webnovel

Tower of Survivor

Aku adalah preman yang biasa menampung anak buahku. Menggaji mereka sesuai apa yang mereka usahakan, kalau dapat banyak ya dapat banyak upahnya. Begitu pula sebaliknya. Begitulah keseharianku, sampai aku dikunjungi oleh seseorang yang ingin kuinjak wajahnya dan menyatu dengan ubin. Orang itu membawa kabar kepadaku, adik beda ayah pertama ku hilang setahun yang lalu. Setelahnya adik keduaku mendapatkan sebuah surat aneh yang memiliki lokasi tidak masuk akal. Orang itu menawarkan sejumlah uang yang bukan main banyaknya. Akan tetapi dengan syarat, aku harus menerima undangan itu atas nama adik kedua beda darah ini. Menyusup sebagai penggantinya, dan menyelamatkan adik beda ayah pertama ku. Tidak bermodalkan uang, makanan, atau apapun itu. Hanya sebuah Katana milik keluarga ayah tiriku, satu-satunya tiang untukku hidup.

Sunnava · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
22 Chs

Bab 12: lantai 1(4) Meaningless village

Tepat di atas punggung mahluk bersisik biru ini, kutancapkan pedang katana ku, lantas mencabutnya kembali. Membuat cipratan darah biru keluar dengan deras dan membasahi bajuku yang rasanya seperti sudah tidak berbentuk lagi asal warnanya. Mahluk ini ambruk dan menghilang seperti halnya ular raksasa di pintu berwarna hitam. Ketika kawannya mati, sudah pasti beberapa mahluk aneh disekitarku mendengus marah. Satu, dua ekor mahluk itu berlari cepat menuju tempatku berdiri. Membuatku mengambil beberapa langkah menghindarinya sembari menggenggam erat pedangku, memanfaatkan gerakan salah satu mahluk aneh ini yang membantuku membuat luka sayatan dalam pada bagian tubuhnya.

Aku melompat menghindar beberapa langkah agak jauh saat satunya lagi nyaris menabrak tubuhku. Lantas menghindar lagi sembari menggenggam pedangku, dan memanfaatkan kekuatan mahluk ini yang cukup kuat untuk menerjang tanpa rem. Tentu saja untuk membuat luka sayatan dalam padanya tanpa perlu bersusah payah.

Hal itu aku lakukan terus sampai tidak ada lagi tanda-tanda mahluk menyebalkan itu yang akan menyerangku lagi. Aku menghela napas lega, kemudian mengembalikan pedangku ke sarungnya. Beberapa tanduk dan butiran sisik tergeletak di atas tanah begitu saja, juga sebuah tongkat yang tampak kokoh walaupun terkesan sangat sederhana. Aku mengambil tongkat tua itu saat Gin berusaha turun dari pohon tempat persembunyian kami sebelumnya. "Search," ucapku.

Sebuah jendela informasi perihal tongkat ini muncul di hadapanku. Aku menyipitkan mata, melihat beberapa tanda '¿¿¿' yang menghiasi nyaris seluruh kalimatnya. Selebihnya hanya informasi perihal bahan yang ada pada tongkat tersebut. "Aneh sekali," ucapku sembari melemparkan tongkat itu ke arah Gin. Bocah itu tertatih menangkapnya dan berhasil memeluk tongkat yang berukuran sekitar, tiga puluh sentimeter lebih tinggi dari tubuh kecilnya.

Gin melakukan hal yang sama, menggeleng juga. "Aneh sekali, apakah menara ini juga bisa mengalami 'Eror?'"

"Entahlah," jawabku sembari bersender dan meneduhkan diri dari sengatan matahari. "Kalau iya, bukankah seharusnya ada pemberitahuan soal kerusakan itu dari tadi?"

"Kau benar," bocah itu menghela napas, memanyunkan bibir sembari mendekatiku. Setelah ada di hadapanku, dia menyerahkan tongkat aneh itu kepadaku. "Sampai kita mengetahui alasannya, bisakah kau menyimpan tongkat ini?"

Aku berdecih, lantas menuruti permintaannya. "Dasar," gumamku yang tampaknya terdengar oleh telinga kecilnya. Gin hanya tersenyum malu, terkekeh kecil. "Sampai kita mengetahui alasannya," aku menepuk kecil ubun-ubun bocah ini.

"Kurasa, ini belum cukup," ucapku sembari menatap sekitar yang rasanya sudah cukup sunyi dari pada saat mahluk aneh itu ada. "Kita harus mencari lebih banyak barang untuk kedepannya, aku yakin persyaratan untuk naik ke lantai atas akan lebih sulit dari pada sebelumnya."

Kami melanjutkan mencari beberapa monster yang levelnya (menurut Gin) jauh lebih rendah dari pada levelku. Mengalahkannya, atau lebih tepat disebut sebagai 'Pembunuhan massal para mahluk aneh.' Karena aku tidak menghitung sama sekali berapa jumlah mahluk buas itu kubunuh, setidaknya aku dan Gin berhasil mendapatkan banyak bahan yang cukup banyak dan beberapa senjata. Dari tongkat, panah, anak panah, sampai pedang yang cukup tajam dari pada pedang yang kutemui di lantai sebelumnya. Walaupun tidak sekuat pedang katana yang aku bawa saat ini.

~***~

"Apakah kakak yakin, ini tempat yang aman untuk tidur?" tanya Gin sembari merayap di atas tumpukan jerami, kemudian duduk di atasnya.

Aku mengangguk, "Kita tidak punya pilihan lain," ujarku sembari mengoyak sebalok jerami yang ku umbar menjadi sebuah gundukan dan menidurinya. Cukup nyaman, bahkan dari pada kasur yang ada di rumahku dulu. Sial, ini seolah menamparku kalau aku begitu miskin di luar Menara ini. Ingin rasanya aku memaki-maki, tapi Gin tampak sedang berusaha tidur, tidak tega rasanya membangunkan bocah itu dari mimpinya. Aku mendengus, lantas berjalan gontai keluar dari rumah yang seperti gudang penyimpanan jerami.

Semua tampak normal saat berjalan beberapa langkah dari gudang, sampai tiba-tiba sebuah pisau melayang tepat ke arah wajahku. Tidak sempat menghindar, kugunakan tangan kananku untuk menjadi tameng. Semburan darah merah keluar dari punggung tangan kananku, aku terhenyak lantas mencabut pisau itu langsung. Suara teriakkanku seolah tersumbat oleh sesuatu begitu rasa sakit mulai menjalar dan ditangkap oleh kepalaku. Aku menoleh, mendapati seorang pria bertopeng putih sudah ada di hadapanku dengan pisau yang sudah terlumuri oleh darahku.

Tubuhku terasa sangat panas, dan kedua kakiku sudah menyerahkan tugasnya kepada kedua lututku untuk menopang. Tidak bisa bergerak bahkan kala pria itu sedang berbicara.

"Kristal api dan es, berikan aku kedua benda itu ... maka aku akan menyelamatkan nyawamu," dia mengulurkan tangannya kepadaku.

Sial ... sial, sial! Tatapan mata dari balik topengnya saja sudah memancarkan kata 'Akan aku halalkan segala cara untuk mendapatkan itu.' Artinya, bisa jadi aku akan terbunuh di sini. Tidak, aku tidak mau mati di menara terkutuk ini. Bahkan semanis apapun tawarannya, bukan jaminan pria itu akan membiarkanku hidup. Aku menelan ludah, tersenyum menyeringai kepadanya.

"Baiklah, kalau itu caramu ...."

Aku menghunuskan pedang menggunakan tangan kiriku, dengan sisa tenaga menebas tangan kanannya yang terulur dengan bodoh. Pria itu tampak terkejut dan melompat jauh ke belakang beberapa meter. Terengah-engah, aku bersikap siaga akan serangan berikutnya.

"Astaga, aku tidak tahu kalau Wanita sepertimu bisa melawan sampai seperti ini. Tapi, mari kita lihat ... sampai berapa lama kau bisa menahan racun dari belati ini." Matanya menatap nanar kepadaku, membuatku sedikit merinding karena kedua mata itu seolah memantulkan cahaya merah seperti darah.

Aku menyeringai, "Kalaupun aku mati, kau tidak akan bisa memiliki dua bola yang kau sebut kristal itu." Sial, pandanganku mulai terasa kabur.

"Bualan yang bagus, aku-"

Pria itu terdiam, kemudian melanjutkan lagi dengan nada yang berbeda dari sebelumnya. "Kristal itu, apakah ada yang mencuri ya darimu?"

"Kan, sudah kubilang ... kau tidak akan bisa memiliki kedua benda itu, bahkan sekalipun aku mati."

"Tidak mungkin," pria itu memotong. "Pemain baru tidak mungkin bisa memiliki kemampuan penyimpanan dimensi."

"Dimensi? Kurasa kamu terlalu berlebihan." Sekarang akulah yang memotong basa-basinya, "aku tidak mungkin bisa melakukan itu, Qi saja aku tidak punya."

Pria itu mendengus kesal, menerjangku dengan pisaunya atau yang dia sendiri sebut sebagai belati. Susah payah aku cepat berdiri dan menangkisnya dengan pedangku. Menyerang lagi, menahan lagi, melakukan itu terus sembari maju mundur beberapa langkah untuk menyesuaikan gerakannya. Pandanganku yang kabur semakin parah, dan kepalaku terasa lebih berat dari sebelumnya. Sampai akhirnya aku meloncat mundur jauh darinya, berdiri bertumpu pada pedangku. Terengah-engah kelelahan.

Buruk, ini sangat buruk. Meskipun dia kehilangan banyak darah, akan tetapi yang paling dirugikan di sini adalah aku. Kehilangan darah sekaligus terkena racun.

Tubuhku ambruk. Satu-satunya yang aku lihat terakhir kali adalah pria itu yang menerjangku kembali dengan belatinya.

~***~