webnovel

Tower of Survivor

Aku adalah preman yang biasa menampung anak buahku. Menggaji mereka sesuai apa yang mereka usahakan, kalau dapat banyak ya dapat banyak upahnya. Begitu pula sebaliknya. Begitulah keseharianku, sampai aku dikunjungi oleh seseorang yang ingin kuinjak wajahnya dan menyatu dengan ubin. Orang itu membawa kabar kepadaku, adik beda ayah pertama ku hilang setahun yang lalu. Setelahnya adik keduaku mendapatkan sebuah surat aneh yang memiliki lokasi tidak masuk akal. Orang itu menawarkan sejumlah uang yang bukan main banyaknya. Akan tetapi dengan syarat, aku harus menerima undangan itu atas nama adik kedua beda darah ini. Menyusup sebagai penggantinya, dan menyelamatkan adik beda ayah pertama ku. Tidak bermodalkan uang, makanan, atau apapun itu. Hanya sebuah Katana milik keluarga ayah tiriku, satu-satunya tiang untukku hidup.

Sunnava · Fantasy
Not enough ratings
22 Chs

Bab 1

"Kau ini bagaimana?" pekikku sembari melemparkan selembar uang lima puluh ribu di atas meja kayu, yang kotornya seperti tidak pernah dibersihkan entah dari tahun kapan. Seorang pemuda kurus kering mengantarkan pesananku, secangkir kopi yang tidak panas dan tidak juga dingin.

Tubuh anak yang baru beranjak remaja di depanku bergetar takut, berkali-kali bibir keringnya memohon ampun kepadaku. Meminta sedikit lebihan untuk membeli obat adiknya yang sakit. Aku berdecih kesal, alasan yang klasik. Dia pikir aku tidak pernah diberi kata demikian setiap kali orang-ku meminta jatah setoran lebih? Mungkin memang tameng 'Adik yang sakit' masih lebih baik, dari pada 'kekasihku yang ingin segera menikah.' Tetapi, tetap saja itu menyebalkan untuk didengar.

Aku berdecih, sembari meminum kopi pesananku. "Kau tetap kuberi jatah 20.000. Kalau adikmu memang sakit, gunakan 15.000 penuh untuk adikmu. Kau pasti tidak akan masalah bukan, kalau makan siang dan malam-mu hanya dua bungkus mie instan?"

Laki-laki itu tampak pasrah saat menerima selembar uang 20.000, lantas pamit dan pergi meninggalkanku sendirian. Masih kudengar suara decihan dari balik tenda warung kopi yang tidak lebih ukurannya sama dengan tempatku tinggal. Menyebalkan kalau harus mendeskripsikannya lebih rinci, karena tempatku tinggal jauh dari kata layak. Aku mendengus, anak itu tampaknya memang memiliki bakat sebagai pembohong. Yah … walaupun aku kurang lebih sama dengannya. Dulu, saat aku mengemis persis seperti itu.

"Merepotkan sekali, ya …" ujar bibi penjual kopi yang ada di balik jemuran kopi sachet dan sebangsanya. "Anak muda zaman sekarang, bibi yakin … uang yang dia dapat itu tidak akan pernah dipakai untuk obat-obatan. Melainkan pulsa HP dan games." Beliau mengelap gelas terakhir di wastafel buatan sendiri, yang … entah kenapa jauh sekali dari kata layak. "Bibi yakin, kalau ada anggota keluarganya yang sakit sekalipun, dia tidak akan peduli," imbuhnya.

"Yah ... tidak ada yang tahu apa yang akan dia lakukan dengan selembar uang hijau itu. Aku bukanlah Tuhan," dengusku. "Toh, aku bagi hasil rata. Mereka tinggal mencopet, sementara aku harus berurusan dengan para preman lain yang ingin menguasai wilayah ini." Aku terkekeh, "padahal … kalau mereka bekerja pada preman lain, belum tentu mereka akan mendapatkan upah, bukan?"

"Belum tentu juga mereka bertemu dengan wanita cantik sepertimu~" goda bibi itu yang sedikit membuatku kesal.

Aku mendengus, "Aku tidak tertarik mencari suami."

"Kenapa tidak?" bibi itu bertanya heran, "kau tahu, Rena si primadona wilayah ini yang seumuran denganmu sudah menikah dengan juragan."

"Aku juga tidak tertarik untuk menjual tubuhku kepada Pria najis hidung belang itu," aku membuang tatapanku. "Si jalang itu selalu memamerkan barang-barang menjijikan, menyuruhku untuk menjual diri, dan mengolok-olokku sebagai wanita yang tidak memiliki harga." Aku meminum tegukan terakhir kopi pesananku, "dasar, barang rongsokan seperti dia tidak pantas menyebutkan harga."

"Hush! Nggak boleh menghina Rena seperti itu!"

"Kenapa, karena dia memiliki wajah bak model yang ada di papan iklan sana? Cih, orang lain juga bisa memiliki wajah hasil operasi plastik itu," decihku. Mengingat betapa menjijikannya wanita seperti Rena. Bibi itu tidak tahu saja, berapa jumlah para istri yang datang kerumahnya tiap tengah malam.

"Lalu, kapan kamu akan menikah? Tidak baik wanita sepertimu lama melajang seperti ini," ujarnya yang sedikit membuatku naik pitam. Siapa dia? Wanita ini bahkan bukan ibuku.

"Mau menikah atau tidak itu ada di tanganku," ucapku sembari menyerahkan uang sepuluh ribuan, menahan amarah. "Terimakasih," lalu pergi sejauh-jauhnya dari kedai kopi yang rasa-rasanya seperti memang dikhususkan untuk para lelaki. Karena kalau wanita sepertiku, bisa dilihat tadi, urusanku seperti ada di tangannya mutlak.

Aku membuka pintu rumahku, hawa pengap dan panas langsung menyambutku setelah memastikan kalau matahari sudah kembali ke peraduannya.

Tidak ada yang lebih menyenangkan dari pada rumah sendiri memang, walaupun rumahku hanya terdiri dua ruang. Kamar tidur dan kamar mandi, kadang kedua ruang ini bisa dialih fungsikan secara mendadak. Entah itu jadi ruang tamu, ruang cuci baju, dan sebagainya kalau aku mau. Beruntung aku sendiri tidak pernah dikunjungi 'hama' tamu yang menyebalkan. Mungkin ada, tapi mereka hanyalah pria hidung belang yang keluar rumah tidak berbentuk lagi wajahnya. Aku tidak masalah dengan itu, justru senang dengan suatu hiburan yang menarik setelah bersusah payah mendapatkan rumah ini.

Aku merebahkan diri di atas kasur yang tidak ada kata nyaman saat berbaring di atasnya, tapi rasanya lebih dari cukup untukku bisa beristirahat setelah melewati hati yang melelahkan sekaligus menyebalkan ini. Menatap langit-langit rumah berupa susunan seng yang tinggal menunggu waktu untuk berkarat dan tidak berfungsi lagi kegunaannya saat hujan. Kunyalakan kipas angin mini di dekatku, meringankan sedikit hawa penat dan panas yang terasa penuh di tubuhku. Sampai mataku menangkap sesosok wanita sebayaku yang wajahnya entah kenapa sudah dua kali lebih tua dari usia aslinya, walaupun harus kuakui tubuhnya putih mulus tanpa cela.

Rena tampak sedang berbicara pada seseorang, aku memejamkan mata, tidak mempedulikannya. Lantas tertidur nyenyak terbawa mimpiku.

Lagi-lagi bukan mimpi yang ingin ku lihat.

~***~

'Di ... Mana, ini?' ucapku dalam hati saat membuka mata. Aku terhenyak mendapati diriku terikat dengan kencang di kursi kayu, sendirian di dalam ruangan gelap. Mulutku tersumpal oleh seikat kain yang melingkar di kepalaku. Dengan sekuat tenaga, kulepaskan kedua tanganku dari ikatan tali setelah menemukan celah. Melepaskan ikatan di pinggang dan kedua kakiku, lantas menyingkirkan kain yang menghalangi mulutku. Setelah terbebas, aku segera mengecheck pintu.

"Tentu saja terkunci," rutukku.

Aku berjalan mundur beberapa langkah, menghantamkan tubuhku ke pintu sialan yang masih saja terkunci. Hantaman kedua, ketiga, sampai kelima. Akhirnya benda ini kehilangan fungsinya dan terbuka begitu saja.

Begitu aku keluar, sebuah suara tepuk tangan menyambutku. Entah kagum, hangat, atau bisa jadi meremehkan. Aku berdecih kesal menajamkan kedua mataku melihat sesosok wanita tua yang menyambutku. Pakaiannya begitu putih tulang mewah dan elegan, tidak kontras dengan sekitarnya yang penuh debu kusam dan nyaris sudah tidak memiliki pigmen warna.

"Sudah ibu duga, kau bisa melepaskan diri anakku Eufony."

"Aku lebih baik dipanggil dengan nama Siti dari pada nama pemberian ibuku yang menggelikan," sarkasku.

Wanita tua itu mengerutkan keningnya, "Padahal arti namamu itu bagus nak."

"Apa yang kau mau dariku?" tanyaku tanpa berbasa-basi.

Wanita tua itu terdiam, mata yang menjijikan itu segera berganti pada mata yang penuh duka. Aku tidak ingat kapan pernah menggunakannya saat mengasuhku sebagai anaknya. Akan tetapi aku tidak peduli, karena dia sudah tidak kuanggap sebagai ibuku.

"Ibu meminta tolong padamu untuk mencari adikmu."

~***~