webnovel

Bab 11: lantai 1(3) Meaningless village

"Kau masih di sini?" tanyaku sembari merebahkan diri setelah anak itu duduk di sebelahku.

"Tentu," ujarnya singkat. Bocah itu memanyunkan bibir, "aku tidak bisa melawan monster sepertimu. Bahkan kalau aku punya pedang Katana itu." Ia menunjuk pedang katana ku yang kuselipkan di pinggang.

Aku terkekeh, "Kau pikir, hanya dengan melawan dan senjata sudah cukup untuk bertahan hidup di sini?" Sembari berkata demikian, aku mengeluarkan sepotong roti dan sebotol susu dari jendela penyimpananku. Lantas melemparkannya kepada bocah berkacamata itu yang langsung melahapnya, "makanan juga penting, sudah kuduga kau pasti belum memakan apapun." Tersenyum miring.

"Te-terimakasih kak," ia membenarkan kacamata bundarnya kemudian melanjutkan kembali menghabiskan sepotong roti, lalu meminum sebotol susu dalam satu kali tegak. Aku sedikit menjahilinya saat itu, sayangnya bocah itu tampak tidak peduli. "Kakak benar, makanan juga penting!"

Aku berdecih, "Kita itu masih Manusia, bukan dewa maha segalanya. Termasuk juga bukan mahluk aneh yang kau sebut 'Goblin' itu. Tapi, kurasa mahluk seperti itu pun tetap harus makan, entah di mana dan jenis makanan apa yang di makan." Kutepuk kepala bocah yang ada di hadapanku, perasaan sedikit miris bercampur aduk dengan perasaanku yang lain mengingat betapa mudanya anak ini untuk bertahan hidup ke depannya. Rasanya seperti dia tidak akan bisa melewati lantai selanjutnya setelah ini, antara mati atau hidup di dalam menara untuk selamanya. "Oh iya, kita belum berkenalan saat di labirin. Namaku Shima, bagaimana denganmu?"

"Aneh, namamu terdengar seperti laki-laki," ia memiringkan kepalanya sedikit, lantas tersenyum. "Tapi tidak masalah, namaku Gin ito!" dasar, kau nyaris saja membuat jantungku keluar dari tempatnya. Yah ... mau bagaimana lagi, aku tidak bisa mengungkapkan nama asliku di sini. Apa lagi di dalam menara aneh seperti ini, siapa tahu kalau ternyata ada sejenis kamera CCTV di sini.

"Gin ito," aku menirukan pelafalannya, dan bocah itu memiringkan kepalanya. Aku menatapnya sembari tersenyum, menepuk kepalanya. "Bolehkah aku memanggilmu Gin saja?" tanyaku.

"Boleh saja!"

"Terimakasih," ucapku kemudian berpikir sejenak. Untuk nama Gin kurasa itu tidak masalah, tapi nama belakangnya 'ito,' kurasa mau di baca dengan pelafalan asal pun tetap terdengar seperti orang Jepang. "Bolehkah aku memberi saran? Lain kali jangan menyebutkan atau memberi tahukan nama belakangmu kepada sembarang orang."

"Kenapa?"

"Tebakkanku mengatakan, bahwa menara ini lebih dominan dipenuhi oleh orang Korea selatan dan China. Pada saat perang dunia ke dua, Jepang adalah musuh bebuyutan mereka," ujarku menjelaskan.

"Musuh bebuyutan? Aku kok tidak pernah mendengarnya, ya?"

Aku berdecih kesal, "Tentu saja, karena pemerintah berusaha menyembunyikannya atau bahkan membuat warga sipilnya melupakan perang dunia ke dua itu."

"Kak Shima tahu dari mana?"

"Internet luar negeri," bualku. Entah sudah berapa kali aku membual, sampai rasanya sudah menjadi keseharusan untukku. Sembari menatap langit biru, entah itu nyata atau tidak, aku menambahkan. "Yah ... intinya, kamu tidak bisa menyebutkan nama belakangmu untuk sekarang sampai kita bisa keluar dari menara terkutuk ini. Begitu pula denganku. Bersyukurlah karena nama depanmu dan aku terdengar seperti nama pada umumnya di negara China maupun Korea selatan."

Mendengar hal itu Gin hanya mengangguk paham, lantas menatap langit bersamaku. Menghela napas kecil, dia bertanya. "Sekarang, apa yang harus kita lakukan? Tampaknya kak Shima juga diusir dari desa itu."

Aku merebahkan diri di atas rumput, berdecih kesal. "Tidak tahu," jawabku ketus. "Tidak bisa menempa senjata atau mengetahui informasi seluk beluk musuh yang akan kita hadapi. Jujur saja, ini membuatku putus asa."

"Dari pada menganggur seperti ini, bagaimana kalau kakak berburu monster di hutan?" tawarnya yang membuatku meliriknya aneh.

"Hutan, di sini? Seluas apa?"

"Aku sudah mengelilingi seluruh desa, hutan di sini sangat luas. Tidak, kurasa lebih luas ketimbang desa," ujar Gin sembari membentangkan tangannya.

Aku berdecih kesal, "Tadi labirin, hutan tropis mini, gua api, gua raksasa, sekarang hutan dan desa dalam satu lantai. Ajaib sekali," sarkas ku. Menghela napas, aku berdiri. "Bagaimana denganmu, kau tidak memiliki senjata, dan kudengar dari mahluk bersetelan jas. Orang Jepang seperti kita tidak memiliki Qi." Hening sejenak, kemudian tercetus ide di dalam benakku. "Bagaimana kalau kau ikut denganku? Seharusnya mahluk-mahluk itu pasti memiliki senjata untukmu, aku yakin setelah mati ... mereka akan suka rela memberikan senjatanya."

~***~

Mahluk-mahluk aneh itu berdengus alami selayaknya seekor sapi Qurban yang di jual di pinggir jalan. Sampai aku berpikir kalau mahluk itu adalah Hewan pada umumnya. Walau itu tidak berlangsung lama saat salah satunya menyerang sesamanya, memercikkan darah berwarna biru di atas tanah maupun semak-semak. Sangat ganas, bahkan mahluk itu tega membunuh sesamanya sendiri. Bertanduk empat dengan sisik yang menyelimuti tubuhnya berwarna biru tua, matanya hijau layaknya ular, dan tubuhnya tidak lebih besarnya seperti seekor sapi yang gemuk. Mahluk yang sangat mengerikan buatku, kurasa ketimbang mahluk hijau yang memegang berbagai benda sembari meraung marah berwarna hijau.

"Kurasa monster itu yang paling lemah," ujar Gin.

Aku meliriknya, "Dari mana kau tahu kalau monster itu lemah?"

"Apakah kakak tidak bisa melihat nama dan level yang ada di atas kepala mahluk itu?" tanya Gin sembari menunjuk ke arah mahluk aneh itu.

Aku menajamkan penglihatanku, menggeleng membuat wajahnya semakin bingung. "Aku tidak melihat nama maupun tanda level apapun itu," ujarku. "Apakah kau punya semacam jendela penyimpanan?"

"Penyimpanan item?" Gin lantas membuka jendela status nya, beberapa saat setelah itu menggeleng. Aku mengangguk paham.

"Ini hanya pendapat sementara, kurasa setiap peserta diberkahi semacam kemampuan atau fitur istimewa." Aku menghela napas, "kau memiliki fitur yang bisa mengukur kemampuan lawan, sementara aku memiliki penyimpanan portable. Yah ... walau aku tidak tahu untuk peserta yang berasal dari China maupun Korea yang pasti memiliki Qi."

"Qi itu semacam Mana, ya?" Tanya Gin.

"Entahlah, tapi tampaknya iya, kurasa kedua hal itu sejenis."

Gin membuka jendela status ya lagi, lantas mengangguk. "Iya, ada bar bertuliskan Qi di sini yang kosong."

"Mahluk itu mengatakan kalau yang memiliki Qi hanyalah para peserta yang berasal dari China maupun Korea," aku berdecih kesal, "rasis sekali."

"Aku tidak mengerti kenapa."

"Baguslah kalau begitu," ujarku. "Dunia itu terlalu kejam, kalau kau semakin tahu tentangnya." Aku mengeluarkan pedang katanaku, menunjukkan ketajamannya yang masih kokoh meskipun sudah kupakai beberapa kali. "Yah ... ibarat kata, pisau berbilah dua."

"Tapi, itu pedang."

"Anggap saja ini adalah sebilah pisau bermata dua," aku memasukkannya kembali ke dalam sarung katana ini. "Kalau kamu tidak berhati-hati, pisau itu akan melukaimu tanpa kamu sadari."

"Uhm ... aku sedikit mengerti sekarang," Gin mengigit jari telunjuknya.

"Sayang sekali, seharusnya kau tidak mengerti," ujarku sembari menghunuskan pedang dan jatuh tepat di atas mahluk aneh bersisik biru tua.

~***~

Next chapter