaukan di depan sana.

Mera terbangun dan mengerjapkan matanya.

“Mmm…sepertinya padang tandus.” katanya ragu-ragu.

“Sepertinya?” tanya Agam.

“Kalau tidak salah. Karena aku jarang sekali melewati hutan kegelapan. Aku lebih suka melewati padang tandus yang memang agak sedikit memutari jalan tetapi langsung menuju lembah berair.” Paman John menjelaskan.

“Paman, boleh aku bertanya? Tapi jangan tersinggung ya.” Mera yang sudah sadar kini bertanya dengan raut wajah hati-hati.

“Ya.”

“Paman ini sebenarnya memiliki berapa kepribadian si?” tanya Mera.

“Apa maksudmu?”

“Maksudku paman ini seperti memiliki banyak kepribadian. Terkadang rasanya paman ini sangat berwibawa. Tetapi terkadang juga paman terlihat sangat ceroboh.” kata Mera yang kini menjelaskan tanpa tahu malu.

“Dan bodoh.” lirihnya melanjutkan penjelasannya.

“Dia benar paman. Aku terkadang bingung dengan hal itu. Terkadang sangat riang. Terkadang juga menjadi sangat dingin. Paman punya berapa kepribadian?” tanya Rian dari belakang yang kini mendukung Mera.

Mera yang merasa terdukung menganggukkan kepalanya kuat-kuat.

“Astaga kalian ini jahat sekali. Kalian bertiga juga merasa hal yang sama?” tanya Paman melihat Agam disampingnya dan kami dibelakang.

“Mm ya.” kata Agam tanpa memelankan suaranya.

“Astagaa, kalian sungguh jahat. Aku ini guru kalian, kalian tahu. Itu sungguh sangat tidak sopan.”

“Sejak kapan Paman mengajar kami.” tanyaku menyindir.

“Upsi.” kata Mera berlagak malu.

“Astaga aku dirundung oleh anak kecil.”

“Kami sudah remaja paman, bukan lagi anak kecil.” ucap Zeta mengingatkan.

“Astaga-astaga. Jawablah Paman. Paman punya berapa kepribadian?” tanya Rian geram.

“Tentu saja satuu.”

“Kami tidak percaya!” kilah Mera cepat.

“Aku hanya memiliki satu kepribadian Mera. Aku tidak berbohong.”

“Lalu apa buktinya?” cercaku.

“Ya ampun Ara. Kamu jangan terhasut mereka berdua ini. Apa aku perlu memberikan bukti lagi. Selama ini aku hanya memiliki satu kepribadian.”

“Sudahlah, kalian ini jangan bertengkar. Padang tandus sudah terlihat jelas didepan.” kata Agam menengahi.

Kami mengalihkan pandangan ke depan. Benar katanya. Padang tandus sudah terlihat.

Lima detik kemudian kami melewati sebuah pohon, meninggalkan hutan kegelapan. Kami akhirnya berada di padang tandus.

Ya lagi-lagi nama sesuai dengan keadaannya. Padang ini gersang. Rumput tumbuh kering disini. Beberapa semak memang tampak sedikit hijau. Tapi tetap saja nama tempat ini tidak berubah menjadi ‘padang tandus dengan semak sedikit hijau yang tumbuh sembarangan’ kan.

“Astaga, hawa disini panas sekali ya, berbeda jauh dengan hutan kegelapan tadi.” ucap Mera ribut sambil mengipaskan tangannya.

“Apakah itu. Zebra?” tanyaku ragu saat melihat ke arah kanan setelah memperhatikan Mera yang sibuk mengipaskan tangannya.

Semua orang yang berada di dalam mobil mengalihkan pandangan mereka ke arah kanan.

“Sejak kapan zebra punya kaki yang panjang?” tanya Zeta heran.

“Itu jerapah, Ra” kata Paman John setelah melihat kawanan hewan di sebelah kanan.

“Sejak kapan jerapah memiliki rambut seperti zebra?” tanya Rian kini.

“Astaga, kalian memang banyak tanya ya. Itu jerapah monokrom. Hanya tersisa 45% kawanannya sekarang.”

“Aih, apa itu berarti ada beruang kutub pelangi?” tanya Mera polos.

Aku yang mendengar pertanyaan Mera tentu saja tak bisa menahan tawa. Begitu juga dengan yang lain. Sahabatku ini ada-ada saja.

“Sejak kapan ada beruang kutub pelangi, Mera. Astaga kamu ini ada-ada saja.” jawab Paman John terkekeh.

“Yaa, kan aku hanya bertanya Paman. Paman tahu pepatah mengatakan ‘malu bertanya sesat dijalan’? Nah kalau aku tidak bertanya, bisa saja besok aku akan mengatakan pada dunia bahwa aku meneliti spesies itu kan.” cerocos Mera.

Aku yang sejak tadi memperhatikan Mera dan Paman John beradu mulut baru menyadari bahwa Rian sejak tadi tidak ikut perbincangan. Ia memperhatikan arah belakang mobil, seperti menyadari ada sesuatu dibelakang sana.

“Ada apa?” tanyaku padanya.

“Em, tidak ada.”

Lalu entah dari mana suara hentakan kaki riuh terdengar. Suaranya seperti suara kawanan banteng tadi pagi. Begitu berisik dan menggema.

“Suara apalagi ini?” tanya Mera waspada.

“Apa itu suara banteng lagi?” kini Zeta ikut waspada.

“Sepertinya bukan.” kata Rian dibelakang masih tenang.

“Oh tidak. Itu badak! Badak dengan sayap yang berlari ke arah kitaa!” serunya tiba-tiba panik menunjuk ke arah belakang.

Kami seketika menolehkan pandangan ke arah belakang. Melihat badak dengan satu tanduk dan sayap yang belum di kepakkan berlari ke arah kami membuat Paman John mempercepat laju mobilnya. Kami tersentak ke belakang sesaat.

“Cepat Paman John! Jangan sampai kita dilindas kawanan badak ituu!” seru Mera panik sembari mengguncangkan jok mobil Paman John.

“Iyaaa aku sedang berusaha!” Paman John kembali menambah laju kecepatan mobil.

“Kau jangan mengguncangkan kursiku Mera, atau kita akan mati terlindas badak!” lanjutnya.

Paman John semakin mempercepat laju mobil, sementara kawanan badak itu juga mempercepat lari mereka. Mereka terus berlari ke arah kami. Bahkan satu dua badak sudah berlari beberapa sentimeter dibelakang kami. Mereka menghantamkan tanduknya ke mobil van yang kami naiki. Sesekali kami berteriak histeris, takut jika saja mobil ini akan diinjak kawanan badak beringas itu.

“Paaamannn, lebih cepat lagiii! Astaga beberapa sudah berlari disamping mobil inii!” kataku histeris melihat dua badak sudah berlari di samping kanan mobil. Badak itu sesekali membenturkan badannya ke badan mobil, membuat kami terguncang saking kencangnya.

“Aaastagaaaa, aku tidak mau mati konyol disiniii!” teriak Mera.

Kami panik, beberapa badak sudah sejak tadi menghantamkan badan mereka ke mobil van yang kami naiki. Membuat kami didalamnya beberapa kali pula terguncang dan saling menghantam satu sama lain.

“Gawat Pamaann, didepan! Lihatlah di depan sanaa!” Teriak Agam di depan menunjuk arah jalan kami.

Kami yang duduk dibelakang dengan beberapa kali guncangan melihat ke arah yang Agam tunjuk.

Oh tidak.

Didepan sana sebuah tanjakan menuju jurang siap menanti kami. Suara deburan air terjun yang entah ada dimana -karena aku sudah tidak bisa memperhatikan sekitar lagi-- sudah terdengar dari jarak 100 meter.

Lihatlah kemarin kami masih bisa bergurau bersama, kini kami harus menghadapi maut bersama juga! Rasanya aneh jika dikatakan kami ini seperti sekawan yang siap dengan segala halangan dan rintangan karena tentu saja kami belum mau mati!

“Anak-anak tenang lahh! Kita pasti bisa melewati jurang ituu! Seperti di film dan novel yang kalian suka baca.” ingat Paman John dengan niat menenangkan kami yang panik dengan panik. Kau tahu maksudku, kami sama-sama panik. Entahlah, harus kuakui Paman John yang walaupun aneh ini memiliki hati yang sangat baik.

“Yang benar saja Paman, ini dunia nyata!” ucap Rian dibelakang yang terus memperhatikan beberapa badak menghantamkan badannya ke mobil sambil sesekali ia mendekap tas disampingnya.

“Film dan novel itu tidak nyataa. Bagaimana mungkin jurang dengan jarak 700 meter itu bisa dilewati dengan sekali lompatan!” Mera berteriak menambahkan.

Dirinya sejak tadi terguncang. Menghantam aku dan Zeta di samping kirinya.

“Darimana kamu tahu jurang itu berjarak 700 meter?” tanya Zeta terperangah.

“Entahlah. Itu terlihat seperti 700 meter.” katanya dengan raut muka bingung.

Kami semakin mendekati jurang. Tidak bisa memutar setir menuju kanan maupun kiri karena kami dikelilingi kawanan badak bersayap.

“Mengapa mereka tidak terbang saja sii!” ucap Zeta geram karena sejak tadi dirinya menghantam sisi kiri mobil dan kepalanya ikut menghantam kaca jendela.

“Pegangan anak-anak kita akan terbang!” teriak Paman John yang kembali mempercepat laju mobil.

Kami yang mendengar hal itu tentu saja langsung berpegangan erat pada apapun yang bisa kami pegang.

Mobil yang kami naiki kini menanjak pada tanjakan depan jurang.

“Bersiaplahh!” teriak Paman John.

Dan satu detik kemudian mobil sudah terbang melewati jurang dengan jarak yang lumayan jauh. Kawanan badak yang mengejar kami sudah mengepakkan sayapnya dan terbang menuju langit. Mereka tidak terjun menuju air sejuk dibawah sana.

Sungguh saat berada di atas sini aku bisa melihat pemandangan padang tandus yang luas. Melihat kawanan badak terbang mengepakkan sayapnya layaknya burung yang terbang bebas.

“Wuuuuhuuuuuuu!” Teriak Paman John semangat.

Apa kubilang, Paman John benar-benar aneh.

“Paman! Jangan bergembira ketika kita dihadapkan maut begituu!” bentak Mera saat mobil melayang terbang melewati jurang.

Lalu sesaat kemudian mobil ini menapakkan dirinya di seberang jurang. Dua ban depan mobil sudah berhasil meraih tanah di seberang jurang.

“Apa kubilang.” kata Paman John bangga.

Lalu tiba-tiba saja terdengar suara tanah didepan kami runtuh. Tentu saja suara tanah yang runtuh membuat jantungku yang sudah berdetak kencang, berdetak semakin kencang. Perlahan mobil van yang kami naiki mundur dan tanah yang dipijak jatuh menuju jurang.

“Paman.” kataku panik.

Lalu ban mobil dan tanah yang tidak bisa menahan berat kami tentu saja runtuh dan membuat kami jatuh menuju jurang.

“Paaamaaannnn!”

“Aaaaaaaa!” teriak kami bersama.

“Apa kubilangggg!” teriak Mera disampingku.

“Semua keluar dari dalam mobil!” teriak Paman John membuka pintunya. Ia keluar dan terjun menuju sungai di bawah jurang sana. Kami yang melihatnya langsung melakukan hal yang sama. Membuka pintu dan terjun menuju sungai di bawah sana.

Beberapa detik kami melayang terjun sebelum badan menghantam air sungai. Begitu juga mobil van yang kami naiki. Berdebum jatuh di sungai.

‘Byuuuur!’

Susul-menyusul badan kami berdebum menghantam permukaan air sungai.

Aku langsung menuju permukaan sungai sesaat setelah jatuh ke dalam air. Menghirup udara sebanyak-banyaknya.

“Apa kubilang! Jarak jurang yang jauh tidak memungkinkan untuk kita terbang melintasinyaa!” kesal Mera. Ia menghantamkan tangannya meninju permukaan air.

“Lalu kita harus kemana paman?” tanya Zeta yang menyadari bahwa sungai biru sejuk yang membelah padang tandus serta makhluk yang hidup dibawah sana, ikan-ikan dan entah makhluk apa didalamnya ini tidak memiliki tepi. Kanan dan kiri sungai hanyalah tebing bebatuan curam yang rasanya tidak mungkin berada di padang tandus.

“Entahlah.”

“Apa maksud paman entahlah! Paman membuat kami jatuh ke dalam sungai tak bertepi ini dan mengatakan entahlah untuk langkah selanjutnya?!” kata Mera berang.

Aku tidak tahu sekesal apa dirinya hingga membentak Paman John yang rasanya berbaik hati mau menolongnya. Tapi Mera juga tidak salah. Hanya Paman John yang mengerti situasi diantara kami. Dan kami menaruh harap padanya ,tetapi jawabannya terkadang tidak memuaskan. Ia seperti hidup di negri orang padahal ini negrinya sendiri.

“Mera sudahlah. Lagipula kita juga tidak tahu apa yang seharusnya kita lakukan dan apa yang akan terjadi pada kita kann.” Agam buka suara.

“Tidak ada yang menginginkan tertimpa masalah dan jatuh kedalam jurang tanpa tepi seperti ini.” lanjutnya.

Mera hanya memalingkan wajahnya. Kini wajahnya sudah lebih baik dari sebelumnya yang merah padam menahan emosi.

Aku melihat ke dalam air karena rasanya tadi ada sesuatu yang berenang di bawah sana. Bayangannya bukan ikan kecil ataupun ubur-ubur.

“Paman, apa di sungai ini ada buaya?” tanyaku takut.

“Tidak. Dijelaskan tidak ada sungai di sini.”

“Kau yakin?” tanyaku memastikan.

“Memang ada apa, Ra” tanya Zeta dengan raut wajah yang khawatir.

Mera sudah memalingkan wajahnya ke arahku.

“Di bawah sana. Sesuatu. Aku tidak tahu.” kataku terbata.

“Tidak ada hewan buas dibawah sana kan, paman?” tanya Rian yang ikut memperhatikan air.

“Kurasa tidak.”

“Hep…”

Sesaat setelah jawaban itu, Agam hilang tertarik ke bawah sana. Gelembung udara keluar dari dalam air. Kami semua terkejut. Belum mengetahui apa yang terjadi.

“Agaammm!” kami semua berteriak memanggilnya. Zeta yang mengapung di sampingnya segera menyelam mengulurkan tangannya untuk menarik Agam. Tapi usahanya sia-sia. Agam sudah tertarik dan kini tak terlihat.

“Kemana diaaa?!”

“Astagaa apa itu tadii!”

“Apa yang menariknya tadi?!”

“Kurasa ini lebih buruk dari sekedar buaya atau hewan buas lainnya.” kata Paman John diantara suara berisiknya kami.

“Paman, katakan apa itu.”