webnovel

Tower of Survivor

Aku adalah preman yang biasa menampung anak buahku. Menggaji mereka sesuai apa yang mereka usahakan, kalau dapat banyak ya dapat banyak upahnya. Begitu pula sebaliknya. Begitulah keseharianku, sampai aku dikunjungi oleh seseorang yang ingin kuinjak wajahnya dan menyatu dengan ubin. Orang itu membawa kabar kepadaku, adik beda ayah pertama ku hilang setahun yang lalu. Setelahnya adik keduaku mendapatkan sebuah surat aneh yang memiliki lokasi tidak masuk akal. Orang itu menawarkan sejumlah uang yang bukan main banyaknya. Akan tetapi dengan syarat, aku harus menerima undangan itu atas nama adik kedua beda darah ini. Menyusup sebagai penggantinya, dan menyelamatkan adik beda ayah pertama ku. Tidak bermodalkan uang, makanan, atau apapun itu. Hanya sebuah Katana milik keluarga ayah tiriku, satu-satunya tiang untukku hidup.

Sunnava · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
22 Chs

Prolog

Adalah wajar jika kala kebenaran tidak memihak siapa yang 'Baik,' dan siapa yang 'Jahat.' Kebenaran adalah kebenaran itu sendiri, meskipun rasanya sakit, itu hal yang mutlak dan tidak bisa diganggu-gugat adanya.

Tidak sedikit, manusia yang menyangkalnya, melebihkan kebenaran itu sendiri dan memanipulasi sesuai kehendak, agar hati yang ada di dalam raga tidak remuk dan hanyut dalam air mata penyesalan. Obat yang mujarap memang, tetapi apakah sepadan dengan pertumpahan darah di lain hari? Apakah sepadan dengan banyaknya nyawa yang terbang di langit? Mengundang tangis penyesalan lain melebihi tetesan hujan?

Manusia yang menyangkal kebenaran tidak lebih dari pada sampah, seorang pengecut yang tidak mau lepas dari masa anak-anak. Berlindung dari ucapan yang dibuatnya sendiri. Sementara orang lain menumpahkan derai mata dan darah, manusia penyangkal ini justru tersenyum di balik kabut nirmala. Membangun rumah dengan pondasi serapuh sarang laba-laba. Kemudian mati tanpa ada yang menuntut. Tidak ada yang tahu apakah dia mendapatkan karma setelahnya.

Begitu pula dengan seseorang yang sudah tidak bisa lagi disebut 'Manusia.' Disamakan dengan hewan dan batu pun, orang ini jauh lebih rendah dari keduanya. Mata dosa egois berkedok perhatian menatapku dengan pantulan neraka yang sesungguhnya di sana. Telinganya seolah menjadi bebal dengan rintihan minta tolong, bukannya diberi uluran tangan, sehunus belati lah yang melayang dan mengundang dengan senang hati malaikat maut yang setia padanya. Membuat sang sumber suara diam beribu bahasa untuk selamanya.

Orang ini bahkan tidak layak mendapatkan julukan 'Bajingan.'

~***~