webnovel

Birahi Konyol

"Nay, aku akan mengantarkanmu pulang!" ujar Alan, "ayo, bersiaplah!" sambung Alan.

Ia melihat fajar sudah menyingsing di ufuk timur. Alan memang ingin berdekatan dengan Nayla tetapi ia takut jika kedekatan mereka akan menjadi malapetaka bagi Nayla.

"Aku tidak tahu. Apakah vampir hibernasi itu masih sanggup bertahan akan sinar matahari?" batin Alan.

Namun, mendengar bunyi terompet yang memanggil mereka. Alan menyadari jika mereka sangat takut akan sinar matahari.

Alan memandang wajah Nayla, "Kecantikan dan ketegarannyalah, yang telah membelenggu hati yang masih ada di tubuhku ini!" batin Alan.

Apalagi, kini ia mengetahui jika ia adalah keturunan dari Amirah mantan tunangannya. Ia tidak tega jika akan terjadi sesuatu kepada Nayla.

"Apakah Kisah tak sampaiku akan terlengkapi dengan kehadiran Nayla?" batinnya mulai bertanya,

"Ya, Tuhan! Itu tidak boleh terjadi?" batin Alan lagi.

Sebaliknya, hatinya berusaha menepis meskipun raganya mendekati Nayla, "Anak ini, memiliki magnet yang mengerikan!" batin Alan.

Ia telah menjulurkan tangannya menyentuh lembut wajah Nayla, ingin rasanya ia menyentuh bibir mungil merah milik Nayla yang menggodanya pagi ini.

"Aku sudah mulai tidak, waras!" umpatan hati Alan.

Nayla memegang tangan Alan yang menyusuri rahangnya, ia merasa Alan menarik dan menghipnotis jiwa raganya untuk semangkin mendekat.

Nayla menginginkan agar Alan mengecup kening atau bibirnya. Ia mendambakan sentuhan kecil itu, "A-alan, a-aku —" lirih Nayla.

"Bersiaplah, aku akan mengantarkanmu pulang!" sanggah Alan.

Alan berupaya agar ia tidak salah langkah dan jalan, ia tidak ingin mengubah takdir Nayla dan dirinya semangkin kacau.

"Dasar vampir, geblek!" umpat Nayla kesal, "selama 500 tahun hidupmu, apa saja sih kerjaanmu?" batin Nayla marah.

Rasanya ia ingin mencakar-cakar tubuh Alan yang dingin, sedingin kulit dan tubuhnya.

"Masa tidak peka sama sekali!" batin Nayla.

Naluri liarnya semakin meradang di hati Nayla, ia sendiri malu untuk menyadari hal itu. Ia tidak menyangka ia dengan gamblangnya berpikir ke arah sana.

Selama ini ia tidak pernah berpikir mengenai birahi biologisnya. Ia juga tidak pernah merasakan dorongan hasrat yang mengerikan seperti sekarang.

Ia tidak pernah mendambakan sesuatu sekuat sekarang terhadap Alan. Nayla sedikit cemberut dengan mengerucutkan bibirnya.

Nayla benar-benar ingin berciuman dengan Alan. Ia ingin Alan menyentuhnya dengan sebuah kehangatan yang ia damba selama ini.

Ia sendiri bingung, ia tidak pernah segila sekarang di dalam mendambakan hal itu dari pria lainnya.

Sementara benak Alan sendiri pun berusaha untuk menepis kegilaannya. Keduanya ingin berpikir waras, mereka semangkin gila dan linglung.

"Benar kata orang, 'Jika kita menyayangi seseorang kita tidak ingin melihatnya menderita,' apakah aku sudah jatuh cinta kepada keturunan Amirah?" batin Alan.

Ia mulai kacau, Nayla masih saja memperhatikannya. Nayla masuk ke dalam rumah dan menemui Agatha.

"Agatha, aku tahu kalian tidak akan tidur dan lelah. Aku hanyalah manusia biasa, jadi aku ingin tidur.

"Tolong katakan kepada saudaramu, 'Tidak perlu repot-repot mengantarku,' please!" pinta Nayla.

Agatha tersenyum memandang Nayla, "Ok! Naik saja ke atas lantai pertama sebelah kanan," balas Agatha cuek.

Ia melihat Nayla dengan berlari menaiki tangga dan langsung memasuki kamar Alan. Agatha tersenyum, ia membayangkan Alan akan marah dan bertengkar dengan Nayla.

Agatha bersiul-siul kecil membantu Andre dan Gwendolyn membereskan kekacauan akibat pertempuran tadi malam.

Agatha sangat membutuhkan hiburan. Ia sangat ingin melihat Alan saudaranya memiliki kehidupan sedikit normal.

Ia tidak ingin melihat Alan selalu seperti mayat hidup dan pertapa suci di dalam dunia anehnya. Jika ia tidak ingin melanggar hukum sesuai dengan agama yang dianutnya.

"Sebaiknya menikah, saja! Bukankah banyak orang menikah? Alan si vampir aneh!" batin Agatha.

Agatha mencium aroma Alan yang memasuki rumah, Agatha melesat secepat kilat ke luar ruangan.

Ia takut jika Alan akan memarahinya karena membiarkan Nayla tidur di kamarnya.

"Mati, aku! Sebaiknya aku kabur. Bagaimana jika Alan tahu, akulah yang menyuruh Nayla tidur di kamar pertapanya?" batin Agatha.

Agatha melesat berpura ke samping rumah. Menajamkan telinganya, ingin menguping pembicaraan Alan dan Nayla.

Alan memasuki kamarnya, "Ke mana semua, orang!" batinnya.

Namun, ia masih saja mencari Nayla. Ia ingin membawanya pulang ke asramanya.

Saat Alan memasuki kamarnya ia langsung membuka bajunya dan melemparkan begitu saja ke sembarang tempat.

Alan tidak mengetahui jika Nayla berada di kamarnya. Nayla yang masih teridur di antara tidur dan sadarnya melihat Alan memasuki kamar.

Namun, matanya teelalu mengantuk untuk dibuka. sehingga ia membiarkannya saja.

"Alan .... " Nayla mengingau diantara tidurnya.

Alan terkesiap langsung melompat menjauh. Ia mengerutkan dahinya, debar di jantungnya semangkin tidak karuan.

Berlahan ia mulai melesat mendekati Nayla yang nyaman tertidur di ranjangnya bergelung di balik selimut.

"Nayla? Ya ampun! Apa yang dilakukan anak ini? Bukankah banyak kamar di rumah ini? Mengapa dia memilih kamarku?" batin Alan kesal.

Ia merasa sedikit risih, suka, bingung, bahagia, kikuk, dan mendambakan jika Nayla berada di tempat tidurnya.

Akan tetapi, bayangan jika Nayla adalah keturunan Amirah sedikit rasa kikuk dan sedih di hatinya.

"Seharusnya dia adalah keturunanku. Aku tidak tahu apa hikmah di balik semua ini. Mengapa setelah 500 tahun aku kembali bertemu dengan keturunan Amirah?" batin Alan.

Diam-diam ia beringsut mendekat Nayla. Mencoba untuk tidak membuat gerakan apa pun yang akan membangunkan Nayla.

Ia begitu senangnya memandang Nayla yang tertidur dengan nyamannya.

Perlahan tangan pucat dan dingin milik Alan, menyentuh garis rahang milik nayla.

"Wajahmu sangat manis! Akh," cicit Alan.

Ia melesat pergi ke luar jendela kamarnya menembus pohon-pohon pinus duduk di sana.

Mencoba merenungi segalanya, untuk pertama kalinya gejolak batin dan kebutuhan biologisnya mulai meledak-ledak.

Alan bingung harus bagaimana, "Apa yang harus aku lakukan?" batinnya.

Ia takut akan menjadi gila dan ia juga takut akan memangsa Nayla.

"Aaa! Tuhan! Cobaan apalagi ini! Tidak puaskah kau menyiksaku?" teriak Alan.

Ingin rasanya ia menjerit dan menangis. Sebaliknya air matanya pun tidak akan mengalir lagi.

Di tubuh monsternya ia tidak akan mampu meluapkan segala rasanya. Tubuh monsternya hanya penuh dengan kebencian, duka, dan kesakitan di jiwanya.

Bayangan ia akan membunuh dan mencabik Nayla semangkin mengerikan di pelupuk matanya.

Rasanya ia bukan hanya membunuh Nayla tetapi ia juga membunuh Amirah.

"Aku harus menjauh dari semua ini! Aku akan meninggalkan Nayla, aku yakin akan ada manusia yang baik yang dikirim Tuhan untuknya selain aku!" jerit Alan.

Ia semangkin melesat menjauhi semua kenangan dan bau wangi akan tubuh Nayla.

Wanginya merasuk ke jiwa dan raganya, mematikan semua indra di sel-sel sarafnya. Ia takut tidak akan mampu herpikir secara logika lagi.