PERJALANAN membawa gadis itu, tidak begitu jauh.
Kanisa yang menelusuri wilayah barunya, tampak sedikit kesulitan.
Tempat pertama yang dia kunjungi adalah, minimarket kemarin. Tempat Railo berada. Dan di tengah-tengah kesibukan kaki yang terus melangkah, dirinya diingatkan sesuatu. Bahwa Railo pasti ada di Panti Asuhan.
"Kenapa aku baru mengingatnya, sih? Ck, padahal sudah berjalan sejauh ini. Aku masih ingat nama Panti nya. 'Perhiasan dunia', benar. Itu namanya. Tapi, aku harus cari kemana, ya? Di novelku, Rialo dibawa oleh seorang wanita dewasa dan berkerudung biru. Coba tanya saja kakek itu, deh," kata Kanisa yang tiba-tiba bertemu pria tua yang sedang duduk di atas kursi tua. Dia pedagang baso tahu di daerah sini.
Kanisa menghampiri kakek tersebut. "Pak, maaf sudah mengganggu. Kalau Panti asuhan Perhiasan Dunia, dimana, ya?" tanya Kanisa sambil membungkukan sedikit tubuhnya. Kanisa seperti itu karena dihadapannya adalah orang yang lebih tua darinya. Hal ini sudah orang tua Kanisa ajarkan dulu.
Di tengah-tengah nyawanya yang belum terkumpul, kakek tersebut tersenyum malu. "Ah, maaf, ya. Saya tertidur. Maaf, bagaimana?" tanya dia kembali. Tangannya di dekatkan sebelah telinganya.
"Panti asuhan Perhiasan Dunia, dimana, pak?" tanya Kanisa kembali.
Pria tua tersebut mendekatkan diri kepada Kanisa. "Maaf, saya kurang mendengar. Jadi harus berbicara lebih keras, ya," katanya.
Kanisa tersentak kaget. "Ah, maafkan saya, pak," kata Kanisa dan dia pun mengulangi pertanyaan tadi.
"Oh, tempat itu tidak jauh dari sini. Kamu hanya perlu lurus. Kemudian, kamu akan menemukan bengkel. Hanya ada satu bengkel jika kamu lurus dari sini, bengkel tersebut berdampingan dengan gang kecil. Kamu tinggal masuk dan mulai terlihat Pantinya," paparnya sembari dengan penuh kesabaran. Bahkan, Kanisa terharu saat pria tua itu menunjuk jalan menggunakan ibu jarinya. Dia sangat sopan sekali.
"Baik, terima kasih, ya, pak. Kalau begitu, saya sekalian beli bakso tahunya. Satu porsi berapa?" tanya Kanisa. Dia mulai menatap suka dengan makanan gurih dan manis di hadapannya kini.
"Lima ribu saja. Adek mau apa saja?" tanya pria tua itu. Dia membuka tutup panci.
"Satu porsi, ya ,pak. Jangan terlalu pedas," pinta Kanisa. Dia mengambil dompet untuk membawa uangnya.
"Baik," jawabnya ramah sekali. Sambil menusuk satu persatu baso tahunya. Uap yang ditimbulkan mengapung wangi.
"Saya mau makan di sini, pak," kata Kanisa yang mulai duduk di kursi panjang yang tidak seimbang itu. Kanisa pun mengurungkan niatnya untuk duduk. Dia pun berdiri kembali.
"Ini, dek. Eh, kenapa tidak duduk?" tanya pria tua itu.
"Ah, ini, saya takut kursinya roboh begitu saya duduki," kata Kanisa mengatakannya ragu. Dia takut menyakiti perasaannya.
"Ah, iya, ya. Padahal masih baru," jawab kakek itu. Dia mulai mengusap tetesan keringat yang berseluncur di pelipisnya. Dengan raut muka yang sedih.
"Iya, kek. Kenapa bisa seperti ini, ya?" tanya Kanisa yang makan baso tahu sembari berdiri.
"Minggu kemarin, ada preman yang meminta uang kepada saya. Saya saat itu belum punya uang cukup. Akhirnya saya kasih mereka lima ribu. Namun, balasan mereka malah seperti itu. Mereka menendang kursi ini beserta gerobak saya. Saya yakin mereka marah karena uang yang saya berikan sedikit. Tapi, itu uang yang seharusnya saya pakai untuk sarapan. Hari itu, saya pulang dengan tangan dan perut kosong. Anak dan cucu saya pasti sudah menunggu. Tapi saya malah dapat musibah seperti ini. Huft, ada-ada saja cara Tuhan menguji hambanya, ya," kata kakek itu. Dia ikut berdiri karena melihat Kanisa berdiri.
"Ah, maaf. Saya malah bercerita. Dek, jangan makam sambil berdiri. Duduk di sini," saran kakek itu. Menunjuk kursi yang hanya bisa di duduki satu orang.
Kanisa melambaikan tangannya. "Ah, tidak. Tidak perlu, kek. Kakek saja yang duduk di sini," kata Kanisa membantu kakek itu duduk.
Hal itu ditolak kakek. "Jangan. Kamu saja yang duduk. Saya sudah duduk bahkan sampai tertidur, saat kamu sibuk berjalan kaki kesana kemari. Kakimu pasti sakit, ya?" kata kakek tersebut. Dia membantu Kanisa duduk, seperti kepada cucunya.
"Ba-baik, kek. Saya duduk, ya. Tapi, bagaimana dengan kakek?" tanya Kanisa. Dia sempat berhenti makan, karena tidak tega dengan penjual tersebut.
"Saya duduk di sini saja. Tubuh saya kecil. Kalau adek tinggi. Adek pasti takut, ya?" kata kakek itu. Dia mulai mengusap wajahnya dengan handuk kecil yang menimpa lehernya.
"Maaf, ya, kek. Saya akan makan dengan cepat," kata Kanisa yang makan dengan terburu-buru.
"Tidak boleh terburu-buru. Nanti tersedak," ucapnya.
"Uhuk! Uhuk! Benar saja, kek. Aku tersedak," kata Kanisa yang sibuk makan dengan mulut yang penuh. Dan matanya yang ikut tersenyum.
Setelah Kanisa selesai makan sambil bercengkrama dengan kakek ini, dia pun mulai membayarnya.
"Lima ribu, ya, kek. Mau saya tambah lima ribu lagu, tidak?" tanya Kanisa yang masih sibuk mengambil uang.
"Lima ribu saja, dek. Jangan ditambah. Nanti kamu tidak punya uang untuk jajan," ucapnya yang membuat Kanisa membelalakan matanya.
Kanisa tersenyum kepada orang dihadapannya. "Untuk baso tahu tadi," kata Kanisa yang memberikan satu juta kepada kakek itu.
Kakek tersebut tiba-tiba berubah raut wajahnya. Dia menggenangkan air matanya. "Ah, jangan, dek. Ini sangat banyak. Sa-saya tidak bisa menerimanya," jawab kakek itu. Dia bahkan membungkukan diri untuk mengusap tangan gadis itu sambil meneteskan air mata.
"Ini karena baso tahu kakek sangat enak. Semoga bermanfaat, ya. Saya pamit dulu. Mau mencari seseorang di Panti tadi," pamit Kanisa kepada kakek yang tidak berhenti berterima kasih.
"Tuhan, aku tahu jika manusia bersabar, engkau akan memberikan rezeki yang tak disangka-sangka. Terima kasih, dek. Semoga kebahagiaan selalu berkunjung lebih sering padamu, ya," kata penjual baso tahu itu yang Kanisa saja sudah berjalan lebih jauh.
'Ibuku bilang, bahwa memberikan sedikit harta milik kita, tidak akan membuat kita miskin. Memberikan sebagian harta untuk orang lain, membuat hati tenang dan damai. Itu tujuan pertamaku. Tapi jika ada rezeki yang dibalas Tuhan, itu merupakan kasih sayang Tuhan yang amat besar. Ibu benar, sekecil apapun perbuatan baik kita, akan Tuhan balas. Entah dengan harta yang berlipat, disematkan di perjalanan, bahkan di pertemukan dengan orang baik. Kita tidak akan berakhir dengan tangan kosong. Ck, jadi rindu ibu. Dia sedang apa, ya?" tanya Kanisa pada langit yang tersenyum membiru.
"Sedang makan, sih. Biasa saja," celetuk seseorang dibelakangnya.
Kanisa terkejut sampai memukul kepalanya. "Hah? Ah, maaf. Aku terkejut. La-lagian, kenapa harus muncul tiba-tiba, sih? Seperti bukan manusia saja," kata Kanisa yang malah marah setelah memukul Elo tanpa beban.
"Aku bukan manusia. Aku hanya tokoh pemikiran manusia. Manusia di sini, hanya kamu. Ish, keras juga pukulanmu. Kamu ini tim angkat beban, ya?" kata Elo dengan wajah sedingin salju.
"Apa?!" kata Kanisa marah.
"Beban keluarga," sambungnya. Elo tertawa lepas. Kanisa baru melihatnya dia tertawa seperti itu. Wajah Kanisa lebih aneh sekarang.